Upacara yang mahal nan bersejarah di Sepaku alias Ibu Kota Nusantara (IKN) berbanding terbalik dengan mereka yang memilih upacara di Pulau Kwangan. Disana peserta upacara adalah masyarakat yang terdampak dari megaproyek IKN.
Pulau Kwangan, di Kelurahan Pantai Lango, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur ramai pagi itu. Perahu-perahu yang membawa puluhan masyarakat dari berbagai desa di sekitar Teluk Balikpapan merapat.
Tanpa dandanan mahal, menyewa baju adat, atau atraksi pesawat canggih di udara. Hari itu, mereka akan merayakan Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus, seperti di istana negara yang berjarak hampir satu jam dari tempat mereka. Hanya saja, akan sangat berbeda.
Antusias berbagai kalangan dengan upacara yang mahal nan bersejarah di Sepaku alias Ibu Kota Nusantara (IKN) itu, berbanding terbalik dengan mereka yang memilih upacara di Pulau Kwangan. Di Kwangan peserta upacara adalah masyarakat yang terdampak dari megaproyek IKN. Mereka yang sehari-hari hidup dari laut Teluk Balikpapan, hingga mereka yang rumahnya digusur atas nama pembangunan IKN di Sepaku.
Bambu hijau pun tertancap, mengibarkan bendera Merah Putih. Arman Jais, pemuda dari Sepaku memimpin upacara. Sedangkan Husein dari Pokja Pesisir menjadi pembina upacara yang menyampaikan lara karena lahan dan ruang hidup yang digusur juga dirusak.
Bagi Arman, yang menghabiskan hidupnya di Sepaku, upacara ini menjadi simbol perjuangan mereka yang terdampak pembangunan IKN. Bagaimana mereka menyuarakan soal warga Sepaku yang ditinggallkan. Bahkan, tak banyak masyarakat Sepaku dilibatkan dalam upacara di istana negara.
“Ini adalah bentuk ekspresi kita,” kata dia, usai upacara pada 17 Agustus 2024.
Hari itu tak hanya upacara. Usai upacara, masyarakat adat dan koalisi masyarakat sipil pun parade perahu-perahu di sekitar Jembatan Pulau Balang merayakan Hari Kemerdekaan dan menyerukan kemerdekaan untuk masyarakat. Lalu, sebuah kain merah raksasa berukuran 50 meter x 15 meter dibentangkan aktivis Greenpeace. “Indonesian Is Not For Sale, Merdeka.” Begitu tulisannya. Tak jauh dari tempat swafoto dengan para influencer di atas Jembatan Pulau Balang beberapa waktu lalu.
Dari atas perahu, orasi pun disampaikan Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo dan Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim Dede Wahyudi. Mereka menyerukan bagaimana sebuah kemerdekaan itu disematkan, jika ruang hidup rakyatnya terus dirampas.
Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan sehari sebelumnya mengucapkan permintaan maaf. Namun, menurut Ketua Tim Kampanye Greenpeace Indonesia Arie Rompas permintaan maaf itu tak ada artinya setelah satu dekade pemerintahannya Jokowi membawa Indonesia makin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Lalu, di akhir masa jabatannya, dia mewariskan berbagai masalah.
“Ibarat mengobral negara ini, Jokowi memberikan izin penguasaan lahan hingga 190 tahun untuk investor di Nusantara. Kerusakan lingkungan akibat pembangunan IKN juga akan berimbas memperparah krisis iklim,” kata dia.
Direktur Walhi Kaltim Fathur Roziqin Fen mengatakan fakta lapangan di IKN adalah konflik agraria, dampak ekologis, dan kriminalisasi yang dikaburkan.
“Proyek pembangunan IKN juga melahirkan silent victims. Seperti orangutan, bekantan, pesut, dan keanekaragaman hayati di lanskap Teluk Balikpapan, yang habitatnya terancam dan mereka tidak bisa bersuara,” bebernya.
Nasib Teluk Balikpapan
Dan di Teluk Balikpapan yang jadi “gerbang” IKN ini, telah menanggung beban ekologis yang berat. Sebelum Sepaku dijadikan IKN, sepanjang teluk telah disesaki industri. Mulai dari kilang minyak, stockpile batu bara, PLTU, smelter nikel, dan sebagainya. Lalu kini, makin marak, atas nama pembangunan IKN. Hidup pun makin berat, bagi semua yang bergantung pada tuah Teluk Balikpapan. Khususnya para nelayan.
Dari limpahan ikan di depan rumah, kini nelayan Teluk Balikpapan harus menuju Selat Makassar. Ketua Pokja Pesisir Mapaselle yang turut dalam upacara di Pulau Kwangan ini pun mengatakan nelayan Balikpapan bukanlah nelayan yang bisa melaut jauh. Kemampuan dan peralatan mereka telah disesuaikan untuk mencari ikan di Teluk Balikpapan. Kondisi Teluk Balikpapan lebih teduh dibandingkan Selat Makassar. Maka butuh modal, biaya, energi, dan risiko besar ketika nelayan Teluk Balikpapan menuju Selat Makassar. Namun sayangnya, wilayah perairan Teluk Balikpapan telah dikapling industri yang tak mengizinkan nelayan mencari ikan di sekitarnya. Belum lagi berbicara soal kerusakan mangrove yang disebabkan industri ini.
“2018 mangrove 16.800 hektare. Sekarang 15 ribuan saja,” tegasnya.
Dia juga menegaskan, perairan Teluk Balikpapan semi tertutup. Sehingga, kalau ada cemaran, maka cemaran akan terperangkap. Sebab, tidak ada sungai besar untuk mendorong air dari Teluk Balikpapan ke Selat Makassar. Upaya pemulihan pun begitu berat. Hal ini pun disuarakan bertahun-tahun, termasuk dalam upacara 17 Agustus tahun ini. Namun, pembangunan jalan terus dan aturan strategis melindungi kawasan teluk juga tidak muncul. Jika tidak ada niat diselamatkan, entah apa yang akan jadi masa depan Teluk Balikpapan.
Aktivis dan Jurnalis Ditahan
Pukul 12.00 Wita, pawai perahu dan pembentangan kain 17 Agustus 2024 di Teluk Balikpapan telah berakhir. Seiring dengan instruksi aparat yang membubarkan. Namun, ternyata aparat menahan 14 aktivis, 1 kapal tim bantuan hukum, dan 1 kapal awak media. Mereka diminta turun dari perahu dan menahan mereka di bangunan dekat Jembatan Pulau Balang. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda Yuda Almerio jadi salah satu dari jurnalis yang ditahan. Yuda menyampaikan, saat kejadian, para jurnalis padahal sudah menunjukkan id card mereka.
“Proses cukup alot. Kami diminta turun dari kapal dan naik ke atas (gedung) tapi menolak, karena tugas kami kan meliput. Kami dikatain ‘kamu takut kah?’ itu menurut saya serangan psikologis. Menurut saya, itu petugas enggak diperkenankan begitu,” kata Yuda.
Tetapi mereka diminta tetap ikut turun dengan para aktivis. Mereka tidak diberi kejelasan mengapa harus bertahan. Hingga, dialog dengan tim hukum yang membersamai para aktivis dan jurnalis itu, membuahkan hasil jurnalis diperbolehkan kembali setelah sekitar satu jam ditahan. Bagi Yuda, hal ini jadi pertanda bagaimana tindakan intimidasi masih dilakukan aparat terhadap jurnalis. Juga entah mereka yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti, bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi undang-undang.
Sementara itu, tim hukum Koalisi Masyarakat Sipil Edy Kurniawan mengatakan, sejumlah aktivis mendapat kasus kekerasan. Ada yang pingsan karena ditarik paksa dan ada pula yang kepalanya terbentur tiang.
“Setelah penahanan, teman-teman aktivis dibawa ke Polres PPU. Bukan untuk diperiksa tapi didata informasi pribadinya,” sambung dia.
Sore harinya, Polres PPU melepaskan para aktivis. Namun, saat keluar, para aktivis diadang organisasi kemasyarakatan yang entah dari mana mendapat informasi soal keberadaan para aktivis ini. Mereka pun akhirnya baru bisa kembali ke Balikpapan pada malam hari dengan pengawalan polisi.