Pemerintah dalam mempromosikan adopsi kendaraan listrik. Para ahli hawatir tentang kemampuan negara dalam mengelola limbah baterai.

Ilustrasi. Kementerian Perhubungan menggunakan kendaraan listrik . (Foto: Kementerian Perhubungan)
Ilustrasi. Kementerian Perhubungan menggunakan kendaraan listrik . (Foto: Kementerian Perhubungan)

Komang Ratih baru-baru ini membelikan putranya yang berusia 10 tahun sebuah sepeda motor listrik agar ia dapat pergi ke sekolah secara mandiri. Mereka tinggal di Pulau Bali, Indonesia, tempat kendaraan listrik semakin populer. Lebih kecil dan lebih ringan daripada sepeda motor, sepeda motor listrik (e-moped) dianggap lebih aman dari keduanya, serta lebih nyaman, karena tidak memerlukan registrasi untuk mengendarainya.

Dengan harga awal sekitar Rp6 juta (USD 365), harganya juga lebih terjangkau. Hingga Desember 2023, 4.500 kendaraan listrik (EV) telah terdaftar di Bali – 400 di antaranya adalah kendaraan roda empat – di antara populasi sekitar 4,3 juta jiwa. Namun, maraknya EV di sini menyoroti tantangan kritis: mengelola tumpukan baterai bekas yang terus bertambah.

Indonesia, dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa, memiliki 125 juta sepeda motor yang beredar pada tahun 2022. Tahun itu, negara tersebut menetapkan target ambisius untuk memiliki 2,1 juta kendaraan roda dua listrik (E2W) pada tahun 2025 dan 13 juta pada tahun 2030. Namun, pada Januari 2024 jumlah E2W yang terdaftar hanya 75.000. Meskipun jumlah di Bali meningkat setelah diperkenalkannya subsidi pada Maret 2023, lambatnya penyerapan menggarisbawahi upaya yang diperlukan untuk memenuhi target ini.

Infrastruktur daur ulang saat ini: mapan tetapi tidak memadai

Tidak seperti kebanyakan kendaraan listrik di pasaran, e-moped menggunakan baterai asam timbal tertutup (SLA) daripada opsi berbasis litium yang lebih mahal. Inilah yang membuat e-moped setidaknya 50% lebih murah daripada alternatif bertenaga litium. Meskipun baterai SLA lebih murah, baterai tersebut biasanya hanya bertahan antara satu dan tiga tahun.

Baterai SLA telah lama menjadi elemen penting kendaraan bermesin pembakaran, dan komponen-komponennya (plastik, timbal, asam sulfat) sebagian besar dapat didaur ulang. Setelah dibuang, baterai tersebut sering dijual sebagai barang bekas dan dipecah untuk didaur ulang. Plastik dipotong menjadi potongan-potongan kecil dan dilebur menjadi pelet untuk digunakan kembali, sementara timbal dilebur menjadi batangan dalam tungku dan asamnya digunakan kembali dalam baterai baru atau dinetralkan.

Masalah daur ulang baterai beracun di Asia Selatan

“Untuk baterai SLA, ekosistem daur ulang di Indonesia sudah cukup mapan,” kata Indra Perdana, yang memimpin tim peneliti limbah baterai di Universitas Gadjah Mada di Jawa. “Bahkan Astra [distributor kendaraan utama] sudah memiliki unit khusus untuk mendaur ulang baterai asam timbal.”

Meskipun infrastruktur ini sudah ada, langkah-langkah pembuangan limbah keselamatan belum dapat mengimbanginya. Faris Adnan Padhilah, seorang peneliti di Institute for Essential Services Reform di Jakarta, mengatakan bahwa baterai SLA tidak dibuang dengan hati-hati, yang menyebabkan masalah kesehatan di masyarakat. Di Bogor, Jawa Barat, salah urus limbah SLA telah menyebabkan keracunan timbal yang menyebabkan banyak anak mengalami gangguan fisik maupun mental, katanya.

“Ada kemungkinan baterai SLA bekas dikembalikan ke pabriknya untuk didaur ulang, tetapi ekosistem daur ulang saat ini masih belum kebal terhadap bahaya,” kata Padhilah. Membiarkannya di luar atau terkena sinar matahari berbahaya, dan dampak kesehatan masyarakat jangka panjang dapat memakan waktu hingga sepuluh tahun untuk sepenuhnya terwujud, tambahnya.

Desentralisasi versus sentralisasi: berapa kapasitas daur ulang baterai kendaraan listrik di Indonesia?

Pemerintah Indonesia mengatur penanganan limbah berbahaya, dengan mewajibkan pengumpul dan pengelola limbah untuk memperoleh izin dari gubernur daerah mereka. Namun, peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021 tidak memuat perincian penting, dan tidak mengatur tentang bagaimana berbagai jenis limbah beracun harus diolah.

Penerapan peraturan ini juga “tidak dipantau”, klaim Catur Yudha Hariani, yang mengepalai Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, sebuah LSM. “Terkadang, pemulung membongkar baterai dan menjual suku cadangnya secara terpisah. Itu sangat berbahaya, karena mereka terpapar bahan kimia berbahaya yang dapat merusak kesehatan mereka,” katanya. Kurangnya pengawasan ini menyebabkan anak-anak berusia enam tahun diketahui mengumpulkan dan membongkar limbah elektronik.

Untuk bergerak menuju adopsi EV yang lebih luas, pihak berwenang perlu memberikan pedoman yang jelas tentang cara mengelola limbah, Perdana menyarankan. “Entitas diharuskan untuk memproses limbah terkait baterai, tetapi saya tidak melihat adanya peraturan lanjutan tentang ini,” katanya. Peraturan lanjutan yang dirancang di tingkat menteri dan kabupaten, tambahnya, dapat memberikan perincian tentang cara menerapkan pedoman di lapangan.

Hariani sedang meneliti kesiapan Bali untuk limbah baterai yang masuk dari sektor EV yang sedang berkembang. Beberapa pemerintah kabupaten telah memulai inisiatif untuk membangun tempat pembuangan sampah daur ulang, tetapi berjuang dengan anggaran yang rendah dari pemerintah pusat. “Misalnya, anggaran untuk Gianyar [kabupaten Bali] untuk mengelola limbah berbahaya hanya Rp 3 juta [USD 182] per tahun, yang hanya cukup untuk memantau sistem pengelolaan limbah yang ada, bukan untuk memperbaikinya,” katanya.

Selain itu, pemrosesan baterai SLA terpusat di beberapa kota di Jawa, seperti Surabaya dan Cirebon. Karena tidak memiliki industri daur ulang limbah elektronik sendiri, limbah elektronik Bali harus diangkut ke daerah-daerah tersebut. Paola Cannucciari, seorang manajer program untuk penyedia layanan limbah ecoBali, mengatakan biaya transportasi biasanya “terlalu tinggi” bagi pengelola limbah yang beroperasi di daerah tanpa infrastruktur daur ulang. “Jadi, sangat penting bagi Indonesia untuk menemukan cara untuk mendesentralisasikan industri daur ulangnya,” jelasnya.

Peningkatan skala untuk litium

Perdana yakin dominasi baterai SLA di pasar kendaraan listrik Indonesia bersifat sementara. Ia mengatakan baterai berbasis litium, khususnya jenis litium-besi-fosfat (LFP) dan nikel-mangan-kobalt (NMC), lebih mungkin menjadi pilihan yang disukai oleh produsen dalam jangka panjang karena harganya yang terjangkau, masa pakai yang lebih lama, dan kesesuaian untuk berbagai jenis kendaraan.

Baterai NMC dan LFP keduanya dapat didaur ulang, tetapi memerlukan teknologi yang berbeda, yang berarti keduanya perlu dikumpulkan secara terpisah. Saat ini, Indonesia masih mengembangkan regulasi daur ulang khusus kendaraan listrik yang komprehensif.

Padhilah mencatat bahwa pemerintah Indonesia belum membatasi penjualan E2W dengan baterai SLA, tidak seperti negara lain yang telah memilih untuk membatasi subsidi kendaraan listrik pada opsi bertenaga litium. Kurangnya pembatasan ini berarti baterai SLA dapat bertahan lebih lama di pasaran, terutama untuk kendaraan jarak pendek berbiaya rendah.

Pemerintah perlu segera mengeluarkan regulasi lebih lanjut

Faris Adnan Padhilah, peneliti di Institute for Essential Services Reform

Meskipun pemerintah telah berfokus pada perluasan kapasitas daur ulang dan pemantauan pengumpulan sampah ilegal, Perdana khawatir upaya ini mungkin hanya cukup untuk baterai SLA. Masuknya baterai berbasis litium yang dibuang dapat membebani sistem yang ada.

Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform pada tahun 2023 menunjukkan bahwa saat ini Indonesia hanya memiliki operasi daur ulang skala kecil untuk baterai litium. Menurut Padilah, operasi ini dibatasi oleh peraturan lama yang mengklasifikasikan limbah baterai hanya sebagai limbah, bukan sebagai sumber daya. Klasifikasi ini mempersulit transportasi dan meningkatkan biaya, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia.

“Kebijakan tersebut sudah ketinggalan zaman,” kata Padhilah. “Jika kita melihat keputusan presiden [tentang percepatan kendaraan listrik] yang dirilis pada tahun 2019, itu sudah lima tahun yang lalu.” Ia menunjukkan bahwa keputusan tersebut terutama berfokus pada manufaktur dan pengisian daya, tidak memiliki kerangka kebijakan yang komprehensif untuk mengembangkan kemampuan daur ulang yang kuat. “Pemerintah perlu segera mengeluarkan peraturan lebih lanjut,” tambahnya.

Pasokan nikel Indonesia yang besar menjadikan baterai NMC sebagai alternatif nasional yang logis untuk SLA. Pemerintah telah mengumumkan niatnya untuk mengembangkan industri nikel hilir, mendorong perusahaan kendaraan listrik seperti Tesla untuk memilih Indonesia untuk pabrik baterai berbasis nikel barunya. Perusahaan minyak dan gas negara Indonesia, PT. PERTAMINA, dan produsen baterai Tiongkok, Tianneng, telah menyatakan minatnya untuk membangun fasilitas daur ulang baterai litium kendaraan listrik di Indonesia. Namun, pada saat penulisan ini, rencana khusus belum terwujud. Sementara itu, 75% kendaraan listrik yang terjual di Indonesia pada tahun 2023 menggunakan baterai LFP, meskipun daur ulangnya kurang menguntungkan.

Penjelasan: peluang dan tantangan industri litium

Padhilah berpendapat Indonesia harus mempertimbangkan untuk mengimpor baterai bekas guna meningkatkan volume bahan yang dapat didaur ulang, yang menurutnya akan mengubah limbah menjadi sumber daya yang berharga. “Indonesia tidak memiliki cadangan litium yang signifikan, jadi dengan mengimpor [dan mendaur ulang] baterai bekas, kita dapat memperoleh sebagian litium ini,” katanya. “Negara-negara lain di Asia Tenggara telah mempertimbangkan untuk melakukan penambangan perkotaan mereka sendiri, tetapi mereka juga masih tertinggal dalam hal membangun pusat daur ulang. Indonesia seharusnya memulai lebih awal.”

Apa pun jenis baterai yang akhirnya mendominasi, Perdana mengatakan diperlukan regulasi daur ulang yang lebih rinci, “hingga bagaimana setiap jenis baterai harus disortir dan dikumpulkan”.

Padhilah setuju bahwa peralihan ke baterai litium, yang menawarkan masa pakai lebih lama dan menggabungkan teknologi yang lebih maju, diperlukan. Ia percaya bahwa, untuk mencapai target EV yang ambisius dan mengelola limbah yang dihasilkan secara efektif, Indonesia perlu mengembangkan infrastruktur daur ulang yang mampu menangani berbagai jenis baterai di masa depan listriknya dengan cepat. Padhilah mengatakan bahwa mereplikasi sistem daur ulang SLA (yang memungkinkan pelanggan menukar baterai lama dengan diskon untuk baterai baru) dapat membantu mengelola limbah baterai litium secara lebih efektif.

“Tidak ada cukup diskusi di tingkat kebijakan tentang membangun ekosistem daur ulang,” Padhilah menyimpulkan. “Dari percakapan saya dengan pejabat pemerintah, daur ulang bukanlah prioritas … kita masih memiliki jalan panjang yang harus ditempuh.”

[Penulis: Michelle Anindya, jurnalis teknologi dan bisnis independen yang tinggal di Bali, Indonesia. Karyanya telah dimuat di Rest of World, The Jakarta Post, dan The Ken Southeast Asia)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.