Sungai Kobe yang dulunya menjadi sumber kehidupan bagi warga setempat, perlahan kini menjadi sumber bencana.
Otniel Tobo (61) tampak berdiri cemas di depan rumah saat kami mendatanginya di tengah hujan deras yang mengguyur Desa Lukulamo, yang dilintasi Sungai Kobe, pada Sabtu, 27 Januari 2024.
Setelah kami menghampirinya, Otniel mengutarakan kekhawatirannya akan terjadinya banjir akibat luapan Sungai Kobe yang melintasi desa yang terletak di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara itu.
Sungai Kobe adalah salah satu sungai yang ada di Kabupaten Halmahera Tengah tepatnya di Kecamatan Weda Tengah dengan Panjang 45 km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) 814,32 km2.
Dia bercerita bahwa sungai yang dulunya adalah sumber kehidupan bagi warga setempat kini perlahan menjadi sumber bencana.
Kondisinya memburuk setelah perusahaan-perusahaan tambang mulai mengeksplorasi kawasan itu.
“Jauh sebelum tambang — PT IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park), WBN (Weda Bay Nickel), Tekindo Energi — hadir, kondisi desa ini masih sangat baik. Jika butuh air tinggal ambil dikali, namun saat ini jika ingin mendapatkan air bersih harus kase kaluar doi (keluarkan uang),” jelas Otniel.
PT IWIP, pengelola Kawasan Industri Weda Bay seluas 2.000 hektare, beroperasi sejak tahun 2018 dan Otniel menyatakan bahwa setahun kemudian warga mulai kesulitan mendapatkan air bersih dari Sungai Kobe.
Rumah Otniel berjarak hanya beberapa langkah, sekitar 10 meter, dari sungai tersebut. Seluruh aktivitas yang membutuhkan air, kata dia, dilakukan di Sungai Kobe. Mulai dari mandi, mencuci, hingga memancing.
“Semua warga di Dusun Lukulamo itu mengambil air bersih di Sungai Kobe. Di tahun 2015-2017 itu, jika melintasi jalan utama, masih terlihat aktivitas orang mencuci, mandi, menjemur pakaian itu semua di pinggir (bantaran) sungai, tapi sekarang sudah tidak bisa. Sungai tiap hari kotor,” ungkapnya.
Surga taipan tambang
Halmahera Tengah bak surga dunia bagi para taipan tambang. Kabupaten seluas 227.683 ha ini terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 ha, alias sekitar 60% dari luas wilayah kabupaten itu.
Pemerintah kemudian pada tahun 2018 mendirikan Kawasan Industri Terpadu Teluk Weda dan menempatkannya dalam status Proyek Strategis Nasional dengan nilai investasi Rp70 triliun. Kawasan Industri ini dibangun untuk mengelola bahan tambang feronikel dan turunannya jadi baterai untuk kendaraan listrik, stainless steel, fasilitas pendukung lainnya dan smelter.
PT IWIP, perusahaan patungan tiga investor asal China — Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi — ditetapkan sebagai pengelola kawasan industri yang menempati luas area 866,44 ha tersebut.
Berdasarkan dokumen Kementerian ATR/BPN, kawasan industri Teluk Weda bakal menyerap 100.000 tenaga kerja.
Selain PT IWIP melalui Weda Bay Nickel (WBN) sebagai anak usahanya, data Minerba One Map Indonesia (MOMI) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan ada puluhan perusahaan yang mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) beroperasi di Halmahera.
Beberapa di antaranya adalah Halmahera Sukses Mineral, Tekindo Energi, First Pacific Mining, Harum Sukses Mining, Bakti Pertiwi Nusantara, Karunia Sagea Mineral, Mega Haltim Mineral, Smart Marsindo, Aneka Niaga Prima, Gamping Mining Indonesia, dan Sapphire Indonesia Mining. Konsesi terluas, menurut MOMI, dimiliki oleh WBN dengan wilayah operasi mencapai 45.065 ha. PT Mega Haltim Mineral menempati posisi kedua dengan 13.510 hektar.
Kegiatan penambangan tersebut tentu saja berpengaruh terhadap bentang alam di kawasan operasi mereka. Tak hanya di wilayah pertambangan, tetapi juga wilayah penduduk setempat.
Air bersih jadi mahal
Saat kami melintasi Jalan Trans Halmahera, yang setiap harinya dilewati ribuan kendaraan, termasuk yang menuju area tambang milik Tekindo Energi, WBN, dan IWIP, tampak lubang di mana-mana.
Saat hujan, air menggenang membuat jalanan tampak lebih mirip kolam. Ketika kering, debu bertebaran mengotori lingkungan sekitar, termasuk rumah warga.
Bertalus (39) warga Desa Lelilef Waibulen, Weda Tengah, mengaku warga setempat semakin terganggu dengan kondisi tersebut. Air bersih pun seudah tak terlihat lagi di Sungai Kobe, Sungai Ake Jira, dan Sungai Wosea, yang sejak lama menjadi sumber utama air bersih warga desa.
Selain itu, banjir juga mulai melanda. Sama seperti yang dikisahkan Otniel, menurut Bertalus, bencana alam itu mulai melanda setelah masuknya PT IWIP pada tahun 2018.
“Usia IWIP itu baru memasuki 5 tahun, tapi sudah membuat kami, warga, menderita akan air bersih. Jika mau dapat air bersih harus beli dulu, per galon Rp10.000. Minimal dalam satu hari harus beli 3 hingga 5 galon, dalam satu bulan menghabiskan uang Rp300.000 untuk beli air minum,” keluh Bertalus.
Pengeluaran warga jadi bertambah. Mereka dulu bisa menggunakan air sungai, atau air perigi (sumur) dengan gratis.
“Air parigi (sumur, red.) juga tidak bisa pake untuk minum, hanya bisa untuk mandi saja, bagaimana mau minum kalau air parigi juga kotor,” jelasnya.
Hampir seluruh warga Desa Lukulamo, Lelilef, dan Gemaf, mengalami apa yang dihadapi Bertalus. Air telah berubah menjadi komoditas yang mahal.
Jika dulunya kita bisa melihat warga beraktivitas di bantaran sungai di pinggir jalan utama, sekarang sudah tak terlihat lagi.
“Aktivitas ini dilakukan dari tahun ke tahun, Setelah masuk tambang nikel di Weda Tengah ini, mengubah semua budaya, kebiasaan warga, orang-orang disini,” beber Bertalus.
Marceline Kokeno, warga Desa Gemaf, membenarkan bahwa hadirnya perusahaan tambang, khususnya PT IWIP, mempersulit kehidupan sehari-hari mereka.
“Dulu sebelum ada tambang sungai itu, kami jadikan sebagai sumber utama air bersih, dan bisa menangkap ikan, udang, bia kole (kerang), namun saat ini, sudah tidak bisa sungainya tidak pernah jernih lagi,” katanya dengan kesal.
Sebagai masyarakat tidak punya kekuasaan, kami hanya bertahan karena kami dilahirkan dan dibesarkan di sini. Mau tidak mau menerima semua yang ada.
“Bukan hanya air bersih yang sulit kami dapat, untuk menghirup udara yang bersih saja kami sulit. Rumah kami setiap hari dipenuhi dengan debu, komplet penderitaan kami. Pemerintah pura-pura tidak melihat kami,” ungkap Marcelina lantang.
Fakta Sungai Kobe tercemar
Fakta soal tercemarnya Sungai Kobe, sungai terbesar di Halmahera Tengah, sudah tak terbantahkan.
Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara pada Juli 2023, menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DLH Provinsi Maluku Utara, Yusri Noho, kualitas air sungai tersebut tidak memenuhi standar baku mutu.
“Benar bahwa sungai Kobe tidak dapat digunakan,” kata Yusri saat diwawancarai kalesang.id pada Agustus 2023.
Tingkat kekeruhan akibat sedimentasi (total suspended solid/TTS) di sebuah sumber air harus berada paling tidak di angka 50 untuk bisa digunakan. Namun berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan DLH Provinsi Maluku Utara, TTS Sungai Kobe mencapai 114. Artinya, sudah melebihi angka baku mutu.
Untuk kandungan bakteri coliform (yang berasal dari tinja manusia atau hewan) hasil uji laboratorium mencapai 1.300 MPN/100mL, sudah melebihi ambang batas 1.000 MPN/100mL.
Mengutip Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) — organisasi massa yang bergerak dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat — Sungai Kobe sangat keruh karena tingginya kandungan sedimen yang dibawa oleh limpasan air hujan.
Konsentrasi sedimen yang terkandung dalam sungai-sungai tersebut akan semakin tinggi seiring dengan meluasnya aktivitas pembukaan lahan hutan oleh PT WBN. Data ilmiah AEER menunjukkan Sungai Kobe memiliki suhu 26,5 derajat Celsius, pH 8,39, untuk TDS 108 (mg/L) dan Cr6+ 0,01(mg/L) — artinya tidak memenuhi baku mutu.
Sementara hasil uji laboratorium air Sungai Wosea hasil menunjukkan bahwa air di hilir memiliki derajat keasaman di atas 9. Hal ini berarti air sungai bersifat basa dan cukup kuat untuk membuat karat di pipa dan melarutkan logam berat, sehingga semakin berbahaya untuk diminum.
Sifat kebasaan ini disebabkan oleh terbukanya batuan kapur dan batuan karbonat lainnya (seperti batuan karst) oleh aktivitas penggalian dan konstruksi di sisi sungai. AEER juga menemukan tingginya Cr6+ (chromium hexavalent) dalam air sungai Wasea. Logam ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kanker.
Mubaligh Tomagola dari bidang advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara saat dikonfirmasi Senin (23/1/2024) juga mendukung fakta bahwa air sungai-sungai di Weda Tengah sudah tak bisa dikonsumsi lagi, khususnya di daerah yang berdekatan langsung dengan industri tambang nikel.
“Empat tahun belakangan sungai-sungai di Weda Tengah tidak ada lagi yang jernih, semua dipenuhi dengan sedimen dampak dari aktivitas tambang nikel di hulu hutan Akejira di Halmahera Tengah. Masyarakat hanya mengandalkan air galon sebagai air bersih untuk dikonsumsi,” kata Mubaligh.
Bahkan, lanjutnya, air sungai tersebut sudah tak bisa lagi dipakai untuk menyiram tanaman.
Walhi, kata Mubaligh, meminta kepada Pemerintah Daerah dan Provinsi Maluku Utara agar serius dalam merespons keluhan para warga di beberapa desa di Weda tengah, seperti Kulo Jaya, Trans Kobe, Desa Lelilef, Desa Dukulamo.
“Mereka merupakan warga indonesia yang berhak untuk mendapatkan hidup layak di negeri sendiri.” Tegas Mubaligh. “Pemerintah jangan hanya teriak-teriak soal pertumbuhan ekonomi kita baik, namun warga lingkar tambang itu menderita dan sulit untuk mendapatkan air bersih karena tercemar aktivitas tambang,” tegas Mubaligh.