Pengakuan wilayah adat adalah bagian dari identitas mereka yang harus dihormati. Suku adat berdaulat di tanah adat.

Di tengah kesibukan dan dinamika perkembangan daerah, masih ada seutas harapan yang terus menyala dari pelosok Papua Barat. Harapan ini datang dari Masyarakat Adat Aara yang baru-baru ini mengantar dokumen pengusulan mereka untuk mendapatkan pengakuan resmi dari Pemerintah Kabupaten Kaimana. Harapan itu bukan hanya soal legalitas wilayah, tetapi juga tentang keberlanjutan hidup, budaya, dan sumber daya alam yang mereka kelola.
Dokumen pengusulan wilayah adat tersebut disampaikan langsung oleh perwakilan masyarakat Aara yang dipimpin oleh Ketua Dusun Aara, Melkianus Tenawe, ke Kantor Bupati Kaimana pada 1 November 2024.
“Kami datang dari jauh untuk mengantar dokumen ini, dengan harapan agar wilayah adat kami mendapatkan pengakuan dalam bentuk SK Wilayah Adat dari Bupati,” ujar Tenawe, dalam keterangan resmi, diakses Jumat, 28 Februari 2025.
Kalimat sederhana namun penuh makna itu mewakili lebih dari 1.000 jiwa masyarakat adat Aara yang menunggu kepastian hukum atas tanah dan wilayah yang mereka huni selama ini.
Proses pengusulan ini bukanlah hal yang mudah. EcoNusa melakukan pendampingan kepada masyarakat adat Aara sejak Juni 2024. Dimulai dengan melakukan proses free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan informasi di awal tanpa paksaan.
Lalu dilanjutkan dengan pemetaan bersama marga-marga tetangga. Kemudian penyusunan segala persyaratan administratif dan teknis sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua Barat Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Barulah ketika semua dokumen lengkap, masyarakat mengajukan usulan pengakuan wilayah kepada pemerintah daerah.
Ritual penyerahan dokumen
Penyerahan dokumen pengusulan ini bukan hanya sekadar administrasi, tetapi juga merupakan perjalanan budaya dan spiritual. Rombongan masyarakat Aara, dengan iringan musik tradisional dan tarian adat seka Lakahia, bergerak menuju kantor bupati. Sebuah simbol bahwa pengakuan ini adalah bagian dari identitas mereka yang harus dihormati.
Dokumen tersebut diterima langsung oleh Sekretaris Daerah Kaimana, Donald Wakum, yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kaimana. Dalam sambutannya, ia mengapresiasi perjuangan masyarakat adat Aara dan berjanji untuk segera memverifikasi dan memvalidasi dokumen tersebut.
“Terima kasih kepada masyarakat yang telah berjuang demi keberlanjutan hak-hak masyarakat adat melalui pemetaan wilayah adat,” ujarnya.
Setelah penyerahan dokumen, tahap selanjutnya adalah verifikasi dan validasi oleh panitia MHA. Proses ini akan memastikan bahwa semua data dan dokumen yang diserahkan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Jika tidak ada kendala, dokumen tersebut akan segera dikirimkan kepada Bupati untuk diterbitkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Wilayah Adat.
Ketua dewan adat suku Napiti/Komoro, Salmon Nay, berharap proses ini dapat berjalan lancar dan segera diselesaikan. “Kami berharap pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan EcoNusa untuk melanjutkan pemetaan wilayah adat di kampung-kampung lainnya di Kabupaten Kaimana, tidak hanya di Boiya,” ujarnya dalam sambutannya. Suku Aara adalah bagian dari suku Napiti/komoro.
Makna pengakuan bagi warga Aara
Bagi Masyarakat Adat Aara, pengakuan wilayah adat bukan sekadar soal legalitas tanah. Wilayah adat bagi mereka adalah bagian integral dari identitas, budaya, dan keberlanjutan hidup. Tanah yang mereka kelola bukan hanya untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk anak cucu mereka yang akan datang. Oleh karena itu, pengakuan wilayah adat melalui SK Wilayah Adat sangat penting untuk memberikan landasan hukum yang kuat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemanfaatan wilayah adat mereka.
Sebagai bagian dari proses pemetaan, masyarakat adat Aara juga telah mengadakan musyawarah adat untuk menandatangani berita acara pengakuan tapal batas dan pembagian zonasi hutan adat pada September 2024. Kegiatan ini melibatkan partisipasi aktif dari marga tetangga dan perwakilan lima sub-suku yang ada di wilayah tersebut. Setelah musyawarah adat, mereka juga menandatangani peta spasial yang menjadi bagian tak terpisahkan dari dokumen pengusulan wilayah adat.
Dengan diterbitkannya SK Wilayah Adat, masyarakat Aara berharap mereka dapat lebih berdaya dalam mengelola sumber daya alam di wilayah mereka dan mengatur kehidupan sosial dan budaya sesuai dengan nilai-nilai adat yang telah diwariskan turun-temurun. Ini adalah langkah awal menuju pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat adat dalam membangun masa depan mereka.
Sebagai langkah lanjut, diharapkan pemetaan wilayah adat dapat dilanjutkan di kampung-kampung lain di Kabupaten Kaimana. Pemerintah daerah bersama lembaga pendamping seperti EcoNusa diharapkan dapat terus berkolaborasi untuk memastikan hak-hak masyarakat adat di Papua Barat diakui dan dihormati.
- Bahaya bahan kimia plastik pada kesehatan, peneliti Unpad kembangkan plastik ramah lingkunganLebih dari 13.000 jenis bahan kimia plastik digunakan secara global. Dari jumlah tersebut, lebih dari 3.200 bahan berbahaya bagi kesehatan.
- Warga Dairi mendesak KLHK patuh pada putusan Mahkamah AgungPerusahaan tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara masih beroperasi tanpa persetujuan lingkungan yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung.
- Masjid Al Muharram Brajan gunakan panel surya, teladan transisi energi bersihPanel-panel surya mampu mengurangi emisi karbon. Listrik yang ada saat ini dihasilkan energi kotor batu bara.
- Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera UtaraKerusakan hutan di Sumatera Utara menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Sumatera Utara mengungkap bahwa deforestasi merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem hutan di berbagai kabupaten. Dalam laporan berjudul “Ribak! Risalah Bumi Para Ketua”, WALHI Sumut mencatat kerusakan hutan terjadi di Tanah Karo, Tapanuli Selatan, Dairi, Tapanuli Utara, Toba, Simalungun,… Baca selengkapnya: Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera Utara
- WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyatWahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pengembangan panas bumi (geothermal) yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pulau Flores. WALHI menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan sarat dengan pendekatan top-down yang bertentangan dengan semangat desentralisasi. Pernyataan ini disampaikan… Baca selengkapnya: WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyat
- Food Estate, jalan lama yang mengkhawatirkan bagi para petaniPemerintah menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas utama dalam strategi pembangunan nasional. Indonesia ditargetkan mampu mencapai swasembada pangan dalam empat hingga lima tahun ke depan. Namun, langkah ambisius ini kembali menempatkan kebijakan food estate sebagai andalan utama, kebijakan yang justru menyimpan rekam jejak penuh masalah di masa lalu. Kebijakan food estate sejatinya bukan hal baru. Program… Baca selengkapnya: Food Estate, jalan lama yang mengkhawatirkan bagi para petani