Hasil analisis Traction Energy Asia pada 2021 menggunakan penilaian siklus hidup (Life Cycle Assessment atau LCA) menunjukkan bahwa BBN Minyak Jelantah memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan BBN Sawit.
Oleh: Ahmad Juang Setiawan, Spesialis Ilmu Lingkungan, Traction Energy Asia.
Di tengah meningkatnya perhatian global terhadap perubahan iklim, kita perlu mencari solusi energi yang ramah lingkungan dan rendah emisi. Salah satu solusi yang mulai banyak diperhatikan adalah biofuel atau dalam bahasa indonesia disebut sebagai bahan bakar nabati (BBN), yang bisa mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil. BBN tidak hanya digunakan untuk biodiesel bagi kendaraan darat, tetapi juga telah dan terus dikembangkan untuk bahan bakar pesawat (bioavtur) dan kapal laut (bio-MFO).
Saat ini, BBN yang umum digunakan adalah berasal dari kelapa sawit. Namun, ada alternatif lain yang menarik, yaitu BBN dari minyak goreng bekas, yang akhir-akhir ini juga sering disebut oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Hasil analisis Traction Energy Asia pada 2021 menggunakan penilaian siklus hidup (Life Cycle Assessment atau LCA) menunjukkan bahwa BBN Minyak Jelantah memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan BBN Sawit. Ini menjadi bukti bahwa tidak semua BBN memiliki dampak lingkungan yang sama, dan pilihan bahan baku serta proses produksi memainkan peran penting dalam menentukan jejak karbon akhir dari BBN tersebut.
Sawit Vs Minyak Jelantah
Proses produksi BBN Sawit melibatkan tahapan-tahapan yang cukup berat dan berdampak pada lingkungan. Pertama, lahan harus disiapkan untuk menanam kelapa sawit, yang sering kali menyebabkan penggundulan hutan dan perubahan penggunaan lahan. Setelah itu, tanaman sawit ditanam dan dirawat dengan pemupukan dan penyiraman yang intensif. Ketika tanaman sudah cukup umur, buah sawit dipanen dan minyaknya diekstraksi melalui proses mekanis atau kimia.
Minyak ini kemudian dicampur dengan metanol dan bahan lain dalam proses yang disebut transesterifikasi untuk menghasilkan bahan bakar (metil ester) dan gliserol sebagai produk sampingan. BBN yang dihasilkan dimurnikan agar bersih dari kontaminan dan kualitasnya meningkat. Meskipun BBN Sawit adalah bahan bakar alternatif yang efektif, proses produksinya punya beberapa kelemahan, seperti memerlukan lahan yang luas, menggunakan banyak air, dan bisa bersaing dengan kebutuhan pangan manusia, yaitu produksi minyak goreng.
Di sisi lain, BBN Minyak Jelantah dibuat dari minyak goreng bekas yang biasanya dianggap sebagai limbah. Proses produksinya mirip dengan BBN Sawit, tetapi menggunakan bahan baku yang berbeda. Minyak goreng bekas dikumpulkan dari berbagai tempat, seperti restoran dan rumah tangga, lalu disaring untuk menghilangkan kotoran. Minyak ini kemudian dicampur dengan metanol dan bahan lain dalam proses transesterifikasi, menghasilkan metil ester dan gliserol. BBN yang dihasilkan juga dimurnikan untuk memastikan kualitasnya baik dan bebas dari kontaminan.
Jika dibandingkan dengan BBN Sawit, BBN Minyak Jelantah memiliki jejak karbon yang lebih rendah karena tidak ada emisi dari penanaman dan pemanenan tanaman. Emisi dari proses penanaman dan pemanenan kelapa sawit menyumbang 80%-94% dari total emisi produksi BBN Sawit. Penelitian dari Traction Energy Asia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa BBN Minyak Jelantah menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah hingga 98% dibandingkan dengan BBN Sawit.
Manfaat Minyak Jelantah untuk LingkunganSeperti penjelasan sebelumnya, BBN Minyak Jelantah menawarkan berbagai manfaat lingkungan dibandingkan dengan BBN Sawit. Sebagai bahan baku, BBN Minyak Jelantah berasal dari minyak goreng bekas, yang biasanya dianggap sebagai limbah. Karena diklasifikasikan sebagai limbah, emisi yang terkait dengan produksi atau pemasakan minyak tersebut tidak dihitung dalam analisis jejak karbonnya. Oleh karena itu, jejak karbon BBN Minyak Jelantah hanya dihitung dari proses pengumpulan minyak goreng bekas dan pembuatannya menjadi biodiesel.
Selain itu, dengan mengumpulkan dan mengolah minyak goreng bekas menjadi BBN, kita dapat menyelesaikan beberapa masalah lingkungan yang serius. Misalnya, jika minyak goreng bekas dibuang sembarangan ke tanah atau air, hal ini dapat menyebabkan polusi yang signifikan dan berdampak buruk pada lingkungan. Minyak jelantah yang dibuang ke tanah dapat membentuk lapisan tipis yang menghalangi penyerapan air oleh tanah, menghambat pertumbuhan tanaman, dan merusak struktur tanah.
Hal ini bisa menyebabkan penurunan kualitas tanah yang pada akhirnya dapat mengurangi kesuburan lahan dan mengancam produksi pertanian. Jika tanah yang tercemar adalah tanah di kawasan pemukiman atau perumahan, dampaknya juga bisa serius. Kontaminasi minyak bisa merusak taman dan ruang hijau yang ada di lingkungan perumahan, mengurangi estetika dan kenyamanan tempat tinggal. Lebih jauh lagi, minyak yang meresap ke dalam tanah bisa mencemari sumur atau sumber air tanah yang digunakan oleh penduduk, menyebabkan potensi risiko kesehatan bagi mereka yang mengonsumsi air yang terkontaminasi.
Jika minyak goreng bekas dibuang langsung ke sumber air seperti sungai atau comberan, dampaknya bisa lebih parah. Minyak jelantah dapat mencemari air, menyebabkan lapisan minyak di permukaan air yang menghalangi oksigen masuk ke dalam air. Ini dapat mengganggu keseimbangan oksigen di dalam air, yang sangat penting bagi kehidupan akuatik.
Akibatnya, kehidupan ikan dan organisme air lainnya bisa terganggu, bahkan menyebabkan kematian massal. Contoh yang baru-baru ini terjadi adalah di Sungai Suka Maju, Kabupaten Muaro Jambi. Selain itu, kontaminasi minyak di air juga dapat mempengaruhi kualitas air minum dan menyebabkan kerusakan ekosistem yang lebih luas.
Agar Lebih Ramah Lingkungan
Peluang penurunan emisi karbon dari BBN Minyak Jelantah bisa meningkat jika proses pengumpulannya dilakukan secara efektif dan efisien. Ini penting karena transportasi selama pengumpulan menyumbang sekitar 16% dari total emisi BBN Minyak Jelantah. Contoh pengumpulan yang efektif dapat dilihat di Belgia, di mana sistem pengumpulan minyak goreng bekas sangat terorganisir dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat serta sektor komersial.
Di Belgia, jaringan titik pengumpulan minyak jelantah tersebar luas, mencakup lokasi-lokasi strategis seperti supermarket, stasiun pengisian bahan bakar, dan pusat daur ulang. Kontainer khusus disediakan di titik-titik ini untuk memudahkan masyarakat membuang minyak dengan benar. Selain dari rumah tangga, minyak jelantah juga dikumpulkan dari sektor komersial seperti restoran, hotel, dan industri makanan, melalui kerja sama dengan perusahaan pengelolaan limbah.
Minyak yang terkumpul kemudian diangkut ke fasilitas pengolahan menggunakan armada kendaraan khusus yang dirancang untuk mengurangi emisi selama transportasi. Di fasilitas ini, minyak diolah menjadi biodiesel atau bahan bakar lainnya, memastikan seluruh proses berjalan efisien dan ramah lingkungan. Infrastruktur dan sistem pengumpulan terintegrasi ini menjadikan Belgia sebagai salah satu negara dengan pengelolaan minyak jelantah terbaik di Eropa.
Selain itu, dukungan dari pemerintah dan badan usaha milik negara sangat penting untuk memberi insentif atau menjalankan program pengumpulan minyak goreng bekas dan mengolahnya menjadi BBN. Di Jepang, misalnya, Japan Airlines (JAL) telah meluncurkan program pengumpulan minyak goreng bekas dari rumah tangga di Yokohama. Minyak ini kemudian diolah menjadi biodiesel dan bahan bakar penerbangan yang berkelanjutan (SAF).
Program ini merupakan bagian dari inisiatif “Fry to Fly” yang didukung oleh pemerintah setempat, bertujuan untuk menggantikan sebagian besar bahan bakar penerbangan dengan SAF hingga tahun 2030 (Argus Commodities). Inisiatif seperti ini menunjukkan pentingnya peran kebijakan pemerintah dalam mempercepat adopsi teknologi BBN Minyak Jelantah.
Pemerintah Indonesia dapat belajar dari contoh ini dengan mengimplementasikan program nasional yang mendorong pengumpulan minyak goreng bekas di berbagai wilayah, baik dari rumah tangga maupun sektor komersial. Pemerintah bisa menyediakan kontainer pengumpulan di lokasi-lokasi strategis dan memberikan insentif pajak atau subsidi kepada perusahaan yang berpartisipasi dalam pengumpulan dan pengolahan minyak jelantah.
Selain itu, kampanye edukasi masyarakat tentang pentingnya mendaur ulang minyak goreng bekas dapat digencarkan, dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk sekolah, komunitas, dan media. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat meningkatkan pengelolaan limbah, mengurangi emisi karbon, dan mempercepat transisi ke energi yang lebih berkelanjutan.