Awane Theovilla Yogi lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) setelah melewati proses yang tidak mudah. Siap memajukan tanah Papua.
Kebahagiaan menyelimuti hati Awane Theovilla Yogi. Beberapa kali ia menyeka air matanya. Dara asal Awabutu, Kecamatan Paniai, Provinsi Papua Tengah ini, sejak kecil selalu berkeinginan mendapatkan pendidikan terbaik.
Perasaan haru dan gembira dirasakannya usai mengikuti prosesi wisuda program Sarjana dan Sarjana Terapan UGM, kamis (21/11) di Grha Sabha Pramana. Ijazah gelar Sarjana Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis digenggamnya erat-erat.
Untuk meraih gelar sarjana di UGM bagi Awane Theovilla tentu bukan hal yang mudah. Meski ia berasal dari daerah 3T, ia ingin mendapatkan pendidikan terbaik. Selepas lulus pendidikan SD, ia pun melanjutkan pendidikan Menengah Pertama di SMP Santa Maria Bandung dan saat naik kelas IX ia kembali lagi ke Jayapura dan menyelesaikan pendidikan SMP di YPPK Kristus Raja.
Beruntung, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa ADEM (Afirmasi Pendidikan Menengah), sehingga bisa melanjutkan ke SMA Negeri 1 Bojong, Pekalongan. Usai menamatkan bangku SMA, ia pun kembali mendapatkan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi yang membawanya kuliah di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Putri dari Jonas Yogi dan Theresia Gobai ini pun mengaku menjalani pembelajaran yang tidak mudah di awal-awal perkuliahan. Ia mengaku sempat stress dan berusaha menyesuaikan diri degan lingkungan kampus.
“Sempat ragu, saya bisa bertahan atau tidak? Melihat background teman-teman membuat saya kaget dan langsung kena mental. Sempat minder, tapi bersyukur karena apa yang saya bayangkan tidak seperti kenyataan. Teman-teman di kampus ternyata sangat membantu dan suportif”, kenangnya, dari laman UGM, diakses Sabtu, 30 November 2024.
Awane sungguh bersyukur, teman-temannya di FEB UGM terbuka dan baik hati. Mereka membuka diri untuk belajar bersama dan bimbingan jika ada mata kuliah yang belum bisa ia pahami.
“Mereka sangat membantu jika ada pembelajaran yang dirasa kurang paham, saya dapat bertanya ke mereka bahkan dipersilakan untuk fotokopi materi. Jadi, sayapun tidak merasa sendirian atau ketinggalan,” jelasnya mahasiswa angkatan 2017 ini.
Perjalanan kuliah Awane bisa dibilang tidaklah berjalan lancar. Ia sempat berhenti kuliah akibat gejolak rasisme terhadap mahasiswa Papua yang meluas di berbagai wilayah pada tahun 2019. Sehingga di tahun kedua menjalani perkuliahan, iapun terpaksa mengambil cuti dan kembali ke kampung halaman.
“Sempat terlintas untuk pindah kampus. Tapi setelah dipikir-pikir, pengorbanan yang telah dilalui terlalu berat untuk ditinggalkan, dan telah juga menguras banyak tenaga. Untung dengan dukungan keluarga dan teman-teman, akhirnya saya bisa bertahan,” ungkapnya.
Usai menyandang gelar sarjana, Awane berencana ingin mengabdi di kampung halamannya, Awabutu. Awane menjelaskan di kampung halamannya merupakan wilayah yang kaya potensi namun belum dikelola secara optimal. Dengan pendidikan yang berhasil ia raih, ia bermimpi menjadikan daerahnya sebagai destinasi unggulan sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
“Awabutu itu seperti Dieng, dengan tanah yang subur dan danau yang indah. Kalau dikelola dengan baik, bisa menjadi destinasi yang menarik sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat,” tambahnya.
Meski di kampung halamannya telah berdiri banyak sekolah, imbunya, aksesibilitas menuju layanan pendidikan masih sangat sulit terutama untuk siswa-siswa yang tinggal di kampung seberang danau. Ibu Awane yang merupakan seorang guru Bimbingan Konseling bahkan merelakan dan membuka rumahnya untuk menampung anak-anak yang membutuhkan tempat tinggal agar bisa melanjutkan pendidikan.
“Saya berharap bisa kembali ke Awabutu dan berkontribusi untuk pendidikan dan ekonomi di sana,” pungkasnya.