Para perempuan Mentawai di Pulau Sipora terampil budi daya toek. Tapi sumber protein dan ekonomi keluarga itu terganggu perubahan iklim.

Dwi Sartika Saogo mendorong sampan kayu ke rawa nipah di belakang rumahnya. Perempuan Mentawai itu mengambil pendayung, naik ke atas perahu kecil itu dan duduk melipat kaki menjaga keseimbangan.

Saya menyusulnya naik dan duduk di belakangnya. Sedangkan Riko, adik laki-laki Dwi, duduk di belakang saya, juga dengan pendayung.

Perempuan 45 tahun itu dan adiknya, Riko, 26 tahun, mulai mendayung dengan bertumpu pada kekuatan lulut. Kami pun meluncur pelan di tengah rawa nipah yang luas, mengikuti perahu kecil di depan kami yang dibawa ayah dan ibu Dwi.

Pukul 12 siang saat yang tepat untuk mempermudah laju perahu karena air rawa cukup tinggi akibat laut sedang pasang.

Dwi sekeluarga tinggal di Matobe, desa pesisir di selatan Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Rumahnya berjarak 200 meter dari laut yang di belakangnya langsung terhampar rawa hingga ke pantai dengan vegetasi nipah yang tumbuh subur.

Kami melewati sela-sela hamparan batang nipah yang rapat membentuk labirin. Dwi memimpin mendayung ke hulu, ke salah satu aliran sungai. Buah nipah menyembul dari batang-batang nipah yang terendam air. Buah itu mirip bonggol buah salak, tapi lebih kecil.

“Buah nipah ini bisa dimakan,” kata Dwi sambil mendayung. “Kita tidak perlu khawatir kelaparan di sini, karena di rawa ini banyak yang bisa diambil, ada lokan, kepiting, keong bakau, dan toek,“ lanjutnya.

Ke tempat toek inilah tujuan kami siang itu. Dwi sekeluarga akan memanen toek-nya dan saya diajaknya.

Toek bukanlah bahan pangan yang bisa diambil langsung seperti lokan atau siput bakau. Hewan ini mesti dibudidayakan di dalam potongan-potongan batang pohon bak-bak (Campnosperma auriculate) atau pohon tumung (Arthrophyloum diversifollium) yang direndam di dalam sungai berair payau.

“Kalau saya tidak bisa bikin toek, cuma bisa menikmati hasilnya saja,” kata Riko di belakang saya sambil mendayung. “Karena budi daya toek adalah pekerjaan kaum perempuan, Ibu hanya mengajarkannya kepada kakak-kakak perempuan saya saja,” ujarnya.

Toek adalah jenis moluska yang hidup di dalam kayu mati. Bentuknya mirip cacing. Nama latinnya Bactronophorus sp, moluska dari kelas bivalvia yang secara alami hidup di dalam kayu mati di sungai yang berair payau.

Sejak dulu, secara turun-temurun perempuan Mentawai di Pulau Sipora, terutama di tiga desa pesisir di Pulau Sipora, yaitu Matobe, Saureinu, dan Goisooinan, telah membudidayakan toek untuk sumber protein mereka.

Sepanjang sungai yang kami lewati, potongan-potongan kayu berdiameter 20 cm hingga 30 cm dengan panjang satu meter terlihat berjejer seperti rakit, saling terikat dengan tali nilon dan pangkalnya tertambat ke batang nipah yang tegak di pinggir sungai.

Itu budi daya toek milik beberapa perempuan tetangga Dwi. Sedangkan kayu tempat budi daya toek milik Dwi dan ibunya terletak lebih ke hulu sungai, dekat ladang mereka.

Di Desa Matobe, Saureinu, dan Goisooinan toek tidak lagi sekadar menu keluarga, tetapi telah menjadi mata pencarian para perempuan untuk tambahan pendapatan keluarga mereka. Keterampilan budi daya toek yang mereka dapatkan turun-temurun itu, tidak disangka telah menjadi sumber ekonomi.

Pesta toek di tepi sungai

Akhirnya kami sampai di lokasi budi daya toek milik Dwi dan ibunya. Dua deret belasan potongan kayu terendam di sungai yang rindang oleh naungan pohon bambu.

“Kayu yang terbenam itu menandakan toek sudah bisa dipanen, sebab ketika dimasukkan tiga bulan lalu masih terapung,” kata Dwi.

Ayah Dwi lebih dulu merapatkan perahu ke pinggir sungai, disusul perahu kami. Kami turun ke darat. Ayah Dwi dan Riko langsung membersihkan ladang dan mengambil setandan pisang dengan parang panjangnya.

Sedangkan Dwi dan ibunya mencebur ke sungai memeriksa batang-batang kayu toek mereka. Sungai itu hanya selebar empat meter, tapi airnya sedalam leher mereka.

Dwi dan ibunya memeriksa dengan membalikkan rangkaian kayu dan mengetuk permukaan kayu dengan parang. Buih gelembung udara muncul dari lubang-lubang kecil pada permukaan kayu yang gelap dan licin. Di beberapa lubang menjulur ekor toek berwarna putih, hampir tak terlihat, seperti titik putih.

Batang kayu dari pohon bak-bak sepanjang setengah meter itu hanya berdiameter 30 sentimeter.

“Ini sudah berisi toek,” kata Dwi senang.

Ia memutus tali dua batang kayu dan menyeretnya sambil berenang hingga ke tepi sungai tempat saya menunggu. Di depan saya, ia membelah kayu itu dengan satu ayunan kapak.

Batang kayu yang terbelah itu berwarna kekuningan, lembap dengan tekstur kayu yang halus dan mirip keju dengan sejumlah lubang-lubang memanjang di dalamnya.

Lubang-lubang memanjang itu telah berisi toek mirip cacing berwarna putih, terlihat diam.

Toek-toek itu mendiami ruang-ruang di dalam kayu seperti labirin. Tiap lubang berisi satu ekor toek yang panjangnya sekitar 30 sentimeter.

Toek memiliki cangkang yang bulat dan keras menutupi kepalanya seperti helm kecil. Di kepalanya terdapat sejenis dua taring yang digunakannya untuk memakan kayu sekaligus menjadi sarangnya. Cangkang itu menandai toek bukan cacing, tapi moluska dari kelas bivalvia.

Dwi menarik satu ekor toek, membuang kepalanya yang keras, lalu melahapnya mentah-mentah. Saya mengikutinya, menarik seekor dari kayu, membuang kepalanya, dan melahapnya. Ini bukan pengalaman pertama saya memakan toek, jadi langsung membayangkan kenikmatannya.

Tubuh toek yang berwarna putih itu lunak dan beraroma seperti cumi-cumi segar. Dwi membelah lagi kayu berisi toek itu menjadi lebih kecil sehingga semua sarang toek terbuka. Riko, ibu, dan ayahnya juga ikut menyerbu.

Dwi mengeluarkan bumbu yang dibawanya dari rumah dalam wadah plastik. Bumbu yang dinamainya “anyang” itu berupa irisan cabe rawit, bawang merah, air jeruk, dan garam. Toek terlebih dulu dicelupkan ke anyang sebelum disantap. Rasanya lebih segar.

Kami duduk bersama mengelilingi kayu toek, larut dalam pesta makanan khas Mentawai itu di bawah rindang pohon bambu di tepi anak Sungai Matobek.

Dwi Saogo tidak tahu kapan tradisi budi daya toek dimulai di Pulau Sipora. Ia juga tidak tahu siapa yang pertama kali melakukannya atau menemukannya. Ibu Dwi, Karolin, mengingat saat ia kecil ibunya juga sudah membuat toek dan neneknya juga membuat toek di sungai.

“Dari dulu toek sudah ada, saya belajar membuat toek dari ibu saat baru menikah, ibu mengatakan toek bisa jadi lauk untuk makanan keluarga, belum ada yang menjul karena semua perempuan di tiap keluarga bisa membuat toek,“ kata Karolin, 62 tahun.

Selain itu, tambahnya, toek juga sering dijadikan makanan saat bekerja di ladang beramai-ramai bersama keluarga besar. Setelah selesai membersihkan ladang, mereka akan ke sungai menyantap toek.

“Itu juga yang membuat pekerjaan di ladang terasa ringan dan menggembirakan, karena setelahnya bisa makan toek bersama-sama,” ujarnya.

Tabungan yang terbenam dalam air

Dwi menceritakan bagaimana ibunya mengajarkan cara membudidayakan toek kepada ia dan adik perempuannya ketika mereka remaja.

“Hanya anak perempuan yang diajarkan karena membuat toek pekerjaan perempuan,” katanya setelah kami menghabiskan dua batang toek.

Saat Dwi dan adiknya masih kecil mereka juga sering ikut ibu dan nenek mereka ke lokasi toek. Kemudian setelah remaja diajarkan membuat batang toek dan menaruhnya di dalam sungai.

“Mulai dari mencari pohon bak-bak, memotongnya, mengikatnya dan merendamnya di  sungai,” katanya.

Proses pembuatan kayu toek, jelas Dwi, dimulai dari menggulingkan kayu-kayu yang sudah dipotong ke sungai, lalu merangkainya dengan paku dan tali, dan menambatkannya di sungai.

“Hanya menebang dan memotong-motong kayu dengan ‘sinso’ (chainsaw atau gergaji mesin) yang diupahkan ke laki-laki, biasanya kami minta tolong pada paman kami,” ujarnya.

Untuk membuat sarang toek, pohon bak-bak atau pohon tumung ditebang di ladang dan dipotong-dipotong sepanjang 70 cm hingga satu meter. Setelah itu dibiarkan dua minggu agar getahnya mongering, baru digulingkan ke tepi sungai.

Setelah diberi pengikat dengan tali dan paku lalu direndam di dalam sungai dengan mengikatnya ke pohon nipah yang tumbuh di pinggir sungai.

Biasanya dalam waktu tiga bulan hingga delapan bulan toek sudah bersarang di dalamnya.

“Syaratnya hanya satu, sungai harus masih menerima air pasang dari laut. Jika hanya sungai air tawar, toek tidak akan jadi atau tidak muncul,” kata Dwi.

Karena itu, warga desa di bagian hulu sungai tidak ada yang melakukan budi daya toek, karena air sungainya hanya air tawar. Itu pula sebabnya budi daya toek hanya bisa dilakukan di desa-desa pesisir.

“Sekarang toek sudah dijual dan penggemarnya sangat banyak. Tapi tidak semua orang membuat toek, karena pekerjaannya cukup berat,” ujarnya.

Dwi senang kini toek telah menjadi sumber pendapatan ekonomi bagi perempuan. Itu semacam hasil dari pekerjaan berat turun-temurun yang dilakoni perempuan pesisir di Mentawai.

“Toek dihasilkan perempuan dan uangnya juga untuk perempuan, jadi tidak perlu minta ke suami kalau ingin membeli sesuatu,” ujarnya.

Dari panen empat batang siang itu, setelah “pesta” kami, Dwi membungkus toek ke dalam kantong plastik berukuran setengah kilogram. Ada lima bungkus toek yang akan ia jual.

Ia tidak bersusah payah memasarkannya. Dwi hanya membuka gawai, memotret toek yang telah dibungkus dan membuat status di akun Facebook-nya.

“Ada lima bungkus toek, silahkan jemput ke rumah, siapa cepat dia dapat,” tulisnya pada postingan yang dilengkapi foto.

“Nanti kita sampai di rumah pasti sudah ada yang menunggu,” ujar Dwi tersenyum.

Benar saja, begitu kami sampai di rumahnya sudah ada tetangganya yang menunggu. Lima bungkus toek itu terjual Rp125 ribu, karena satu bungkus Rp25 ribu.

“Banyak yang ketagihan toek karena enak dan yang panen tidak selalu ada setiap hari,” katanya.

Budi daya toek bagi Dwi seperti tabungan yang terbenam di dalam air. Bisa diambil dan dijadikan uang setiap saat. Sekali panen toek ia biasanya mendapatkan 10 bungkus, lalu menjualnya dan menghasilkan uang Rp250 ribu.

Meski begitu, toek hanya pekerjaan sambilan bagi Dwi, karena toek yang ia budidayakan bersama ibunya lebih banyak untuk dikonsumsi sekeluarga.

“Pekerjaan saya sehari-hari ke ladang, merawat kebun keladi, kebun pisang, memanen pinang, kelapa, dan kadang-kadang saya juga membuat kue dan makanan ringan dari tepung sagu yang kami olah sendiri untuk dijual,” ujarnya.

Dwi dan ibunya rutin membuat toek. Mereka memiliki cukup banyak pohon bak-bak yang tumbuh di ladang. Ada yang tumbuh sendiri, ada juga yang ditanam.

“Ada sekitar seratus batang pohon bak-bak dan beberapa pohon tumung di ladang kami,” kata Dwi.

Tetapi ayahnya sering tidak mengizinkan pohon tumung itu ditebang, kecuali pohon itu tumbang sendiri karena angin. Alasan ayahnya, pohon tumung itu akan digunakannya untuk membuat perahu karena bisa tumbuh besar.

“Kayunya ringan, bagus untuk perahu, walaupun akhirnya sering juga dilubangi oleh toek,” kata Lucianus Saogo, ayah Dwi, tertawa.

Lucianus terpaksa menggunakan kayu tumung karena pohon meranti kuning dan katuka yang bagus kualitasnya untuk perahu sudah tidak ada di hutan.

“Sudah habis ditebang perusahaan kayu,” katanya.

Dwi Saogo menjelaskan, bagian pohon yang diambil untuk toek adalah batang dan dahan yang besar. Sebatang pohon bak-bak  setinggi 12 meter dengan diameter 30 sentimeter bisa menghasilkan sekitar 20 potong kayu toek ukuran sedang dan belasan potong ukuran kecil dari dahannya.

Potongan-potongan kayu itu direndam selama tiga hingga enam bulan agar bisa dipenuhi toek yang dapat menghasilkan sekitar Rp3 juta.

“Untuk membuat toek tidak perlu banyak modal karena masih banyak pohon bak-bak di ladang, tinggal ditebang, dipotong-potong, diikat, dan dimasukkan ke sungai, yang memotong pun paman saya yang punya sinso, paling kasih beli rokok untuk paman,” katanya

Bisnis toek di Desa Goisooinan

Denyut bisnis toek bahkan lebih terasa di sepanjang sungai dan anak sungai di Desa Goisooinan yang terletak 13 km di utara Desa Matobe. Desa terdekat dengan Tuapeijat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai itu, tumbuh menjadi pusat bisnis toek seiring makin ramainya Tuapeijat sejak 20 tahun lalu.

Di sepanjang sungai dan anak sungai di Goisooinan berjejer rangkaian kayu toek. Ratusan kayu toek yang dibudidayakan perempuan memenuhi badan sungai. Jenis kayu yang digunakan berasal dari pohon tumung yang ukurannya lebih besar dari pohon bak-bak. Diameter tumung bisa 50 sentimeter.

Dari jalan raya, suara kapak sedang membuka kayu toek terdengar dari arah sungai yang tertutup pepohonan dan ladang pisang.

Dian Novita, 33 tahun, siang itu terlihat di tepi sungai di dekat setumpuk besar pohon tumung yang sudah dipotong-potong. Pemilik usaha budi daya toek itu mendapatkan tujuh batang kayu toek dari ladang seorang dokter di daerah SP3 di Tuapeijat, 7 kilometer dari desanya.

Tujuh batang pohon itu menghasilnya 37 potongan kayu gelondongan setengah meter.

“Pohonnya saya dapatkan gratis karena kenal, setelah jadi toek nanti dokter dan istrinya saya ajak makan toek di Goisooinan,” ujarnya.

Menurut Dian saat ini toek sangat laris sehingga bisa menjadi sumber ekonomi keluarga. Saya menyaksikan para pembeli toek tak henti berdatangan ke lokasi budi daya toek milik Dian dan perempuan lain di tepi sungai Goisooinan. Mereka pegawai di Tuapeijat, warga dari desa lain di Pulau Sipora, bahkan turis asing.

“Turis asing ini ada yang dari Eropa dan Australia, mereka sedang surfing di Sipora dan juga mau mencoba makan toek di dalam sungai,” katanya.

Dian mulai serius menekuni budi daya toek setelah menikah dengan suaminya Alfizon pada 2017. Ia berasal dari Pulau Siberut dan di sana masyarakat tidak mengenal budi daya toek di sungai seperti di Sipora.

“Dulu yang ada di Siberut toek di kayu bakau, rasanya asin dan warnanya merah, beda dengan toek di sini yang putih, besar-besar, dan berlemak,” ujarnya.

Dian kemudian belajar membuat toek dan mulai menjual toek seperti perempuan lainnya di Goisooinan. Pendapatannya dari toek terus meningkat seiring makin banyaknya pembeli yang juga menyebabkan harga toek naik. Kini harga toek Rp25 ribu per bungkus plastik setengah kilogram.

“Rata-rata dalam sehari saya bisa menjual 10 bungkus, kalau lagi banyak panen bisa 20 hingga 30 bungkus,” katanya.

Artinya, sehari Dian bisa mendapatkan Rp250 ribu atau sedang banyak panen bisa Rp500 ribu hingga Rp750 ribu.

“Pendapatan satu bulan lumayan, untuk ditabung persiapan sekolah dan kuliah anak,” ujarnya.

Dian mengaku tidak menghitung pendapatan bulanannya. Namun dari hasil toek ia gunakan juga untuk modal usaha lain yang ia jalankan di rumah dan sebagian ditabung. Sedangkan untuk modal membuat toek menurutnya tidak terlalu besar.

“Seperti hari ini untuk sewa sinso memotong pohon Rp150 ribu, sewa truk membawa kayu toek Rp250 ribu, pohon tumung kadang saya beli seharga Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per pohon, tapi untung dari toek ini masih besar dari modalnya,” katanya.

Kesulitan pohon untuk bahan baku toek, menurut Dian, akan menjadi menjadi persoalan besar yang dihadapi perempuan Mentawai yang membudidayakan toek di desanya.

“Karena pohon tumung sudah semakin sedikit diambil untuk membudi daya toek,” ujarnya.

Untuk persediaan pohon bahan baku toeknya di masa mendatang, Dian sudah menanam pohon tumung di tepi sungai di lahan keluarganya.

“Itu untuk antisipasi kalau pohon tumung habis karena banyak ditebang, sekarang pohon yang saya tanam tiga tahun lalu sudah mulai besar, lima tahun lagi sudah bisa ditebang untuk kayu toek,” katanya.

Meldayanti Saogo, 42 tahun, perempuan Mentawai lainnya yang membudidayakan toek di Sungai Gosooinan mengaku membuat dan menjual toek sudah menjadi pekerjaan rutinnya. Dari rumahnya, ia setiap pagi dengan sepeda motor ke lokasi budi daya toeknya untuk membuka kayu-kayu toek yang akan dipanen.

Di tepi sungai Goisooinan yang tidak terlalu lebar, ada dua ikatan toek Meldayanti yang  terbenam di dalam air tanda sudah bisa dipanen.

“Ada 60 kayu toek saya untuk tabungan di dalam air,” katanya tersenyum.

Setiap hari ia membuka dua batang kayu toek ukuran besar dan menjualnya. Dari dua batang itu ia menghasilkan Rp300 ribu.

Meldayanti berasal dari Desa Matobe. Setelah menikah dengan suaminya yang tinggal di Goisooinan, perempuan Mentawai ini mulai membudidayakan toek 15 tahun lalu.

“Dulu toek ini tidak dijual, hanya untuk makanan keluarga, tetapi toek di Goisooinan banyak peminatnya, karena itu saya mulai menjualnya,” ujarnya.

Menurutnya hasil dari penjualan toek sangat lumayan. Ia bisa mendapat uang dengan cepat dengan membuka toek di sungai, meskipun juga membutuh kerja keras untuk membudidayakannya. Apalagi Meldayanti mencari sendiri kayu ke hutan dengan membawa tukang sinso dan menyewa truk untuk membawanya ke sungai.

Dampak iklim terhadap toek

Banjir dan kemarau menjadi persoalan utama yang dihadapi perempuan yang membudidayakan toek. Banjir menyebabkan toek tak lagi berwarna putih, melainkan kemerahan dan tidak berlemak. Dengan kondisi toek seperti itu tidak ada orang yang mau membelinya.

Meldayanti mengatakan banjir menjadi musuh toek, karena banjir membawa banyak material tanah yang kecokelatan sehingga mengubah warna toek menjadi cokelat kemerahan, seperti warna tanah. Jika hujan lebat turun dalam sehari, sungai akan banjir dan keruh, sehingga toek yang putih juga jadi kemerahan karena menyerap air sungai.

“Banjir sekarang lebih besar dan airnya juga lebih keruh dibanding dulu, kadang sehari saja hujan langsung sungainya banjir,” katanya.

Biasanya setelah banjir Meldayanti menunggu waktu seminggu sebelum bisa memanen toek agar kondisi toek membaik dan kembali putih.

“Tapi kalau hujan terus-menerus, semakin lama waktu untuk toek bisa diambil dan bisa gagal panen. Kalau lewat setahun seperti itu toeknya bisa menghitam dan mati,” ujarnya.

Menurut Meldayanti kini waktu untuk membudidayakan toek sampai bisa dipanen juga lebih panjang. Dulu untuk membuat toek di Sungai Gosooinan ia hanya butuh tiga bulan untuk batang kayu yang kecil dan enam bulan untuk batang kayu besar. Kini ia harus menunggu lebih lama, bahkan satu tahun kayu besar yang ia rendam baru bisa berisi toek.

Dari 60 kayu toek miliknya yang ia rendam selama setahun, sebagian kayu-kayu yang besar sudah ada yang terendam dalam air pertanda sudah berisi toek.

“Itu kayu yang sudah setahun, baru sekarang sudah terisi banyak toek,” katanya menunjuk beberapa batang kayu toeknya di sungai yang sudah banyak ditumbuhi lumut.

“Biasanya tidak seperti itu, saya tidak tahu apa penyebabnya, mungkn karena air pasang dari laut tidak banyak lagi sampai ke sungai di sini,” ujarnya.

Banjir juga sering membuat rangkaian toeknya yang diikat di tepi sungai hanyut ke laut.

“Akhir tahun lalu saat banjir besar satu rangkaian kayu toek saya yang berisi 20 potong batang kayu yang besar-besar hanyut ke muara sungai, kerugian saya saat itu sangat besar, sekitar Rp4 juta,” katanya.

Tak hanya banjir, musim kemarau juga menimbulkan resiko bagi kehidupan toek. Dian Novita mengalaminya.

“Musim kemarau panjang selama empat bulan seperti akhir 2023 membuat toek banyak yang tidak jadi, karena air sungai tinggal sedikit, kayu toek tidak terendam, banyak kayu yang lapuk dan menghitam menyebabkan toek juga ikut mati,” ujarnya.

Dwi Saogo di Desa Matobe juga merasakan kendala yang sama saat membudidayakan toek, yakni banjir yang datang lebih sering yang menyebabkan air sungai berlumpur.

“Jika hujan turun dalam satu hari atau satu malam, sungai langsung banjir. Jika sudah banjir, toek tidak bisa dipanen karena toek menyerap air sungai sehingga warnanya jadi kemerahan dan cokelat tanah. Rasanya juga seperti rasa tanah dan toek jadi kurus-kurus, tidak lagi putih,” katanya.

Menurut Dwi, penyebab banjir, selain cuaca, juga karena maraknya penebangan pohon di hutan perbukitan di daerah SP3 di Desa Gosoinan. Di sanalah hulu sungai-sungai yang mengalir ke Desa Matobe, Goisooinan, dan Saureinu yang menjadi desa-desa utama penghasil toek di Pulau Sipora.

Di tempat itu sedang terjadi penebangan pohon-pohon besar yang dilakukan pengusaha kayu yang membeli kayu dari masyarakat melalui izin yang dikeluarkan pemerintah sejak 2022. Mereka menebang dan membawa kayu-kayu gelondongan ke luar Mentawai.

“Akibat penebangan hutan itu kami yang menanggung banjir dan kekeringan, begitu juga penebangan untuk pembuatan ladang di sana,” katanya.

Meki begitu dirugikan, Dwi mengaku tidak pernah menyampaikan keluhannya kepada pemerintah atau wakil rakyat.

“Suara orang kecil seperti kami tak akan pernah didengarkan,” ujarnya beralasan.

Bergantung pada perairan bersih

Kepala Desa Saureinu Tirjelius Taikatubutoinan mengakui pembukaan hutan besar-besaran di hulu Sungai Saureinu berdampak kepada toek yang dibudidayakan para perempuan di desanya.

“Awal mula toek itu dulu dari Saurenu, setiap keluarga yang rumahnya dekat sungai para perempuannya membuatnya. Toek di Saureinu telah menjadi andalan untuk sumber pangan lokal dan pendapatan kaum perempuan,” katanya.

Namun sejak awal 2023 terjadi penebangan hutan besar-besaran, termasuk di kawasan yang menjadi hulu sungai ketiga desa, yaitu di SP2 dan SP3 di Bukit Pamewa, serta pembukaan jalan logging perusahaan kayu di Desa Goisooinan

“Dampak penebangan, saat banjir sungai di Saurenu dan Goisooinan menjadi keruh karena hulu sungainya sudah rusak akibat penebangan,” ujarnya.

Penebangan, tambahnya, tak hanya berdampak kepada budi daya toek yang dikelola para perempuan desa, tetapi juga terhadap sumber air minum Pamsimas (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) dari perbukitan.

“Sekarang banjirnya juga berlumpur karena sedimen tanah yang hanyut dari hulu akibat penebangan hutan, air bersih kami untuk minum juga terganggu, ” katanya.

Seharusnya, kata kepala desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat menghentikan izin penebangan hutan besar-besaran di Pulau Sipora.

Di Desa Saureinuk dengan jumlah keluarga 425, sekitar 150 keluarga membudidayakan toek di sungai yang dilakukan kaum perempuan Mentawai. Gangguan terhadap budi daya toek berdampak kepada banyak keluarga, baik terhadap sumber protein keluarga maupun sumber ekonomi.

Dr Harfiandri Damanhuri, ahli perikanan dari Universitas Bung Hatta, Padang mengatakan toek di Mentawai dikenal di Indonesia sebagai kepang atau tembelo. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai Teredo navalis. Hewan ini dikenal sering ‘mengebor’ atau merusak kapal-kapal kayu di laut.

“Toek ini mengandung protein yang cukup tinggi, biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat adat, selain di Mentawai juga di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Filpina,” katanya, Rabu 7 Maret 2025.

Toek bersarang dalam kayu mati, mulai dari laut, kawasan mangrove hingga sungai yang berair payau.

“Toleransinya terhadap suhu cukup tinggi, bisa di perairna yang dingin dan di perairan yang hangat, begitu juga toleransi terhadap salinita atau kadar garam, bisa dari 0 hingga 30 ppm,” ujarnya.

Menurut Harfiandri toek akan tinggal di dalam kayu, memakan kayu dan berkembang biak di dalam sarangnya.

Toek bersifat hermaprodit, ketika dewasa sebagai jantan dan setelah itu akan menjadi betina. Untuk reproduksi toek akan melepas sel telurnya dan akan terjadi pembuahan di dalam sarang kayunya.

“Ketika telurnya sudah menjadi larva, larva baru itu akan bersarang di kayu atau terbawa arus air dan akan melekat di kayu lainnya,” katanya.

Toek juga sangat bergantung kepada perairan yang bersih agar bisa tumbuh dengan baik. Karena selain memakan kayu, toek juga memakan mikro alga dari perairan yang masuk ke sarangnya.

Harfiandri mengatakan penebangan hutan di hulu sungai menjadi ancaman besar untuk budi daya toek di sungai.

“Hutan itu harus dijaga, kalau hutan habis tentu tidak ada daerah tangkapan air, air itu akan meluncur masuk ke sungai membawa sedimentasai dan toek akan terganggu, karena dia akan menyerap air sungai,” ujarnya.

Dengan air sungai yang sering banjir dan keruh, tambah Harfiandri, mengakibatkan sedimentasi dan bibit toek yang ada di perairan juga tidak bisa tumbuh.

Harfiandri juga mengingatkan ancaman perubahan iklim pada pulau-pulau kecil seperti di Pulau Sipora di Kepulauan Mentawai.

“Perubahan iklim dapat mengakibatkan perubahan pola cuaca seperti hujan lebat, kekeringan yang akan mengganggu keseimbangan ekosistem darat dan laut, untuk menghadapnya perlu pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.” kata Harfiandri.

Alih fungsi lahan mengancam pangan lokal

Ketua Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis mengatakan alih fungsi lahan menjadi ancaman pangan lokal di Mentawai.

Aktivis NGO di Mentawai itu mengatakan 70 persen sumber pangan lokal di Mentawai terdapat di kawasan hutan dan pinggir-pinggir sungai. Jika hutannya rusak akibat penebangan otomatis juga akan menghancurkan sumber pangan lokal.

“Seperti toek yang sangat terdampak akibat banjir, padahal itu menjadi sumber protein masyarakat dan juga sumber ekonomi bagi kaum perempuan Mentawai di Sipora,” katanya.

Menurut Rifai pemerintah selaku pihak yang memiliki kuasa mesti melihat apakah toek menjadi sumber protein yang penting bagi masyarakat. Jika memang toek sebagai sumber protein yang penting maka perlu dilindungi dari semua hal yang mengancam keberlangsungannya.

“Dampak hujan terhadap pelumpuran air sungai itu masih bisa dikelola dengan melindungi sempadan sungai, seperti melarang melakukan penebangan hutan yang kelerengannya mengarah ke sungai yang mengalir ke tempat masyarakat membudidayakan toek,“ ujarnya.

Daerah tangkapan air di Pulau Sipora, tambah Rifai, juga harus dilindungi untuk menjamin kebutuhan air bersih masyarakat.

Menurutnya pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai perlu mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ada. Kemudian merevisinya agar menghasilkan RTRW yang ekologis, bukan RTRTW yang eksploitatif seperti yang terjadi saat ini.

Sekarang, tambahnya, karena 80 persen kawasan hutan di Mentawai dikuasai negara, RTRW-nya menjadi eksploitatif dengan banyaknya kegiatan penebangan di dalam kawasan hutan.

“Karena itu, RTRW tersebut perlu direvisi kembali. Kepulauan Mentawai sebagai daerah yang terdiri dari pulau-pulau kecil seharusnya tata ruangnya punya perspektif ekologis, bukan eksploitatif seperti sekarang,” kata Rivai Lubis.

Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa baru menjabat sebagai bupati Kepulauan Mentawai pada 20 Februari 2025. Ia kelahiran Belekraksok, Pagai Selatan dan mengaku belum pernah memakan toek.

Mengetahui dampak penebangan hutan di kawasan hulu sungai terhadap budi daya toek para perempuan Mentawai di Sipora, ia berjanji akan merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan memasukkan perlindungan kawasan hutan untuk daerah tangkapan air untuk sungai di Sipora.

“Saat ini RTRW sedang direvisi dan ini akan menjadi catatan bagi saya untuk saya masukkan,” katanya saat ditemui di kantornya di Tuapeijat, Senin (5/5/2025).

Di Pulau Pagai Selatan, kata Rinto, sudah tidak ada yang membuat toek. “Karena pangan lokal, toek di Sipora menjadi makanan popular karena hanya di sini dibuat ibu-ibu,” ujarnya.

Bupati menjelaskan saat ini semua kewenangan kehutanan ada pada pemerintah pusat, mulai dari HPH di hutan produksi hingga penebangan hutan unu perkebunan atau perladangan di Areal Penggunaan Lain di tanah masyarakat, karena itu sebagai bupati ia tidak memiliki kuasa melarang penebangan hutan.

“Semua izin penebangan hutan itu ada di pemerintah pusat, kalau saya ada kuasa, sudah saya hentikan semua penebangan hutan di APL yang ada sekarang, agar sumber air di sini juga terjaga,” kata Rinto Wardana.

Liputan didukung Earth Journalism Network.

About the writer

Febrianti

Febrianti is a journalist who lives in Padang, West Sumatra. Currently, Febrianti is a contributor for Tempo in West Sumatra and the Editor-in-Chief of an online environmental and travel site, Jurnalistravel.Com....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.