Dalam Forum Bumi yang diadakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, para ahli menekankan pentingnya mengembalikan fokus pada keragaman pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan dan melestarikan budaya.
Masyarakat Indonesia seharusnya dapat mencukupi kebutuhan karbohidrat mereka tanpa harus bergantung hanya pada beras dan terigu. Banyak sumber pangan lokal yang tersedia di berbagai daerah di Indonesia yang dapat menjadi alternatif karbohidrat.
Sayangnya, ada anggapan yang berkembang di masyarakat, dari barat hingga timur, bahwa makanan pokok haruslah nasi. Berdasarkan data historis sejak tahun 1954, kebutuhan beras sebagai sumber karbohidrat di Indonesia meningkat dari 53,5% menjadi 74,6% pada tahun 2017.
Konsumsi gandum, yang merupakan bahan dasar tepung terigu, juga mengalami lonjakan. Dari yang tidak lebih dari 5% pada tahun 1954, kebutuhan ini melonjak menjadi 25,4% pada tahun 2017, dan 28% pada tahun 2022.
“Kebutuhan beras dan gandum saat ini menjadi tren dominan,” ungkap Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, Sjamsul Hadi, dalam Forum Bumi yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia di House of Izara dengan tema “Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?” di Jakarta, Kamis (10/10/24).
Sjamsul menekankan dampak negatif dari keseragaman pangan yang berfokus pada beras. Pergeseran pola konsumsi ini meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor dan menyebabkan harga beras di daerah terpencil menjadi lebih mahal.
Sebagai contoh, menurut data Badan Pangan Nasional pada 2023, harga beras premium di Jawa sekitar Rp15.000 per kilogram, namun di beberapa wilayah kepulauan, seperti Nusa Tenggara Timur, Wakatobi, dan Mentawai, harga beras yang sama bisa mencapai Rp17.000 hingga Rp20.000 per kilogram.
“Nah, ini sangat membebani masyarakat, meskipun pemerintah telah memberikan bantuan pangan untuk memenuhi kebutuhan mereka,” tegas Sjamsul.
Menurutnya, sistem pangan Indonesia perlu berfokus pada keberagaman Nusantara, dengan memperhatikan keragaman sumber hayati dan budaya pangan. Setiap daerah memiliki kekayaan budaya dan sumber pangan lokal yang perlu dilestarikan untuk meningkatkan ketahanan dan keragaman pangan.
Masyarakat di daerah timur, misalnya, dapat mengonsumsi sagu atau sorgum, mengikuti tradisi leluhur mereka, alih-alih harus mengonsumsi beras seperti masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa juga memiliki sumber karbohidrat lain, seperti singkong, jagung, dan umbi-umbian.
Pandangan bahwa pangan harus beras dan beras harus dari sawah perlu ditinggalkan. Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, memiliki 72 varietas sumber karbohidrat, 100 varietas kacang-kacangan, dan 450 varietas buah-buahan. “Ini adalah momen untuk kembali membudayakan pangan lokal,” jelas Sjamsul.
Puji Sumedi Hanggarawati, Manajer Program Pertanian Yayasan KEHATI, menambahkan bahwa kita perlu mengubah pandangan umum yang mengatakan “kalau tidak makan beras, berarti belum makan.” Hal ini telah menjadi norma di seluruh Indonesia, meskipun banyak sumber karbohidrat lokal yang beragam.
Puji memperingatkan bahwa hilangnya pemanfaatan sumber pangan lokal dapat mengancam keberadaan varietas tanaman tersebut. “Ketika pangan lokal ini hilang, maka budayanya juga hilang, dan keanekaragaman hayati akan terancam,” katanya.
Penerapan kebijakan yang mendukung pelestarian keragaman pangan lokal sangat penting. Yayasan KEHATI telah mendukung Pemerintah Kabupaten Sangihe untuk menerapkan kebijakan “dua hari tanpa beras” setiap bulan, yang meningkatkan penyerapan pangan lokal dan menurunkan biaya impor beras.
Jika masyarakat di seluruh Indonesia mengurangi konsumsi beras satu hari dalam seminggu dan menggantinya dengan pangan lokal, kita bisa menghemat hingga 3,37 ton beras dalam setahun, yang tentunya akan mengurangi ketergantungan pada impor.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, juga menyoroti tingginya konsumsi beras di Indonesia. “Konsumsi beras kita terus meningkat, rata-rata 1,34% antara 1981 hingga 2019,” ujarnya.
Said menekankan pentingnya keadilan bagi produsen pangan skala kecil. “Jika kita ingin melakukan transformasi sistem pangan, kita harus memastikan petani skala kecil dapat hidup dengan layak,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya keragaman pangan. “Indonesia seharusnya bersyukur dengan keanekaragaman hayatinya, namun konsumsi sagu dan pangan lokal lainnya justru menurun, sementara konsumsi gandum impor meningkat.”
Koordinator Bidang Pangan Kementerian PPN/Bappenas, Ifan Martino, menjelaskan rencana pembangunan jangka panjang Indonesia dalam bidang pangan. “Dengan populasi yang diperkirakan mencapai 320 juta pada 2045, kita menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan,” ujarnya.
Ifan mengungkapkan bahwa sekitar 48% masyarakat Indonesia belum mampu membeli diet yang sehat, sementara satu orang bisa menyumbang 115 hingga 185 kilogram sampah makanan per tahun. “Ini menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi pangan di Indonesia,” katanya.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), isu ketahanan pangan menjadi prioritas utama, mencakup peningkatan produktivitas sektor pertanian dan keberlanjutan produksi pangan. “Kami akan melakukan regionalisasi sistem pangan, yang lebih berfokus pada potensi dan kearifan lokal,” tutup Ifan.
- Konsekuensi Mahkamah Konstitusi memerintahkan tidak menerbitkan peraturan pelaksana berkaitan UU KSDAHE
- Menavigasi pencemaran dan perjuangan hidup di tepi perairan Cilincing
- Belajar dari Kearifan Orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur
- BPKN: industri AMDK ‘kurang menghormati’ aturan label peringatan BPA
- Pengelolaan IPAL Sarimukti belum maksimal