Hanya berjarak delapan kilometer dari Mega Proyek Strategis Nasional yang berdiri megah di Gunung Salak, kehidupan warga dalam bayang-bayang kesulitan.

Angin dingin berembus pelan di sudut kecil Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, menyusup ke celah dinding rotan yang menjadi satu-satunya pelindung bagi Odang (52) dan keluarganya. Di dalam rumahnya yang sederhana, ia duduk termenung, memandangi ubin semen yang dingin, lantai yang telah menjadi saksi dari perjuangannya yang tak berkesudahan. Hanya berjarak delapan kilometer dari Mega Proyek Strategis Nasional (PSN) energi geothermal yang berdiri megah di Gunung Salak, kehidupan Odang dan banyak warga lainnya justru tetap dalam bayang-bayang kesulitan.

Benar saja, dana-dana yang seharusnya menjadi berkah, menjadi angin segar bagi masyarakat daerah penghasil, nyatanya hanya mengalir ke tempat-tempat yang tak pernah menyentuh kehidupan mereka. Kesenjangan sosial dan ekonomi semakin nyata, sementara perusahaan dan pemerintah sibuk bertukar argumen tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab dii tengah semua itu, masyarakat sekitar hanya bisa menjadi penonton menyaksikan sebuah pertandingan yang tak pernah mereka undang, tetapi dampaknya mereka rasakan begitu dalam.

Puasa di Luar Ramadan

“Kadang-kadang saya suka sedih, nangis dalam hati saya. Kenapa mau makan saja harus mencari belas kasih dulu,” ujar Odang lirih. Dengan lima orang anak dan penghasilan yang tak lebih dari Rp1 juta per bulan sebagai pembantu di sebuah penginapan, ia harus berpikir keras agar keluarganya bisa bertahan. Bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi sering kali, Odang dan keluarganya harus menahan lapar puasa yang bukan karena Ramadan, bukan pula karena ibadah sunnah, tetapi karena keadaan yang memaksa.

Dua dari anaknya yang masih bersekolah pun harus merasakan pahitnya ketidakadilan. “Kadang-kadang dalam satu minggu, sekolah cuma dua atau tiga hari. Sisanya di rumah saja, karena nggak ada bekalnya,” ucapnya dengan kepala tertunduk. Rp10 ribu untuk anaknya yang di SMP, Rp5 ribu untuk yang di SD jumlah yang terdengar kecil bagi sebagian orang, tetapi begitu berat untuk Odang penuhi setiap harinya.

Di rumah sebelah, kisah yang serupa menyelimuti kehidupan Nanang (45). Bersama istri dan tiga anaknya, termasuk seorang balita, ia berjuang tanpa pekerjaan tetap. “Kerja serabutan, kalau ada yang nyuruh aja. Cukup nggak cukup, ya cukup-cukupin aja,” tuturnya. Jika tidak ada yang memanggilnya untuk bekerja, maka tak ada penghasilan. Dan jika tak ada penghasilan, maka harapan untuk makan sehari-hari pun semakin menipis.

Bantuan dari pemerintah memang datang, tapi jumlahnya tak seberapa. “Setiap bulan Rp200 ribu, kadang Rp100 ribu,” sambung istrinya. Uang yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sebulan penuh. Nanang hanya punya satu harapan, yaitu memiliki pekerjaan tetap, sesuatu yang mungkin terdengar sederhana bagi sebagian orang, tetapi begitu berharga baginya.

Kemewahan yang Tak Tersentuh

Di kejauhan, proyek bernilai triliunan rupiah itu terus beroperasi. Gemerlapnya membayang di malam hari, cahayanya menyinari wilayah sekitarnya, tetapi tidak kehidupan warga-warga seperti Odang dan Nanang. Mereka tetap berada dalam gelap, bukan karena tak ada listrik, tetapi karena harapan yang terus redup.

Ironi ini terus berlangsung, seperti luka yang tak kunjung sembuh di tengah kemegahan yang tak tersentuh oleh mereka yang seharusnya merasakan manfaatnya. Sampai kapan mereka hanya menjadi penonton dalam pertandingan yang sejatinya memperjuangkan hak mereka?

Berkaca pada keadaan Masyarakat sekitar Daerah penghasil energi, ternyata ada dana – dana yang memang digelontorkan oleh Perusahaan Geothermal kepada Pemerintah setempat, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sukabumi, yang seharusnya bisa menjadi angin segar bagi masyarakat sekitar. Dalam penulusuran yang dilakukan secara berkelompok, kami mendapati data terkait dana – dana tersebut diantaranya Dana Bagi Hasil (DBH), Bonus Produksi (BP), dan dana CSR (Corporate Social Responsibility).

Namun dalam perjalanan penelusuran tim, kami menemukan “kejanggalan” dari dua dana yang ada yaitu Dana Bagi Hasil dan Bonus Produksi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh, ditemukan selisih signifikan dalam realisasi DBH pada tahun 2020 hingga 2023, dengan total mencapai Rp. 190,7 miliar. Sementara itu, alokasi Bonus Produksi Energi Panas Bumi untuk desa-desa terdampak di tahun 2024 menunjukkan perbedaan angka hingga Rp. 1 miliar.

Di tengah dugaan ketidaksesuaian data ini, pertanyaan besar muncul: apakah ini sekadar kesalahan administrasi, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu diungkap?

Perhitungan persentase untuk DBH Pertambangan Energi Panas Bumi mengacu pada UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Pertambangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, Pasal 14 ayat 3.g, yang menyebutkan Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

Sementara itu lebih rinci lagi, aturan pembagian Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g dibagi dengan rincian:

  1. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
  2. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
  3. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Dari 32%, bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Berdasarkan data – data laporan keuangan penerimaan pendapatan negara dari pertambangan energi panas bumi yang ada di Kabupaten Sukabumi, telah ditemukan adanya dugaan selisih anggaran realisasi ratusan miliar rupiah. Data tersebut diperoleh berdasarkan perbandingan antara data realisasi Pemerintah Daerah (BPKAD Kabupaten Sukabumi) dengan data realisasi DBH Panas Bumi hasil audit Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Jawa Barat.

Pada tanggal 22 Januari 2025, tim mendapatkan jawaban laporan hasil realisasi DBH sejak tahun 2020 hingga 2024 yang diperoleh dari Kepala Dinas Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Sukabumi, dengan rinciannya sebagai berikut :

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.