Transisi energi erat kaitannya dengan krisis iklim yang terjadi saat ini. Isu ini mesti didekati dengan kritis .

WALHI mendesak pemerintah Indonesia lebih ambisius dalam mengurangi dampak krisis iklim, alih-alih mengutamakan kepentingan korporat.
WALHI mendesak pemerintah Indonesia lebih ambisius dalam mengurangi dampak krisis iklim. (WALHI)

Pemberitaan media arus utama mengenai transisi energi saat ini masih cenderung elitis. Konten pemberitaan media lebih didominasi mengakomodir aktor-aktor elite, sehingga wacana yang keluar ke publik menjadi lebih elitis.

Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief menerangkan, seharusnya dilakan media terkait situasi krisis iklim yakni menuntut akuntabilitas penguasa dan menyuarakan mereka yang terbungkam. Termasuk menginspirasi perubahan dan membuat audiens memahami permasalahan.

“Media dapat membentuk kesadaran, interaksi sosial untuk memicu keterlibatan, dan memengaruhi preferensi kebijakan. Isu iklim dan lingkungan juga membentuk sikap politik warga,” kata di Jakarta, dikutip Sabtu (30/11/2024).

Yovantra menerangkan wacana elite dalam pemberitaan media lebih banyak mengakomodir elite perusahaan dan pemerintah. Ini menurutnya menunjukkan media kehilangan daya kritis terkait isu transisi energi.

Berdasarkan penelusuran Yovantra, pemberitaan media masih cenderung berita humas. Rata-rata membahas kinerja pemerintah dan perusahaan swasta/BUMN, baik dari segi kesuksesan kerjasama, pendanaan, hingga pencapaian investasi.

“Media juga memprioritaskan liputan tentang pencapaian proyek energi atau komitmen perusahaan dalam transisi energi dari perspektif narasumber,” terangnya.

Kondisi tersebut yang membuat suara warga dalam pemberitaan semakin menipis atau berkurang. Padahal transisi energi, itu sangat vital dalam merespons krisis iklim. Namun, ia tetap mesti didekati dengan kritis untuk memastikan terjadinya transisi energi.

“Media mesti melihat apa saja dampak transisi energi serta menunjukan kelemahan kebijakan yang ada. Sayangnya, ini hampir tidak terjadi,” jelasnya.

Karena itu, Yovantra menilai partisipasi yang masih separuh informasi merupakan bagian dari sikap antidemokrasi. Sebab, mobilisasi aksi iklim masih berdasarkan pengetahuan yang tidak lengkap.

“Hanya berdasarkan pada narasi elite dan tidak melihat dampaknya pada warga, akan menciptakan partisipasi palsu, dan melemahkan demokrasi,” jelasnya.

Yovantra menyarankan agar media arus utama melakukan pendekatan komunikasi untuk meliput konservasi. Bukan cuma menulis, melainkan menerangkan secara komprehensif. Sebab, kebijakan harus bertemu dengan pengalaman di lapangan.

“Sebagian besar audiens memiliki nilai konservatif. Untuk membuat orang paham, kamu harus lebih paham,” pungkasnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.