Laporan WALHI Papua mengungkap dampak bencana ekologis yang diperparah longgarnya perlindungan lingkungan.
Perubahan iklim multidimensi tahun ini diperparah dengan pelonggaran kebijakan perlindungan terhadap lingkungan demi melayani kepentingan bisnis. Bahkan tahun ini merupakan tahun terpanas, meski terjadi fenomena la nina dan el nino.
Di sisi lain, menurut WALHI Papua, dampak siklus basah la nina di sepanjang dua tahun belakangan ini mengakibatkan 763 kejadian lebih bencana (tanah longsor, banjir, gelombang pasang, dan puting beliung) yang membuat lebih dari 3 juta terdampak dan mengungsi.
Selama sepuluh tahun terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat peningkatan kejadian bencana ekologis hampir sepuluh kali lipat. Sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat 2.925 meningkat di tahun ini kejadian bencana, sebagian besar di antaranya merupakan bencana hidrometeorologis yang bertalian erat dengan krisis iklim.
WALHI Papua mencatat, puncak dari kerentanan ekologis itu terlihat dari kejadian bencana di awal tahun 2019 yang terjadi di Kabupaten Jayapura berupa banjir bandang dan air laut naik.
Bencana tersebut kemudian disusul dengan terjangan siklon tropis Seroja yang melanda Kab. Yahukimo, Lani Jaya, Puncak, Nduga, dan di Kabupaten Paniai, kabupaten Nabire, Kabupaten Jayawujaya dan Kabupaten Dogiyai, Kota Sorong, Kota Jayapura, Kabupaten Merauke serta daerah-daerah di Pulau Papua.
“Banjir besar di Kabuapten Jayapura sentani menjadi alarm tanda bahaya darurat ekologis sebagai konsekuensi perusakan lingkungan Bumi Papua,” demikian pernyataan resmi WALHI Papua, Kamis, 16 Mei 2024. /
WALHI Papua mengingatkan, peringatan hari bumi tahun ini seharusnya bukan sekedar seremonial, namun harus dimaknai sebagai momentum reflektif dan tindakan nyata menjaga bumi menjadi tempat yang layak huni untuk semua semua entitas, baik itu makhluk biotik maupun abiotik, serta generasi mendatang.
Maikel Primus Peuki, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua menuntut pertanggungjawaban institusi penyelenggara negara khusus pemerintah se-tanah Papua atas berbagai kerusakan lingkungan hidup dan penderitaan warga yang bertubi-tubi. “Akibat berbagai kebijakan yang telah meningkatkan kerawanan dan memaparkan warga pada berbagai risiko bencana,” kata Maikel.
WALHI Papua juga mengajak seluruh elemen rakyat Tokoh Agama, Tokoh Adat, Perempuan, laki-laki, tua muda, di pelosok kampung dan kota di Papua, gotong-royong jaga bumi bisa dimulai dengan menghentikan perusakan alam oleh ekspansi perkebunan monokultur skala besar, perampasan tanah dan hutan Adat Papua, Lahan Perkebunan Sawit, tambang, infrastruktur energi kotor dan mega proyek skala besar seperti food estate, Pabrik Migas dan lainnya.
WALHI Papua pun mendesak institusi negara melalui pemerintah daerah se-tanah Papua untuk meletakkan landasan bagi penyelamatan generasi yang akan datang melalui komitmen nyata memitigasi resiko kerusakan lingkungan, penurunan emisi gas rumah kaca yang ambisius dan tidak membahayakan nasib generasi yang akan datang.