Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan, klaim pembangunan Indonesia yang adil dan merata tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada Jumat, 16 Agustus 2024. Dalam pidato tersebut, selama 10 tahun pembangunan Indonesia telah mencapai sejumlah keberhasilan, seperti pembangunan yang merata dan berkeadilan, pertumbuhan ekonomi yang pesat, ketahanan terhadap perubahan iklim, serta transisi energi berkeadilan.
Pemerintah menyinggung keberhasilan pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis seperti UU Cipta Kerja, UU IKN, UU DKJ, dan UU ITE.
Namun, menurut Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), klaim pembangunan yang adil dan merata tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
“Pembangunan yang diklaim merata sebenarnya terpusat di Jakarta dan mengabaikan kepentingan daerah,” kata WALHI, dalam keterangan resmi diakses Senin, 26 Agustus 2026.
Pemerintah, melalui berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN), menurut WALHI justru mendorong kerusakan lingkungan dan konflik agraria di berbagai wilayah. Proyek seperti Rempang Eco-City di Kepulauan Riau, pertambangan nikel di Pulau Halmahera, Food Estate di Kalimantan Tengah, dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, hanya menguntungkan segelintir elit dan korporasi besar.
WALHI menekankan, pembangunan infrastruktur sering kali merugikan masyarakat setempat dan merusak lingkungan. Proyek-proyek ini lebih banyak menambah utang dan memicu konflik agraria, seperti yang tercatat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat 115 konflik agraria antara 2020-2023 akibat PSN.
Pembangunan Indonesia, pertumbuhan ekonomi tidak merata
Pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata sebesar 5 persen, dengan Papua dan Maluku mengalami pertumbuhan lebih tinggi. Namun, WALHI menilai bahwa pertumbuhan ekonomi ini tidak dirasakan oleh rakyat secara luas.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir tidak mengatasi ketimpangan antara 1 persen penduduk terkaya dan 99 persen lainnya,” demikian catatan WALHI.
Data World Inequality Database menunjukkan bahwa kekayaan kelompok terkaya meningkat pesat, sementara kelompok lainnya stagnan. Peningkatan harga kebutuhan pokok juga semakin memperburuk keadaan masyarakat kelas menengah-bawah.
WALHI juga mencatat peningkatan utang negara yang mencapai Rp8.338 triliun pada April 2024, dengan Rp800 triliun di antaranya akan jatuh tempo pada 2025. Di Maluku Utara, misalnya, deforestasi akibat pertambangan nikel mencapai 26.100 hektar dalam satu dekade terakhir, mengakibatkan pencemaran lingkungan dan kerugian besar bagi rakyat setempat.
Pembangunan Indonesia, pandemi, dan perubahan iklim
Dalam menangani pandemi COVID-19, pemerintah mendapat kritik terkait respons yang lambat, tidak berbasis sains, dan pemberian bantuan sosial yang tidak tepat sasaran.
Sedangkan dalam menghadapi perubahan iklim, WALHI menilai bahwa tren bencana iklim semakin meningkat. Pemerintah dinilai tidak mampu mengendalikan produksi pangan dan harga bahan pangan akibat perubahan iklim. Pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi iklim masih sangat terbatas, dan solusi yang diterapkan, seperti gasifikasi batubara dan biomassa, malah memperparah krisis.
Pembangunan Indonesia, soal hilirisasi
WALHI juga menyoroti dampak negatif dari pengembangan industri berbasis mineral kritis. “Jutaan hektar kawasan ekosistem penting telah mengalami kehancuran akibat pertambangan mineral kritis,” ungkap WALHI.
Kementerian ESDM mencatat bahwa ada 47 jenis mineral kritis di Indonesia, dengan 3.641.119 hektar lahan telah mendapatkan izin untuk pertambangan. Pada 2021, deforestasi akibat pertambangan nikel mencapai lebih dari 40.000 hektar.
“Klaim penambahan lapangan pekerjaan sering kali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, di mana banyak pekerjaan dan sumber pendapatan masyarakat yang hilang akibat ekspansi tambang,” lanjut WALHI.
Pembangunan Indonesia soal transisi energi berkeadilan
Indonesia memang memiliki potensi energi terbarukan yang besar, namun WALHI mengkritik rendahnya realisasi pemanfaatan energi terbarukan.
“Pemerintah merevisi target bauran energi terbarukan dari 23 persen menjadi 17 persen pada 2025, sementara produksi batubara terus meningkat,” kata WALHI.
Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa produksi batubara Indonesia mencapai 625 juta ton pada 2023 dan diprediksi meningkat pada 2024. Transisi energi masih didominasi oleh proyek ekstraktif yang memperburuk kondisi lingkungan.
WALHI juga menilai kebijakan strategis UU Cipta Kerja, UU IKN, dan UU ITE menjadi sumber masalah lingkungan dan pelanggaran HAM.
“UU Cipta Kerja, misalnya, disusun dengan minim transparansi dan tanpa partisipasi publik yang berarti, dan melemahkan perlindungan lingkungan serta hak pekerja,” kata Haris Gunawan. UU ITE juga dikritik karena berpotensi digunakan untuk kriminalisasi, dengan SAFEnet mencatat 300 kasus kriminalisasi antara 2008-2022. Selain itu, UU IKN disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai dan dengan pembiayaan yang membebani APBN.