Aktivitas pertambangan di Halmahera Tengah mengganggu ekosistem hutan dan menyebabkan kerusakan ekologi.
Direktur WALHI Maluku Utara Faizal Ratuela mengatakan, dalam satu dekade terakhir, hutan primer seluas 188 ribu hektare telah mengalami deforestasi seluas 26.100 hektare. Deforestasi ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas penambangan nikel yang masif. Hal ini juga memperparah kerusakan ekologi.
Menurutnya, hal itulah yang menjadi penyebab banjir yang melanda desa-desa di Halmahera Tengah beberapa waktu lalu. Bencana ini berkaitan erat dengan kerusakan ekologi atau bentang alam di hulu.
Diketahui, 20 Juli 2024 lalu banjir telah merendam sejumlah desa di Halmahera Tengah, seperti Woejerana, Woekob, Lelilef Waibulen, dan Lukolamo. Bencana ini berdampak signifikan pada 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang di empat desa tersebut. Tidak hanya menggenangi rumah-rumah, banjir juga mengganggu aktivitas ekonomi dan memutus akses transportasi.
Upaya evakuasi dilakukan oleh BNPB, TNI, dan POLRI menggunakan alat berat untuk menyelamatkan warga yang terjebak dan memindahkan mereka ke posko-posko aman. Bantuan logistik berupa makanan, air bersih, dan obat-obatan juga disalurkan untuk memenuhi kebutuhan dasar korban.
Mobalig Tomaloga, Manajer Advokasi WALHI Maluku Utara, ketika berada di lapangan, mengungkapkan bahwa intensitas hujan di bagian hulu masih tinggi. “Ada enam sungai—Kobe, Akejira, Wosia, Meno, Yonelo, dan Sagea—yang berpotensi mengirim banjir lebih besar,” kata Tomaloga, diakses dari laman WALHI, Selasa, 6 Agustus 2024. Ia menekankan perlunya tindakan cepat dan koordinasi yang lebih baik antara berbagai pihak untuk mencegah dampak yang lebih parah.
Penyebab banjir kerena kerusakan ekologi
Direktur WALHI Maluku Utara Faizal Ratuela menjelaskan, saat ini terdapat 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Halmahera Tengah dengan luas konsesi mencapai 37.952,74 hektare, serta konsesi pertambangan nikel seluas 45.065 hektare. Aktivitas pertambangan ini telah mengganggu ekosistem hutan yang berfungsi menahan aliran air.
“Saat hujan deras, air bercampur tanah dan material logam mengalir cepat ke dataran rendah, menyebabkan banjir parah,” tambah Faizal.
Ia mendesak pemerintah untuk menghentikan deforestasi dan mengatur aktivitas pertambangan dengan ketat. “Hilangnya tutupan hutan memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor,” ungkapnya. Faizal juga menekankan pentingnya rehabilitasi hutan yang sudah rusak untuk memulihkan fungsi ekologisnya.
Desa pesisir yang rentan karena kerusakan ekologi
Desa pesisir di Halmahera Tengah sangat rentan terhadap banjir susulan akibat kedekatannya dengan kawasan industri pertambangan nikel. Aktivitas industri yang intensif di wilayah ini mencakup beberapa perusahaan besar di bidang pertambangan.
“Keberadaan industri pertambangan nikel telah menyebabkan degradasi lahan dan deforestasi yang signifikan,” kata Faizal. Aktivitas ini menyebabkan hilangnya tutupan hutan yang penting sebagai penahan alami aliran air. “Air hujan yang tidak tertahan dengan baik oleh tanah dan vegetasi yang hilang mengalir deras ke desa-desa pesisir,” tambahnya.
Material tambang yang terbawa aliran air juga memperburuk kualitas air dan menyebabkan sedimentasi yang merusak habitat pesisir. Situasi ini tidak hanya membahayakan kehidupan masyarakat setempat tetapi juga merusak ekosistem pesisir.
Tindakan pemerintah tidak memadai
WALHI Maluku Utara menilai bahwa pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara, khususnya Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Dinas ESDM, belum menunjukkan keseriusan dalam menangani bencana ini. Meskipun bencana banjir telah menyebabkan kerugian besar, respons pemerintah daerah dinilai lamban.
Menurut Faizal, terdapat beberapa undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengontrol kegiatan investasi, termasuk UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, penanganan banjir yang lamban menunjukkan kurangnya perencanaan yang jelas dari pemerintah.
“Kurangnya tindakan tegas menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani dampak aktivitas pertambangan nikel yang telah merusak lingkungan,” kata Faizal. Ia mendesak pemerintah untuk lebih proaktif dalam mengawasi dan mengontrol kegiatan industri yang berpotensi merusak lingkungan.
Komitmen mengurangi kerusakan ekologi dan mengutamakan keselamatan rakyat
Faizal Ratuela juga meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan aktivitas pertambangan nikel yang masih beroperasi meskipun kondisi banjir sedang berlangsung. “Aktivitas pertambangan ini melanggar prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia,” tegas Faizal.
Ia juga mendesak pemerintah untuk meminta perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah terdampak banjir agar segera memberikan dukungan materil. Dukungan ini termasuk evakuasi korban, pelayanan kesehatan, dan penyediaan kebutuhan dasar.
Desakan WALHI Maluku Utara
WALHI Maluku Utara mendesak Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan Pemerintah Pusat untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam menangani bencana banjir.
Faizal mengingatkan bahwa tindakan tegas diperlukan untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan warga serta mencegah bencana serupa di masa depan. “Hanya dengan komitmen dan tindakan nyata dari semua pihak, kerusakan lingkungan dan dampaknya dapat diminimalisir,” pungkas Faizal.
Faizal juga mengajak seluruh warga Maluku Utara untuk bersolidaritas dalam menghadapi bencana ini. “Mari kita satukan kekuatan untuk membantu korban banjir. Solidaritas dan kewaspadaan adalah kunci untuk melewati masa-masa sulit ini,” serunya.
Walhi Maluku Utara akan terus mengawal penanganan bencana dan memastikan pemerintah bertindak cepat untuk mencegah dampak lebih lanjut. “Kami akan memastikan pemerintah tetap fokus pada penanganan bencana ini,” tegas Faizal. Dukungan masyarakat sangat penting dalam upaya pemulihan dan memastikan kebijakan pemerintah efektif dan tepat sasaran.