Penyebab bencana banjir dan longsor di Sulawesi Selatan. Maraknya alih fungsi lahan mengundang bencana ekologis seperti banjir.

Masyarakat Kawasan hutan lindung laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng, Propinsi Sulawesi Selatan. Foto: LBH Makassar
Masyarakat Kawasan hutan lindung laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng, Propinsi Sulawesi Selatan. (Foto: LBH Makassar)

Awal Mei 2024 lalu, sejumlah kabupaten di wilayah utara Sulawesi Selatan tepatnya di sekitar Pegunungan Latimojong mengalami bencana banjir dan longsor. Bencana ini menelan korban jiwa sebanyak 13 orang, berdampak pada puluhan ribu penduduk, merusak fasilitas publik, dan ribuan hektare lahan produktif warga serta unit rumah milik masyarakat terdampak banjir.

Dari kejadian bencana ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan merilis empat penyebab utama bencana banjir dan longsor yang terjadi di berbagai kabupaten dalam beberapa hari terakhir sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan satelit pemantau hujan (zoom.earth), nampak bahwa daerah sekitar Pegunungan Latimojong (bagian utara Sulawesi Selatan) berdekatan dengan Kabupaten Enrekang, Tana Toraja, Sidrap, Luwu) dan sebagian wilayah Sulawesi Selatan bagian timur (teluk bone) mulai diguyur hujan dengan intensitas yang cukup tinggi yakni kisaran 0,5 hingga 8 mm/h pada tanggal 26 April sampai 3 Mei 2024.

Intensitas hujan yang tinggi dan dalam waktu yang lama secara alamiah mengakibatkan volume air dari wilayah pegunungan (hulu) penuh dan mengalir deras ke beberapa anak-anak sungai.

“Kedua, hasil analisis tutupan hutan di lima kabupaten (luwu, enrekang, sidrap, wajo, dan soppeng) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah yang mengalami bencana banjir dan longsor memiliki wilayah tutupan hutan di bawah angka 30%,” demikian pernyataan WALHI Sulawesi Selatan, diakses Kamis, 30 Mei 2024.

Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) terdampak banjir di Kabupaten Luwu adalah: DAS Suso (39,43 %), DAS Suli (17,73 %), DAS Mati (5,55 %), DAS Ponrang (12,53 %), DAS Temboe (13,57 %), DAS Paremang (26,16 %), DAS Lamunre (3,81 %).

Wilayah DAS terdampak banjir di Kabupaten Enrekang yaitu DAS Saddang (17,09 %); Wilayah DAS terdampak banjir di Kabupaten Sidrap dan Soppeng yaitu DAS Bila Walanae (14,32 %); Wilayah DAS terdampak banjir di Kabupaten Wajo yaitu DAS Awo (33,41 %) dan DAS Siwa (67,75 %).

Ketiga, terkhusus untuk Kabupaten Wajo, meskipun DAS Awo dan Siwa memiliki tutupan hutan di atas angka 30% namun aliran sungainya juga terhubung dengan Sungai Belawae (DAS Bila Walanae yang memiliki tutupan hutan di bawah angka 30%).

“Sehingga sangat memungkinkan terjadinya luapan air sungai,” lanjut WALHI Sulawesi Selatan.

Penyebab keempat, laporan WALHI Sulawesi Selatan menyatakan aktivitas ekstraktif dan alih fungsi lahan di daerah inti dan penyangga Pegunungan Latimojong memperparah banjir serta longsor yang terjadi di Luwu, Enrekang, Sidrap, dan Wajo. Pasalnya, di sekitar kawasan penyangga Pegunungan Latimojong terdapat wilayah pertambangan emas milik PT Masmindo Dwi Area dan beberapa aliran sungai di sekitarnya juga dibebani oleh izin pertambangan pasir sungai (galian c).

“Kondisi ini pun diperparah dengan jenis tanah di sekitar yang masuk dalam kategori tanah andosol dan latosol yang sangat rentan erosi utamanya ketika musim penghujan tiba. Sehingga, alih fungsi lahan untuk aktivitas ekstraktif dan perkebunan di kawasan penyangga akan mendorong terjadinya banjir dan longsor,” kata WALHI Sulawesi Selatan.

Maka dari itu, secara umum kajian yang WALHI Sulawesi Selatan lakukan menunjukkan bahwa daya dukung dan daya tampung air Gunung Latimojong telah menurun beberapa tahun terakhir seiring dengan kegiatan perusahaan itu maupun tambang ilegal. Beberapa kali juga Luwu menjadi korban banjir dan tanah longsor saat musim hujan tiba.

WALHI Sulawesi Selatan merekomendasikan agar dilakukan revisi peraturan terkait pemanfaatan ruang (Rencana Tata Ruang Tata Wilayah/RTRW, Rencana Detail Tata Ruang/RDTR, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan/RTBL). Hal ini dikarenakan dalam analisis kami, ada banyak kawasan yang rentang terhadap bencana banjir dan longsor justru diberikan izin pertambangan.

Rekomendasi lainnya, mengubah perspektif dan model mitigasi serta penanggulangan bencana. Dari bencana ini, kami melihat bahwa sudah saatnya pemerintah tidak menyelesaikan persoalan ini secara kaku atau dibatasi wilayah administratif. Tetapi, pemerintah seharusnya menyusun upaya mitigasi dan penanggulangan bencana melalui pendekatan bentang alam (baik penyelesaian di tingkat DAS maupun Kawasan Esensial).

Selanjutnya, WALHI Sulawesi Selatan merekomendasikan agar dilakukan edukasi serta melibatkan masyarakat secara bermakna di sekitar kawasan untuk sama-sama menyusun dan merumuskan upaya mitigasi dan penanggulangan bencana. Gubernur Sulawesi Selatan diminta tegas menindak aktivitas pertambangan yang berada di kawasan inti dan penyangga Pegunungan Latimojong.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.