Proyek food estate di Merauke memiliki sejarah kegagalan dalam mencapai tujuannya, bahkan menyebabkan kerusakan lingkungan dan sosial.
Food estate merupakan program pengembangan pangan berskala luas yang digagas oleh pemerintah Indonesia. Salah satu lokasi food estate yang menjadi sorotan adalah Merauke, Papua Selatan.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan nasional dan menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan, terutama beras. Food estate di Merauke bukanlah hal baru. Sebelumnya, program serupa telah dijalankan, seperti Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) dan Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE).
Sayangnya, program-program tersebut terhenti di tengah jalan dan meninggalkan berbagai permasalahan teknis, sosial, dan lingkungan yang belum terselesaikan.
Pembelajaran dari kegagalan program sebelumnya perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan food estate saat ini. Artikel ini akan mengulas dampak lingkungan dan sosial dari food estate Merauke berdasarkan riset yang telah dilakukan.
Program lumbung pangan nasional
Food estate Merauke merupakan bagian dari Program Lumbung Pangan Nasional (LPN) yang termasuk dalam agenda Program Strategis Nasional 2020–2024. Program ini didorong untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19 dan memperkuat transformasi di berbagai sektor.
Namun, proyek food estate di Indonesia, termasuk di Merauke, memiliki sejarah kegagalan dalam mencapai tujuannya, bahkan menyebabkan kerusakan lingkungan dan masalah sosial yang signifikan.
Kegagalan proyek MIFEE, misalnya, mengakibatkan kerusakan 1,4 juta hektar hutan gambut dan menimbulkan masalah bagi Suku Malind.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kegagalan proyek sebelumnya dan merumuskan strategi yang tepat agar food estate Merauke tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Food estate Merauke merupakan program strategis nasional yang diinisiasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Proyek ini direncanakan akan mencakup lahan seluas 1,18 juta hektar untuk sawah dan 1,11 juta hektar untuk perkebunan tebu terpadu, termasuk pabrik gula dan bioetanol.
Kawasan food estate ini tersebar di lima klaster yang meliputi 13 distrik di wilayah adat masyarakat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei. Komoditas utama yang ditanam adalah padi, jagung, dan tebu.
Kementerian Investasi merencanakan proyek pangan ini sebagai pusat industri gula terintegrasi yang diharapkan dapat menghasilkan 2 juta ton gula dan 200 juta liter bioetanol per tahun.
Pemerintah mengklaim bahwa proyek ini akan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat, didukung oleh pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik dari tingkat desa hingga kabupaten.
Selain itu, food estate Merauke diharapkan dapat berkontribusi pada pemulihan ekonomi dan transformasi di berbagai sektor. Dalam pelaksanaannya, proyek ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Haji Isam yang telah membeli 2.000 ekskavator untuk mendukung pembangunan food estate.
Studi dan laporan
Berbagai studi dan laporan telah dilakukan untuk mengkaji dampak lingkungan dan sosial proyek strategis nasional di bidang pangan ini. Center of Economic and Law Studies (CELIOS) melakukan studi yang mengungkap risiko peningkatan emisi karbon akibat pembukaan hutan.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menerbitkan laporan yang menganalisis dampak food estate terhadap penggundulan hutan. Penelitian akademis juga dilakukan untuk mengkaji dampak sosial dan ekonomi food estate di Merauke, termasuk perubahan mata pencaharian masyarakat lokal dan potensi konflik lahan .
Dampak lingkungan
Pembukaan lahan untuk food estate Merauke berpotensi menyebabkan deforestasi besar-besaran. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan bahwa program pangan ini dapat memicu penggundulan hutan di Merauke, yang berdampak buruk pada ekosistem alami dan perlindungan lingkungan masyarakat adat.
Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat bahwa deforestasi di Papua Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 190.000 hektar pada tahun 2022-2023 akibat proyek ini. Deforestasi ini juga berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dioksida hingga 782,45 juta ton, yang bertolak belakang dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050.
Deforestasi yang terjadi akibat food estate Merauke mengancam keanekaragaman hayati di wilayah tersebut . Hilangnya habitat alami dapat menyebabkan kepunahan berbagai spesies flora dan fauna endemik Papua.
Penggunaan pupuk dan pestisida secara intensif pada lahan food estate berpotensi mencemari air dan tanah . Pencemaran ini dapat mengancam kesehatan masyarakat dan merusak ekosistem perairan.
Food estate Merauke berisiko merusak lahan gambut di wilayah tersebut. Pengalaman dari proyek food estate sebelumnya menunjukkan bahwa 1,4 juta hektar hutan gambut telah hancur akibat program tersebut.
Kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan berbagai masalah lingkungan, seperti peningkatan emisi gas rumah kaca, penurunan kualitas air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Dampak sosial
Food estate Merauke dapat mengubah mata pencaharian masyarakat lokal yang sebelumnya bergantung pada hutan dan sagu. Perubahan ini perlu diantisipasi dengan program pendampingan dan pelatihan agar masyarakat dapat beradaptasi dengan sistem pertanian modern.
Pembukaan lahan untuk food estate berpotensi memicu konflik lahan antara pemerintah, investor, dan masyarakat adat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan bahwa food estate di Merauke berisiko mengulang kesalahan proyek MIFEE yang memicu konflik agraria.
Food estate Merauke dapat berdampak pada budaya dan tradisi masyarakat adat, terutama terkait dengan sistem pengetahuan lokal dan kearifan dalam mengelola sumber daya alam. Perlu ada upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi masyarakat adat di tengah pengembangan food estate.
Perubahan pola makan akibat food estate dapat menimbulkan masalah kesehatan dan gizi bagi masyarakat lokal, seperti yang terjadi pada masyarakat Marind-Anim. Hal ini perlu diantisipasi dengan program edukasi dan penyediaan akses pangan yang sehat dan bergizi.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait food estate Merauke, antara lain Peraturan Presiden Nomor 108/2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023 yang menetapkan program pangan ini sebagai proyek strategis prioritas. Namun, efektivitas kebijakan ini dalam mengatasi dampak lingkungan dan sosial masih perlu dievaluasi.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa pelaksanaan food estate di Merauke tidak melanggar kawasan konservasi dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat.
- Menanti Pencabutan Izin PLTU Ombilin SawahluntoPLTU Ombilin di Sawahlunto menuai kritik akibat pencemaran lingkungan dan dampak kesehatan sejak awal 2000-an. LBH Padang dan Trend Asia menggugat KLHK untuk mencabut izin PLTU ini, dengan sidang putusan dijadwalkan pada 21 Januari 2025. Kasus ini menjadi simbol desakan transisi energi bersih di Indonesia.
- Pengembangan pangan dan energi di Merauke berpotensi melanggar HAMBukan kemakmuran bersama yang dirasakan di Merauke dengan adanya program Pangan dan energi di Marauke, melainkan segudang persoalan baru.
- Mimpi swasembada pangan minus kesejahteraan petaniSetelah kejatuhan Orba, importasi pangan merajai pangan nasional. Indonesia mengandalkan impor sebagai pemasok pangan nasional.
- Bagi masyarakat adat Aara, wilayah adat adalah identitasPengusulan wilayah adat masyarakat adat Aara bukan hal mudah. EcoNusa melakukan pendampingan kepada masyarakat adat ini sejak Juni 2024.
- Usulan revisi Undang Undang Pembaruan Agraria 1960 adalah pengingkaran konstitusiUndang Undang Pembaruan Agraria merupakan panduan dalam mengelolah kekayaan agraria secara berkeadilan. UUPA adalah amanat konstitusi.
- Pertanian food estate bukan jawaban pemenuhan pangan nasionalMenurut Food Estate dikhawatirkan hanya bertujuan mengganti produsen pangan dari tangan petani ke tangan korporasi.