Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup terus terjadi di Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Mengancam keberlanjutan.

Diskusi publik tentang kriminalisasi pejuang lingkungan yang digelar Yayasan Srikandi Lestari (YSL) bersama dengan Climate Justice Indonesia di Jalan Gagak Hitam No 19, Medan Sunggal (Ayam Penyet Jakarta), Jumat (12/07/2023). (Foto: Walhi Sumatera Utara)
Diskusi publik tentang kriminalisasi pejuang lingkungan yang digelar Yayasan Srikandi Lestari (YSL) bersama dengan Climate Justice Indonesia di Jalan Gagak Hitam No 19, Medan Sunggal (Ayam Penyet Jakarta), Jumat (12/07/2023). (Foto: Walhi Sumatera Utara)

Aktivis lingkungan dalam posisi rentan. Setiap minggunya di dunia selalu ada aktivis lingkungan yang dibunuh. Di Indonesia pejuang lingkungan kerap dikriminalisasi.

“Dengan mengutip statistik yang dirilis oleh Global Us, yang memgungkapkap ancaman terhadap pembela lingkungan ini luar biasa. Rata-rata ada tiga aktivis dibunuh setiap minggunya di seluruh dunia karena melakukan aktivitas atau membela hak lingkungan hidupnya” Terang Zaky Yamani dari Amnesty Internasional, diakses dari laman Walhi Sumatera Utara, Kamis, 15 Agustus 2024.

Zaky berbicara dalam diskusi publik yang membahas tentang kriminalisasi yang terus terjadi di Indonesia, khususnya Sumatera Utara bersama berbagai lembaga dan masyarakat.

Dalam diskusi yang digelar Yayasan Srikandi Lestari (YSL) bersama dengan Climate Justice Indonesia di Jalan Gagak Hitam No 19, Medan Sunggal (Ayam Penyet Jakarta), Jumat (12/07/2023), hadir warga Kwala Serapuh, warga Pangkalan Susu, Hukban Sitorus (pendamping hukum warga Kwala Langkat), KontraS Sumut, Bakumsu, dan Amnesty Internasional.

Tommy Sinambela dari Bakumsu menjelaskan terkait kasus kriminalisasi yang terjadi kepada Sorbatua Siallagan, dalam pandangannya ini merupakan pelecehan terhadap hukum.

“Dalam arti bagaimana penguasa menggunakan hukum untuk mengkriminalisasi para pejuang lingkungan, opung Sorbatua ditangkap menggunakan peraturan Omnibus Law UU No 11 tahun 2020,” ungkap Tommy.

Dia juga menjelaskan kasus Sorbatua sudah masuk dalam pengadilan dan sedang dalam tahap proses keterangan saksi ahli.

Senada dengan itu, Ady Yoga Kemit dari KontraS Sumut memaparkan ada 662 kasus yang mendapat kekerasan dan penyiksaan di Sumatera Utara, hal ini lebih banyak dilakukan oleh aparat penegakkan hukum.

“Aparat penegak hukum seperti sudah menormalisasi kekerasan, banyak orang-orang yang sudah ditangkap ternyata not found artinya korban terbukti tidak bersalah,” Tegas Ady.

Kriminalisasi pejuang lingkungan hidup di Sumatera Utara

Dalam diskusi publik juga hadir Samsir, ketua Kelompok Tani Nipah di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang merupakan korban kriminalisasi pada tahun 2021 karena mempertahan lahan hutan yang ditanami pohon nipah. Dia dituduh melakukan pemukulan terhadap pekerja PT Rapala.

“Saat bergotong royong untuk perawatan hutan yang dihadiri kurang lebih 37 orang kelompok tani nipah, lalu datang mandor dan kami sempat beradu argumen, tapi setelah itu dia pergi sambil menjerit memegang hp dan mengatakan dipukuli,” terangnya.

Dari kasus itu, Samsir bersama Samsul dapat panggilan dari Polsek Tanjung Pura dan menjadi tahanan Polres Langkat selama 14 hari.

Kemudian, Hukban Sitorus, pendamping hukum dari Ilham Mahmudi warga Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menjelaskan terkait proses hukum yang berjalan terdapat keganjalan.

Hal itu dapat dilihat ketika proses penangkapan tidak melalui prosedur hukum yang semestinya, pun bukti-bukti yang memberatkan Ilham Mahmudi tidak kuat. Keganjalan itu dapat dilihat dari pelaporan yang aneh, sebab pemilik barak dalam kawasan hutan lindung bernama Bambang Supratman namun yang melaporkan atas nama Bahrum Jaya Pelawi.

“Bukan Ilham Mahmudi yang melakukan pengrusakan barak di dalam hutan lindung, tapi dia melerai dan yang terjadi Ilham ditangkap lalu di penjara,” Ungkap Hukban.

Berbeda hal dengan di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Nurhayati warga Desa Pintu Air mengungkapkan tentang kondisi lingkungannya yang terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, kegiatan industri ekstraktif itu telah membuat kesehatan masyarakat memburuk.

“Saat ini musim hujan abu dari PLTU Pangkalan Susu mengendap dalam air yang ditampung masyarakat, nah air itu sering dipakai untuk mencuci beras dan hal ini berpengaruh ke kesehatan seperti batuk berkepanjangan, gatal-gatal, sesak napas, jantung bengkak, bahkan anak-anak pun juga merasakan sakit paru-paru,” ungkap Nurhayati.

1 comment found. See comment
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 comment

  1. izin hak jawab min. bahwa terkait dengan keterangan “Ady Yoga Kemit dari KontraS Sumut memaparkan ada 662 kasus yang mendapat kekerasan dan penyiksaan di Sumatera Utara, hal ini lebih banyak dilakukan oleh aparat penegakkan hukum.” Bahwa menurut saya informasi tersebut keliru. hal yang saya sampaikan saat diskusi adalah “bahwa 662 kasus yang saya terangkan adalah terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada periode tahun 2022-2023 di Indonesia bukan jumlah penyiksaan di wilayah Sumut.” Mohon kiranya dapat direvisi dan ditindaklanjuti. Terimakasih

Leave a comment