Koalisi organisasi masyarakat menyampaikan penghargaan ‘Obligasi Kotor’ ke Adaro. Temukan jejak kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat yang melibatkan perusahaan ini.
Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, dan Market Forces melakukan aksi teatrikal penyerahan penghargaan “Obligasi Kotor” (Toxic Bond) ke Adaro.
Belum lama ini, analisis Dirty 30 oleh Toxic Bond Initiative menempatkan Adaro Energy Indonesia sebagai salah satu penerbit obligasi kotor, bersama jajaran perusahaan bahan bakar fosil raksasa lainnya, seperti Exxon dan Shell.
Adaro memiliki obligasi sebesar US$750 juta yang akan jatuh tempo di bulan Oktober tahun ini.
Koalisi organisasi masyarakat sipil menyerukan bahwa Adaro pantas mendapatkan penganugerahan tersebut, terutama karena Adaro memiliki banyak jejak kerusakan lingkungan dan menyisakan konflik masyarakat.
“Terlalu banyak cerita tentang kerusakan yang disebabkan oleh Adaro, seperti penggusuran seluruh masyarakat Desa Wonorejo di Kalimantan Selatan dan di Batang, Jawa Tengah, serta mata pencaharian nelayan yang terancam hilang akibat rencana ekspansi Adaro di Kalimantan Utara,” ucap Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam keterangan resmi, Jumat, 17 Mei 2024.
Penelitian oleh Carbon Major Database menunjukkan bahwa Adaro menjadi salah satu perusahaan yang bertanggung jawab atas 80% emisi karbon dunia sejak Perjanjian Paris ditandatangani, di antara tahun 2016-2022.
“Sudah tidak bisa dipungkiri, Adaro berdosa dalam mendorong dan memperparah krisis iklim,” tambah Bondan.
Meskipun Adaro sudah mengeluarkan pernyataan akan mencapai net zero di tahun 2060, rencana tersebut tidak membatasi batu-bara termalmaupun metalurgi.
Berdasarkan skenario International Energy Agency untuk meminimalisir dampak malapetaka krisis iklim, dunia harus berhenti membangun PLTU batu-bara baru dan ekspansi tambang batu-bara di tahun 2023 dan segera mengimplementasi net zero di tahun 2050.
“Faktanya, Adaro malah mengakselerasi pembangunan PLTU batu-bara baru yang kotor dan melakukan ekspansi bisnis metalurgi batu-bara, mengabaikan kekhawatiran ilmuwan iklim, bahkan investor mereka sendiri,” sebut Nabilla Gunawan, Juru Kampanye Energi dan Keuangan dari Market Forces.
Sejak tahun 2022, Adaro telah ditinggalkan bank multinasional seperti Standard Chartered dan DBS karena banyak bank mengadopsi kebijakan coal exit.
Belum lama ini, Hyundai juga telah membatalkan perjanjian pembelian aluminium dengan anak usaha Adaro. Smelter aluminium tersebut akan mendapatkan listrik dari PLTU batu-bara sebesar 1.1 GW di Kalimantan Utara.
“Dunia telah meninggalkan batu-bara, namun Adaro tetap keras kepala dan masih tidak memiliki rencana transisi kredibel yang sejalan dengan skenario net zero 2050, skenario yang bertujuan untuk mencegah malapetaka masa depan karena krisis iklim,” tambah Nabilla.
Obligasi kotor dan masa depan orang muda
Menurut proyeksi kerentanan (“vulnerability score”) iklim oleh Fitch, setelah tahun 2025, kerentanan sektor batu-bara termal dan metalurgi akan mencuat dengan tajam. Di tahun 2050, satu atau lebih faktor terkait iklim dapat mengancam eksistensi bisnis batu-bara termal dan metalurgi.
“Batu-bara merupakan sektor yang saat ini cukup rentan, dan akan bertambah rentan. Hyundai dan investor Adaro paham akan hal itu, sedangkan Adaro keras kepala dan menolak untuk paham,” ujar Ramadhan, Koordinator Aksi Energi Terbarukan, Enter Nusantara.
Koalisi masyarakat sipil di bidang energi bersih telah mengirim surat bersama resmi ke sekretaris korporat Adaro sejak bulan Februari, akan tetapi hingga saat ini Adaro masih belum memberikan tanggapan apapun.
“Adaro memilih untuk mengabaikan kekhawatiran dan nasib masa depan orang muda demi keuntungan belaka. Adaro mengkhianati kita semua dengan meninggalkan lingkungan Indonesia yang telah hancur di masa depan nanti,” tutup Ramadhan. foto adaro