Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara sebagai forum melestarikan pesisir dan laut dari ancaman reklamasi.

Aksi perempuan pesisir menolak reklamasi yang merusak kehidupan dan lingkungan. (Foto: WALHI Sulawesi Selatan)
Aksi perempuan pesisir menolak reklamasi yang merusak kehidupan dan lingkungan. (Foto: WALHI Sulawesi Selatan)

Diskusi Serial: Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara mempertemukan suara-suara perempuan dari berbagai wilayah Indonesia yang selama ini berada di garis depan perjuangan menjaga laut dan ruang hidupnya dari ancaman reklamasi.

Dalam sambutan diskusi yang berlangsung daring Rabu, 30 April 2025, diakses dari laman Walhi Sulawesi Selatan, Jumat, 16 Mei 2025, Kepala Departemen Riset dan Keterbukaan Publik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Slamet Riadi, menjelaskan bahwa jejaring ini dibentuk di Makassar pada 29 Desember 2023.

Anggota forum ini terdiri dari kelompok-kelompok perempuan yang tersebar di berbagai daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Pembentukan jejaring ini merupakan respons atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat pesisir, terutama perempuan. Slamet mencontohkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut yang kembali membuka izin ekspor pasir laut.

“Padahal aturan tersebut sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun yang lalu,” ujarnya. Namun, Slamet mengatakan kebijakan tersebut justru dihidupkan kembali di rezim sekarang.

Dalam diskusi tersebut, hadir dua tokoh perempuan yang dikenal gigih dalam mempertahankan wilayahnya dari proyek reklamasi: Asmania dari Pulau Pari dan Restin Bangsuil dari Manado. Keduanya mewakili wajah nyata dari perjuangan komunitas pesisir yang terancam kehilangan ruang hidup karena ekspansi proyek-proyek pembangunan yang merusak ekosistem laut.

Asmania, dikenal sebagai Perempuan Pejuang Pulau Pari, telah berjuang sejak tahun 2014. Lebih dari satu dekade ia konsisten menolak reklamasi yang mengubah wajah pulaunya dan merusak lingkungan laut. “Pemerintah tidak hadir, sehingga konflik tidak pernah terselesaikan,” kata ibu tiga anak ini.

Dampak reklamasi terasa langsung di Pulau Pari. Budidaya rumput laut yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan utama masyarakat kini menurun drastis. Banyak warga kemudian beralih ke sektor pariwisata dan mengelolanya secara swadaya.

Namun, alih-alih mendapat dukungan, masyarakat justru berhadapan dengan klaim sepihak atas pulau mereka. “Bukannya diapresiasi oleh pemerintah, justru Pulau Pari diklaim oleh korporasi. Sementara masyarakatnya dikriminalisasi,” tegas Asmania.

Baginya, reklamasi bukan solusi. Ia menegaskan bahwa masyarakat Pulau Pari lebih tahu cara menjaga wilayahnya sendiri. “Kami akan terus berjuang. Yang kami perjuangkan bukan hanya untuk kami, tapi untuk generasi yang akan datang. Kami lebih paham bagaimana menjaga pulau kami, yang pasti bukan dengan reklamasi.”

Sementara itu, Restin Bangsuil, Ketua Pergerakan Perempuan Tolak Reklamasi Manado, membawa cerita dari utara Sulawesi. Manado dikenal luas karena keindahan laut dan terumbu karangnya, terutama kawasan Bunaken. Namun, proyek reklamasi mengancam kelestarian kawasan tersebut.

“Masyarakat terus mempromosikan keindahan Bunaken. Namun, justru pemerintah ingin merusaknya,” ujarnya.

Restin menjelaskan bahwa laut selama ini menjadi penopang utama ekonomi masyarakat pesisir. Dari hasil laut, warga bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, bahkan menjadi guru dan pegawai negeri. Maka, ketika laut terancam, seluruh ekosistem sosial ikut terguncang.

Ia juga menekankan peran penting perempuan dalam menjaga alam. Menurutnya, perempuan memiliki daya tahan dan kesabaran yang kuat dalam perjuangan. Meskipun sering mengalami perundungan dan intimidasi, ia dan rekan-rekannya tetap teguh dalam barisan.

“Perjuangan tidak akan berhenti. Kita wajib menjaga hal-hal yang dititipkan ibu pertiwi kepada kita. Jangan biarkan ruang hidup kita dirampas. Kita pasti bisa, karena kita memperjuangkan ciptaan Tuhan. Tuhan pasti bersama kita!”

Diskusi ini tidak hanya menjadi ruang berbagi pengalaman, tetapi juga menegaskan urgensi solidaritas perempuan pesisir di tengah kebijakan yang semakin berpihak pada kepentingan industri dan kapital besar. Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara lahir dari kebutuhan untuk saling menguatkan, menyuarakan pengalaman langsung dari lapangan, dan menyatukan langkah dalam menjaga laut sebagai sumber kehidupan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.