Desa Samirono telah membuktikan inovasi dan kolaborasi bisa membawa perubahan besar. Mereka  menunjukkan  pada  dunia  bahwa  limbah  bisa  disulap  menjadi  energi  bersih

Di sebuah desa asri di lereng Gunung Merbabu, warga tak lagi pusing memikirkan harga gas elpiji yang terus meroket. Rahasianya? Mereka punya “jurus sakti” transformasi energi dari kotoran sapi menjadi energi bersih untuk memasak!

Inilah kisah inspiratif Desa Samirono, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.  Dulunya, limbah peternakan menjadi masalah besar bagi warga. Bau tak sedap dan ancaman pencemaran lingkungan menghantui mereka. Namun, berkat semangat gotong royong dan kreativitas, warga Samirono berhasil menemukan solusi brilian.

“Dulu, limbah sapi bikin pusing. Sekarang, malah jadi penyelamat,” ujar Slamet Juriono, Kepala Desa Samirono, sambil tertawa.

Kotoran sapi yang melimpah dikumpulkan dan diolah dalam reaktor biogas.  Seperti sulap, limbah ini berubah menjadi gas metana yang bisa digunakan untuk memasak.  Hingga kini,  lebih dari 130 keluarga di Samirono telah meninggalkan gas elpiji dan beralih ke biogas.

“Masak jadi lebih hemat dan ramah lingkungan,” tambah Bu Samiah,  salah satu warga yang merasakan manfaatnya.

Tak hanya itu, ampas dari proses pembuatan biogas pun tak terbuang percuma.  Ampas ini diolah menjadi pupuk organik yang menyuburkan lahan pertanian warga. Hasil panen melimpah, dompet pun semakin tebal!

Matahari di lereng Gunung Merbabu baru saja terbit. Hawa dingin tak menjadi hambatan bagi Komari, warga Samirono yang cekatan mengumpulkan kotoran sapi di kandangnya. Dengan sekop dia memindahkan kotoran yang menumpuk itu ke bak penampungan.

Kegiatan itu menjadi rutinitas Komari dan warga lainnya di desa penghasil susu di Kabupaten Semarang itu. Tak hanya pagi hari, pengumpulan kotoran sapi juga dilakukan setiap sore.

Kotoran sapi yang melimpah ruah di desa itu dikembangkan menjadi biogas, dengan bantuan hibah reaktor atau digester (alat pembuat biogas).

 “Dari setiap ekor sapi, kotoran yang terkumpul sekitar 30-40 kg. Kotoran sapi bercampur urin ini kita masukan di bak penampungan dan dicampur air, setelah itu, gas dipisahkan dari ampas kotoran oleh digester, kemudian ampasnya disalurkan ke bak pembuangan,” paparnya. ”Lalu menjadi materi menggerakan digester.”

Digester biogas berfungsi untuk menampung gas metana hasil fermentasi kotoran sapi. Limbah organik sapi kemudian diubah oleh konsorsium mikro organisme anaerob menjadi biogas. Biogas kemudian dialirkan ke rumah-rumah dengan pipa untuk keperluan memasak dan penerangan.

Untuk menggerakkan digester berkapasitas 6 meter kubik cukup dari kotoran yang dihasilkan 2 ekor sapi atau setara dengan 50-70 kg, yang diisi setiap 2 hari sekali.

Sejak memiliki digester biogas, dia mengaku tak lagi membutuhkan gas elpiji melon 3 kg untuk keperluan memasak. Padahal, sebelum ada biogas, dalam sebulan, dia membutuhkan rata-rata 4 tabung gas elpiji.

Kehadiran biogas sangat membantu dia dan warga di desanya. Selain tidak lagi menggunakan kayu bakar, mereka juga dapat menghemat penggunaan elpiji.

“Sejak ada biogas, warga yang biasa membeli rata-rata empat elpiji melon sebulan, kini hanya membeli satu atau dua elpiji saja. Atau bahkan ada yang tak perlu membeli elpiji sama sekali, karena kebutuhannya sudah terpenuhi dari biogas,” imbuhnya.

Samiah, seorang ibu rumah tangga di Desa Samirono membenarkan hal tersebut. Menurutnya, biogas dari kotoran sapi miliknya telah menggantikan gas elpiji 3 kg untuk keperluan memasak di dapur.

‘’Sejak ada biogas komunal, saya tak lagi tergantung pada elpiji. Cukup pakai biogas, urusan dapur selesai. Biogas juga aman, dibanding elpiji,’’ katanya.

Dengan pengakuan tersebut, setidaknya warga Desa Samirono dapat melakukan penghematan uang belanja sehari-hari. Saat ini, harga pasaran elpiji melon tiga kilogram sekitar Rp22 ribu. Jika rata-rata warga membeli empat tabung elpiji, maka dalam sebulan membutuhkan biaya Rp88 ribu sebulan.

Tak hanya urusan dapur, warga juga bisa menghemat penggunaan listrik PLN. Lantaran mulai sore hingga malam hari selama 5-7 jam warga menggunakan biogas untuk penerangan di rumahnya masing-masing. Bahkan, jika aliran listrik tiba-tiba padam, warga bisa mengaktifkan biogas untuk menyalakan petromaks dengan bahan bakar biogas.

“Kalau listrik padam, petromaks ini langsung kita nyalakan. Jadi masih bisa beraktivitas di malam hari,” imbuh Samiah.

Selain untuk memasak, energi biogas juga mampu menyalakan lampu untuk penerangan warga di malam hari.

Selain hemat, penggunaan biogas yang mampu mengatasi masalah limbah ternak juga tidak berbahaya. Jika pipa atau selang bocor, tak memicu kebakaran. ‘’Jika tercium bau kotoran sapi, itu tandanya ada yang bocor,’’ pungkasnya.

Bagi warga desa yang sebagian besar merupakan petani dan peternak, pengeluaran biaya rumah tangga yang dapat dihemat berkat biogas tersebut, merupakan anugerah luar biasa yang sangat disyukuri.

Desa Samirono memiliki 800 keluarga dengan penduduk mencapai 2.527 jiwa. Kondisi geografis Samirono yang berada di lereng Gunung Merbabu, yang subur dan berudara sejuk menjadi lingkungan yang sangat ideal bagi budidaya sapi perah. Tak heran, di desa yang berada di ketinggian 1.086 mdpl ini memiliki jumlah sapi sebanyak 1.417 ekor.

Jika 800 keluarga rata-rata membeli 4 elpiji, maka dalam sebulan membutuhkan 3.200 tabung elpiji, yang menelan dana total Rp70.400.000. Penghematan yang terbilang sangat besar untuk ukuran sebuah desa.

‘’Dari biogas komunal ini, hampir seluruh warga desa kami telah meninggalkan elpiji melon, karena seluruh kebutuhan memasak di dapur sudah dapat dipenuhi oleh biogas yang dimiliki setiap rumah,’’ kata Sekretaris Desa Samirono, Didik Mustofa.

Menurutnya, reaktor biogas pertama kali dibangun di desanya pada 1992 di rumah warga bernama Suyut. Pada 2002, mulai dikembangkan biogas komunal dengan membangun 9 unit digester biogas. Pada 2010-2012, bertambah lagi 4 unit bantuan dari pihak swasta.

“Tahun 2013, kami berhasil memenangkan Lomba Desa Mandiri Energi tingkat Provinsi Jawa Tengah,” ujar Didik.

Tahun 2016, Desa Samirono masuk nominasi Penghargaan Energi Tingkat Nasional yang diselenggarakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pada 2017, mendapat tambahan 2 unit digester dari Dinas ESDM Provinsi Jateng. Setahun kemudian, menerima lagi 2 unit dari Dinas ESDM. Pada 2018, total ada 41 unit yang digunakan oleh 152 keluarga. Pada 2019, dibangun lagi 5 unit digester biogas di Dusun Pongangan dan Kendal.

Seiring waktu, digester generasi pertama banyak yang rusak, sehingga saat ini, tersisa 49 unit, dengan total volume 722 meter kubik dan kapasitas produksi mencapai 290 meter kubik per hari, yang digunakan 115 keluarga. Selain bantuan hibah dari pihak swasta dan Pemda, pihaknya juga mengalokasikan dana desa untuk pembuatan digester secara swadaya.

Kabar tentang inovasi keren ini pun sampai ke berbagai kalangan. Dukungan dari berbagai pihak mengalir untuk mengembangkan biogas di Samirono.  Kini, desa ini menjelma menjadi “Desa Wisata Mandiri Energi”.  Wisatawan berdatangan untuk belajar tentang biogas dan merasakan langsung kehidupan desa yang asri.

“Kami ajak wisatawan untuk ‘live in’ di desa, merasakan langsung manfaat biogas dan belajar tentang pertanian organik,”  pungkas Didik.

Desa Samirono telah membuktikan bahwa inovasi dan kolaborasi bisa membawa perubahan besar. Mereka  menunjukkan  pada  dunia  bahwa  limbah  bisa  disulap  menjadi  energi  bersih  yang  bermanfaat  bagi  masyarakat  dan  lingkungan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.