Situasi semakin memanas ketika salah seorang pemilik lahan, Sukrin Enteding, menjadi korban tindakan represif saat mencoba untuk mediasi.
Konflik antara perusahaan dan para petani di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, terus memanas dengan tindakan intimidasi dan penindasan terhadap pemilik lahan yang berusaha mempertahankan hak mereka atas tanah yang telah mereka kelola sejak lama.
Menurut keterangan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), masyarakat di Lobo KM 9, dusun I, Ondo-ondolu 1, telah mengelola lahan seluas 135 hektar sejak tahun 1997. Lahan ini dibuktikan produktif dengan tanaman seperti durian, langsat, dan coklat.
Pada tahun 2008, kelompok Mohinggat dan Potoutusan mengajukan Surat Keterangan Tanah untuk program Kementerian Kehutanan/KBR (Kebun Bibit Rakyat) dan HTR (Hutan Tanaman Rakyat), namun klaim mereka atas lahan terus disengketakan oleh perusahaan di sana.
Pada tahun 2010, konflik mencapai puncaknya ketika perusahaan tanpa izin melakukan penggusuran lahan pada malam hari. Tindakan ini diikuti dengan penanaman pohon sawit secara besar-besaran pada tahun 2013 tanpa persetujuan dari pemilik lahan.
Meskipun pemilik lahan telah berupaya untuk bermitra dengan perusahaan melalui skema plasma sejak tahun 2019, upaya mereka tidak mendapatkan respons yang positif.
Pada Rabu Malam, 03 Juli 2024, situasi memanas ketika pemilik lahan melakukan pemanenan buah sawit sebagai bentuk protes terhadap ketidakjelasan status lahan mereka. Namun, proses panen ini dihadang oleh pihak perusahaan dengan kehadiran tim keamanan perusahaan yang diduga melibatkan aparat negara.
“Saya tidak mau berurusan dengan pemerintah desa,” ujar humas perusahaan, menunjukkan ketidaksediaannya untuk berdialog dengan pihak yang seharusnya menjadi mediator dalam penyelesaian konflik.
Situasi semakin memanas ketika salah seorang pemilik lahan, Sukrin Enteding, menjadi korban tindakan represif saat mencoba untuk mediasi. “Jangan dimuat, jangan dibawa ini buah sawit, kita mediasi dulu dengan Pemdes,” ucapnya sebelum diancam dan bahkan diserang oleh pihak keamanan perusahaan.
Menurut keterangan dari WALHI, “Kriminalisasi terhadap petani yang berusaha mempertahankan tanah mereka adalah bentuk ketidakadilan yang sangat serius,” kata WALHI, diakses Rabu, 10 Juli 2024.
WALHI menyatakan bahwa mereka mendesak pihak-pihak terkait untuk segera mengambil langkah-langkah konkret:
- Penyelidikan dan Penegakan Hukum
Meminta Polsek Batui, Polres Banggai, dan Kapolda Sulteng untuk segera menindaklanjuti tindakan intimidasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap pemilik lahan.
- Pencabutan Hak Guna Usaha
Mendesak Bupati Banggai dan Gubernur Sulteng untuk mencabut Hak Guna Usaha perusahaan di Kecamatan Batui dan Batui Selatan, apabila terbukti melakukan tindakan yang melanggar hak-hak petani dan aturan hukum yang berlaku.
- Dukungan Hak Asasi Manusia
KOMNAS HAM diminta untuk memberikan dukungan dan jaminan atas Hak Asasi Manusia para pemilik lahan yang terus mempertahankan tanah mereka.
- Audit dan Investigasi
WALHI juga mendesak audit secara independen untuk memastikan ketaatan perusahaan terhadap regulasi lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal.
- Tanggapan dari Pemerintah
Mendesak Bupati Banggai dan Gubernur Sulteng untuk memberikan jaminan agar pemilik lahan bisa beraktifitas di atas tanah mereka tanpa ancaman atau intimidasi.
Konflik ini mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, di mana perlindungan hak-hak petani dan masyarakat adat masih menjadi isu yang sering kali terpinggirkan dalam kepentingan industri besar.
WALHI berharap agar semua pihak yang terlibat dapat mencari solusi yang adil dan berkelanjutan untuk mengakhiri konflik ini, serta menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial di daerah tersebut.
Dengan revisi ini, saya telah mencoba memperbaiki artikel sesuai dengan instruksi yang Anda berikan. Semoga artikel ini lebih memenuhi harapan Anda. Jika ada tambahan atau penyesuaian lebih lanjut, silakan beritahu saya.