Kota Makassar dikhawatirkan mengalami kebanjiran ketika musim penghujan dan kekeringan ketika musim kemarau.
Kota Makassar kerap digambarkan sebagai ‘Kota Dunia’ ternyata begitu rapuh sebagai akibat dari lonjakan industrialisasi, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan dipengaruhi oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis. Kerapuhan itulah yang kemudian semakin diperparah dengan krisis iklim yang saat ini terjadi.
“Makassar ini sudah sangat sesak di mana lahan terbangunnya ada sekitar 11.432 Ha (65,04% dari luas kota),” kata Slamet Riadi selaku Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan, Diseminasi dan Peluncuran Hasil Riset berjudul Makassar Kota Dunia yang Krisis Air, dalam keterangan resmi, diakses Minggu, 6 Oktober 2024.
Ditambah lagi dengan melihat aspek hidrologi kotanya yang secara signifikan dipengaruhi oleh tiga DAS kritis karena tutupan hutannya di bawah angka 30%. DAS Jeneberang hanya Memiliki tutupan Hutan sekitar 16,8%, DAS Tallo Memiliki Tutupan Hutan 12,1%, dan DAS Maros Memiliki Tutupan Hutan sekitar 19,8%.
“Inilah yang menyebabkan Kota Makassar akan terus mengalami kebanjiran ketika musim penghujan dan kekeringan ketika musim kemarau,” lanjut Slamet Riadi.
Selain itu, hasil riset WALHI Sulawesi Selatan juga berhasil menemukan akar permasalahan dari krisis air yang ada di utara Kota Makassar. Menurut Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, permasalahan utamanya adalah ketimpangan atas akses dan distribusi air bersih, bukan soal teknis perpipaan dan ketersediaan sumber air baku.
“Data yang kami dapatkan menunjukkan bahwa Makassar Utara dengan jumlah pelanggan 51.852 hanya disalurkan air sebesar 940.845 kubik sepanjang tahun 2023. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan beberapa kecamatan yang masuk dalam wilayah Makassar Barat yang dikenal sebagai pusat industri dan jasa dimana jumlah pelanggannya hanya mencapai 12.466. Tetapi volume air yang disalurkan empat kali lipat lebih banyak dari Makassar Utara yakni sekitar 4.204.765 kubik sepanjang tahun 2023,” ucap Slamet.
Dalam riset ini, WALHI Sulawesi Selatan juga menganalisis kerentanan tiap kecamatan di Kota Makassar terhadap akses atas air bersih dengan memperhatikan dua variabel yakni jumlah pelanggan dan volume air yang tersalurkan. Hasilnya, Kecamatan Tallo dan Rappocini merupakan dua wilayah yang masuk dalam kategori rentan atas air bersih.
“Yang rentan adalah Tallo dan Rappocini. Sedangkan kecamatan lain yang menghampiri kategori rentan yakni Tamalate, Bontoala, Kepulauan Sangkarrang, Manggala, Biringkanaya, dan Tamalanrea. Sedangkan kecamatan yang masuk kategori tidak rentan yakni Wajo, Panakkukang, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Makassar, Mamajang, dan Mariso,” ungkap Slamet.
Terakhir, Slamet kemudian membacakan lima rekomendasi WALHI Sulawesi Selatan kepada para pihak untuk menyelesaikan permasalahan krisis air di Makassar Utara dan sekaligus memperbaiki tata kelola air di Kota Makassar.
“Pertama, perluas Ruang Terbuka Hijau. Kedua, merawat dan menjaga Daerah Aliran Sungai Tallo, Jeneberang, dan Maros. Ketiga, menerapkan Pajak ‘Progresif’ Penggunaan Air Tanah dan Air Permukaan bagi Industri skala Besar. Keempat, memperbaiki Pelayanan, Tata Kelola, dan Distribusi Air Bersih. dan Kelima Membuat atau menyiapkan Dokumen Perencanaan Adaptasi dan Mitigasi dalam Menghadapi Krisis Air dan Perubahan Iklim,” tutupnya.
Selengkapnya, Laporan Riset WALHI Sulawesi Selatan “Makassar Kota Dunia yang Krisis Air”
Diseminasi ini bertempat di Aula Kantor Camat Tallo Kota Makassar, dihadiri oleh sejumlah pihak diantaranya perwakilan warga dari tiga kelurahan (Buloa, Tallo, dan Kaluku Bodoa), Dinas PU Kota Makassar, PDAM Kota Makassar, Sekretaris Camat Tallo, Direktur Pusat Kajian dan Rekayasa Sumber Daya Air UNHAS, dan beberapa jaringan organisasi masyarakat sipil di Kota Makassar.
Kegiatan yang diawali pada pukul 14.00 WITA ini, diawali dengan pemaparan Slamet Riadi selaku Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan. Dalam pemaparannya, Slamet menjelaskan bahwa Kota Makassar yang kerap digambarkan sebagai ‘Kota Dunia’ ternyata begitu rapuh sebagai akibat dari lonjakan industrialisasi, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan dipengaruhi oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis. Kerapuhan itulah yang kemudian semakin diperparah dengan krisis iklim yang saat ini terjadi.