Alih-alih mendorong pencegahan dan pengurangan sampah dari sumbernya, kebijakan tata kelola sampah masih bertumpu pada teknologi mahal.

Bahan baku paving plastik di TPA Banyumas. Semua plastik dicampur tidaknada pemilahan.jpeg
Bahan baku paving plastik di TPA Banyumas. Semua plastik dicampur tidak ada pemilahan. (Foto: AZWI)

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyoroti berbagai kelemahan dalam tata kelola sampah di Kabupaten Banyumas. Meski kerap dianggap sebagai model keberhasilan dan banyak pihak mendorong untuk mereplikasi tata kelola di Kabupaten Banyumas, namun justru fakta di lapangan masih menunjukan permasalahan mendasar yang belum terselesaikan dan sangat serius.

AZWI menilai keberhasilan tata kelola sampah di Kabupaten Banyumas masih bersifat semu karena tidak memenuhi prasyarat utama tata kelola, yaitu regulasi yang jelas, kelembagaan yang kuat dan keberlanjutan, serta pendanaan yang memadai. Selain itu partisipasi berbagai pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan sampah masih belum optimal.

Data menunjukkan bahwa pada tahun lalu, terjadi penumpukan sampah sekitar 5.000 ton di berbagai fasilitas pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas. Kondisi ini dipicu oleh kendala teknis dan keterbatasan teknologi yang belum memenuhi standar kualitas, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang lebih luas.

“Mengembangkan kebijakan dan proyek nasional berdasarkan kesuksesan sementara, tanpa pondasi tata kelola yang kuat, menyebabkan terjadinya pemborosan APBN dan APBD serta menyebabkan kita kehilangan waktu untuk mengatasi krisis sampah secara tuntas,” tegas David Sutasurya, Direktur Eksekutif YPBB, dalam keterangan resmi, 21 Maret 2025.

Alih-alih mendorong pencegahan dan pengurangan sampah dari sumbernya, kebijakan yang didorong dan diterapkan masih bertumpu pada teknologi mahal yang tidak menyelesaikan akar permasalahan tata kelola. Minimnya sistem pemilahan sampah yang efektif, lemahnya penegakan regulasi, serta kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran mengakibatkan solusi yang ditawarkan hanya sementara tanpa adanya perubahan sistemik. Jika tidak segera diperbaiki, kelemahan tata kelola yang tidak tepat ini berisiko menimbulkan beban jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan di masa depan.

Pemilahan sampah di sumber adalah cara terbaik untuk memastikan pengelolaan sampah yang efisien dan berkelanjutan. Memilah sampah tercampur di TPS3R dan TPST dengan berbagai teknologi pemusnah sampah dan sistem berbiaya tinggi yang akhirnya mangkrak, tidak berkelanjutan karena pemerintah daerah tidak mampu membiayainya,” kata Catur Yudha Hariani, Direktur PPLH Bali.

Pemerintah Kabupaten Banyumas mengklaim mengubah sampah jadi Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai salah satu keberhasilan dalam pengelolaan sampah. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari optimal. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh Nol Sampah tahun 2024 menemukan bahwa sampel bahan baku RDF dan paving mengandung klorin. Temuan ini mengindikasikan potensi pelepasan senyawa karsinogen dioksin dan furan selama proses pembakaran. Hal ini akan menghasilkan beban kesehatan jangka panjang bagi masyarakat dan kontaminasi rantai makanan.

“Bahan baku paving plastik di TPA Banyumas terdiri dari plastik campuran, tidak ada pemilahan. Jika kandungan klorin dalam produk RDF tinggi, membakar RDF berpotensi menghasilkan dioksin dan furan yang berbahaya untuk kesehatan dan lingkungan. Perlu ada pencegahan dan pemantauan emisi dioksin dan furan sebagaimana yang diatur Permen LHK No. 70 tahun 2016,” tambah Hermawan Some, Direktur Nol Sampah Surabaya.

Sejatinya, kisah sukses dalam pengelolaan sampah sudah banyak terjadi di berbagai kota di negara berkembang dan bukan hal baru. Siquijor di Filipina, Shanghai di China dan Bangalore di India telah membuktikan bahwa regulasi yang dirancang dengan baik, didukung oleh kebijakan kelembagaan yang kuat, pendanaan yang memadai, edukasi masyarakat, dan penegakan hukum yang tegas merupakan prasyarat utama untuk mencapai kinerja pengelolaan sampah yang tinggi, efektif dan berkelanjutan tanpa mencemari lingkungan.

“Kota San Fernando di Filipina misalnya, dalam waktu satu tahun saja telah berhasil meningkatkan pengumpulan sampah organik dan daur ulang dari 12% menjadi 60%, dan saat ini tingkat pengumpulannya telah mencapai 80%. Semua dilakukan dengan pendekatan pembatasan timbulan, pengumpulan terpilah dan pengomposan komunal di tiap barangay (desa) tanpa kegiatan pemusnahan sama sekali. Filipina memiliki peraturan yang tegas mewajibkan semua barangay menyediakan sarana dan menjalankan sistem layanan pengelolaan sampah terpilah dan pengolahan organik. Pemerintah Filipina melakukan penilaian tahunan pada kinerja barangay dan akan memberikan sanksi jika pengelolaan sampah tidak dilaksanakan dengan baik,” tegas Daru Setyorini, Direktur ECOTON.

Kemampuan pemerintah sebagai regulator yang kuat bagi produsen dan sumber sampah merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan sampah di berbagai kota maju. Kegagalan berbagai pemerintah daerah di Indonesia dalam menerapkan PERKADA tentang pemilahan, pelarangan, serta pengurangan produk dan kemasan sekali pakai menunjukan lemahnya kelembagaan dan kurangnya komitmen pendanaan pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan.

Sejak awal kehebohan pengelolaan sampah Banyumas, AZWI telah melihat bahwa kisah keberhasilan pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas too good to be true. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sering lupa bahwa program yang masif yang diterapkan di Kabupaten Banyumas hanya dapat berjalan karena keberanian pimpinan daerah mengalokasikan sekitar 6% APBD untuk pengelolaan sampah, yang sebagian besar digunakan untuk investasi. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak didukung oleh amanat alokasi anggaran yang kuat pada dokumen perencanaan daerah, padahal anggaran operasional pengelolaan sampah perlu terus tersedia dalam jumlah memadai.

Selain itu, dari sisi kelembagaan pada dasarnya Kabupaten Banyumas menggunakan pendekatan ‘lepas tangan’, yang sama saja dengan pemerintah daerah lain yaitu mengandalkan pada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang merupakan lembaga informal sebagai pengelolaan fasilitas pengelolaan sampah. Akibatnya sangat sulit mempertahankan kinerja pengelolaan sampah secara berkelanjutan.

“Kebuntuan dalam peningkatan kinerja pengelolaan sampah di seluruh Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang belum berhasil menciptakan ekosistem tata kelola yang kondusif. Kami menyambut baik inisiatif dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk menerapkan penegakan hukum yang tegas kepada Kabupaten/kota. Namun masih banyak pekerjaan lain yang perlu diselesaikan untuk membangun ekosistem tata kelola yang mendukung pemerintah daerah. Diantaranya adalah evaluasi pembagian kewenangan dan kelembagaan pada Undang-Undang Pemerintah Daerah, posisi urusan pengelolaan sampah, serta mempertegas standar pengelolaan sampah pada regulasi nasional menjadi terpilah dan berorientasi pada pengolahan dan pemanfaatan sampah organik di sumber sampah, pembatasan timbulan dan guna ulang,” pungkas David.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.