Studi Potensi Ketersediaan dan Model Pengumpulan UCO di Sektor Industri sebagai Feedstock Biofuel. Minyak jelantah energi terbarukan.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia pada Oktober 2024 silam mengesahkan Permendag 26 Tahun 2024. Efektif pada tanggal 11 Oktober, peraturan ini merangkum bagaimana ketentuan ekspor produk turunan kelapa sawit, salah satunya minyak jelantah. Adanya aturan ini diharap dapat menjadi medium terciptanya efektivitas ketersediaan bahan baku yang aksesibel dan pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya pada sektor perindustrian.
Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa Kementerian ESDM tengah mengembangkan konsep bahan bakar biodiesel 100 (B100) sebagai wujud merealisasikan target swasembada energi yang dicetuskan oleh Presiden Prabowo.
“Salah satu rancangan yang dilakukan adalah mempersiapkan semua konsep sampai dengan B100, tapi sudah tentu itu bertahap, nanti kami laporkan (perkembangannya),” ujar Bahlil Lahadalia usai konferensi pers di Kantor Kementerian Bidang Perekonomian, dalam keterngan resmi, diakses Kamis, 7 November 2024.
Traction Energy Asia dalam Diseminasi Studi Potensi Ketersediaan dan Model Pengumpulan Minyak Jelantah di Sektor Industri sebagai Feedstock Biofuel memaparkan, dalam diseminasi bahwa ada potensi minyak jelantah sebesar 933,2 ribu kilo liter yang dapat disumbangkan dari sektor industri Hotel, Restoran, dan Cafe (HoReCa).
Industri pengolahan makanan menjadi penyumbang terbesar, yakni 714.296,6 kilo liter per tahun. Model pengumpulan minyak jelantah dari sektor industri yang ditemukan dalam penelitian ini cukup beragam, mulai dari dikumpulkan kepada Dinas Lingkungan Hidup, pengepul atau pihak swasta, lembaga non-profit, hingga karang taruna.
“Traction Energy Asia menyarankan bahwa potensi UCO yang dihasilkan oleh industri HoReCa dan pengolahan makanan dapat memanfaatkan skema yang ada saat ini. Hanya saja, (model pengumpulannya) dapat diatur oleh Dinas Lingkungan Hidup setempat, dan kemudian diserahkan kepada jaringan pengepul, lalu kami asumsikan itu akan diserahkan kepada Kilang Pertamina untuk diproduksi menjadi biofuel,” terang Refina Muthia Sundari dari Traction Energy Asia dalam kegiatan webinar pada 6 November 2024.
Dalam kegiatan diseminasi tersebut, Tri Hermawan selaku Direktur PT Bali Hijau Biodiesel menuturkan bahwa Bahwa potensi minyak jelantah di sektor HoReCa tergolong sangat besar dan akan sangat signifikan apabila ditambahkan dengan potensi minyak jelantah yang diperoleh dari sektor rumah tangga.
Namun, sebagaimana limbah, jaminan ketersediaannya akan sulit. Sehingga sangat perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada hotel dan restoran untuk dapat memaksimalkan potensinya. Tri juga menggarisbawahi bahwa karakteristik dan kualitas minyak jelantah yang diperoleh dari sumber yang berbeda-beda juga perlu dilakukan klasifikasi, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan baku biodiesel tidak menimbulkan masalah ke depannya.
Pada sesi terpisah, Lila Harsyah Bakhtiar, Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, melihat bahwa masih ada asimetris informasi dari kegiatan usaha pengumpulan minyak jelantah. Dari temuan yang ada, spread harga minyak jelantah antar daerah terbilang tinggi, antara Rp 3.000 hingga Rp 9.000, dan untuk mengecilkan jarak tersebut perlu upaya yang sangat besar.
Sehingga perlu ada pengaturan tata niaga mulai dari level masyarakat agar harga dapat lebih terkendali, dengan menjaga harga pada level yang remuneratif dalam bentuk harga eceran tertinggi (HET), sehingga tetap memberi keuntungan, baik bagi produsen maupun pengguna minyak jelantah untuk bahan baku biofuel.
“Kita perlu melihat minyak jelantah ini bukan sebagai limbah lagi atau sebagai komoditas, tapi sebagai sumber daya industri. Kalau kita memberikan predikat UCO ini sebagai sumber daya industri, maka kita bisa menjalankan kebijakan untuk menyeimbangkan harga tadi dengan pembentukan harga (HET) tadi,” tutup Lila.