Desa adat di Aceh Timur telah berdiri sejak abad ke-18. Hingga kini desa-desa adat belum mendapatkan pengakuan administratif yang jelas.

Aliansi Masyarakat Menggugat Keadilan (AMMK), di bawah komando Tgk. Muda Wali, menyerukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk segera mengambil tindakan atas persoalan identitas desa-desa adat di Aceh Timur. Sengketa antara pemukiman masyarakat adat dan wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan dinilai terus mengabaikan hak historis masyarakat lokal.
Dalam pernyataan sikapnya, Tgk. Muda Wali menyoroti fakta bahwa banyak desa di Aceh Timur telah berdiri sejak abad ke-18. Meski memiliki sejarah dan struktur sosial yang kuat sebagai komunitas adat adat, hingga kini desa-desa tersebut belum mendapatkan pengakuan administratif yang jelas.
“Contohnya Gampong Jambo Rehat, Seuneubok Bayu di Kecamatan Banda Alam, Seuneubok Buya, Alue Lhok di Kecamatan Idi Tunong, serta Lhok Lemak di Kecamatan Darul Ihsan,” ujar Tgk. Muda Wali saat memberikan keterangan di sebuah kafe di ibukota Aceh Timur, Minggu (4/5/2025).
Selain itu, ia juga menyebutkan beberapa desa adat lain seperti Seuneubok Kuyun di Kecamatan Idi Timur, Alue I Udep dan Seumanah Jaya di Kecamatan Rantau Peureulak, yang kini bersengketa dengan PT Angkasana Kompeni. Sementara itu, Teupin Raya sebelumnya terlibat konflik dengan PT Brata Maju, dan Gampong Gajah Mentah di Kecamatan Sungai Raya juga mengalami hal serupa dengan PT Patria Kamo. Beberapa dari desa-desa ini bahkan telah ada sejak masa kolonial Belanda.
Kondisi infrastruktur di wilayah-wilayah tersebut juga sangat memprihatinkan. Tgk. Muda Wali mencontohkan Jambo Rehat, yang hingga kini belum memiliki akses jalan yang layak. “Pembangunan dasar pun belum menyentuh wilayah tersebut,” katanya.
AMMK mempertanyakan dasar hukum pemberian HGU kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka menilai pemberian HGU tidak seharusnya dilakukan di atas lahan yang telah lama dihuni masyarakat adat. Menurut Tgk. Muda Wali, HGU idealnya diberikan di atas tanah kosong atau kawasan hutan, bukan pada pemukiman yang memiliki sejarah sosial dan budaya yang kuat.
“Ini bentuk ketidakadilan. HGU hadir di atas kampung-kampung di Aceh Timur yang sudah eksis secara sosial dan historis. Kami minta pemerintah segera menjelaskan status identitas desa-desa tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut, AMMK juga menyoroti lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat, khususnya komunitas desa adat, dalam konflik agraria yang terus berlarut. Mereka mendesak pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur untuk segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan persoalan ini, termasuk dengan menetapkan desa-desa tersebut sebagai entitas yang sah dan mandiri, lepas dari klaim HGU perusahaan.
“Jangan sampai desa menjadi alat kepentingan politik dan ekonomi,” tegas Tgk. Muda Wali. Ia juga mengingatkan agar dinas terkait, khususnya Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), tidak memanipulasi data identitas masyarakat demi kepentingan pihak tertentu.
Menurutnya, perjuangan AMMK bukan didorong oleh ambisi politik, tetapi dilandasi keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang telah lama termarjinalkan. Ia menegaskan bahwa penyelesaian konflik ini menyangkut keadilan dan hak asasi masyarakat adat untuk diakui secara sah oleh negara.