Pentingnya pengelolaan tata ruang di Kalimantan Selatan. Akan ada dampak negatif akibat ketidaksesuaian rencana tata ruang dan implementasinya.
Kalimantan Selatan, sebuah wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam, menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan tata ruang. Kajian yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan telah mengungkapkan kesenjangan antara rencana tata ruang dan implementasinya, memunculkan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Dari hasil kajian tersebut, terungkap bahwa Pemerintah belum sepenuhnya mengintegrasikan rencana tata ruang dalam pengendalian pemanfaatan lahan. Izin konsesi yang diberikan masih menunjukkan ketidaksesuaian dengan pola ruang yang telah ditetapkan. Hal ini tercermin dari adanya izin konsesi yang diberikan di kawasan lindung dan budidaya serta penyalahgunaan lahan untuk industri ekstraktif di luar batas konsesi yang telah ditetapkan.
Menurut Walhi Kalimantan Selatan, revisi RTRWP Kalsel yang telah dimulai sejak tahun 2020 harus dimanfaatkan sebagai langkah korektif dan penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang.
Ach Rozani, manajer tata ruang dan GIS Eksekutif Nasional Walhi, menekankan pentingnya pemahaman akan peran strategis penataan ruang dalam meningkatkan kualitas sosial ekologis di Kalimantan Selatan. Dugaan pelanggaran tata ruang yang diungkap oleh Walhi harus diikuti dengan tindakan hukum yang tegas.
“Fakta dugaan penyimpangan ruang dalam temuan Walhi Kalimantan Selatan harus dapat dilakukan tindakan penegakan hukum oleh Pemprov Kalimantan Selatan dan jangan menggunakan momentum revisi ini sebagai upaya pemutihan atas pelanggaran tata ruang yang ada,” kata Ach Rozani, dikutip dari keterangan resmi.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, menekankan urgensi eksekusi putusan Mahkamah Agung terkait gugatan Walhi. Langkah-langkah konkret harus diambil oleh Pemerintah untuk menegakkan hukum dan mengakhiri dominasi mafia tambang yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Ancaman juga datang dari Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020. UU ini diyakini akan memberikan keleluasaan bagi korporasi ekstraktif untuk menguasai ruang hidup masyarakat, mengabaikan kebutuhan akan tata kelola ruang yang berkeadilan.
Koordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Kalsel, Gusti Nordin Iman, menyatakan kekhawatiran atas perlunya kontrol yang lebih kuat dari pemerintah terhadap aktivitas korporasi ekstraktif yang berpotensi merusak lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat setempat.
Dalam konteks ini, peran pemerintah dalam menegakkan hukum dan mengatur pengelolaan ruang menjadi sangat penting. Lemahnya penegakan hukum dan kontrol terhadap sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan telah mempercepat kerusakan lingkungan hidup di Kalimantan Selatan. Langkah-langkah konkret harus diambil untuk memastikan bahwa tata ruang yang ada tidak hanya melindungi kepentingan korporasi, tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat dan pelestarian lingkungan.
“Lemahnya penegakan Hukum (Law Enforcement) dan kontrol oleh Pemerintah terhadap pelanggaran atau penyimpangan di bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan juga jadi bagian faktor penyebab mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup di Kalsel,” kata Gusti.
Di samping itu, penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait tata ruang. Data dan informasi yang dihasilkan secara partisipatif oleh masyarakat harus dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan perencanaan yang adil dan berkelanjutan.