Putusan terbaru Mahkamah Agung soal masyarakat adat Suku Awyu menjadi sorotan ketidakadilan Otonomi Khusus Papua.

Keputusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara kasasi Nomor 458 K/TUN/LH/2024 menjadi penanda terbaru dari ketidakhadiran implementasi nyata Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dalam putusan tertanggal 18 September 2024 itu, majelis hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh perwakilan masyarakat adat Suku Awyu, Hendrikus Woro dari Marga Woro, bersama organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Mereka menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua serta PT Indo Asiana Lestari, atas pemberian izin kelayakan lingkungan hidup untuk rencana pembangunan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di atas lahan seluas 36.094 hektar di Distrik Mandobo dan Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.
Putusan ini bertumpu pada pertimbangan prosedural, bahwa gugatan dinilai diajukan melewati batas waktu yang ditentukan oleh hukum. Gugatan dianggap kedaluwarsa.
Namun, dalam dokumen putusan tersebut tercatat adanya dissenting opinion dari salah satu anggota majelis hakim, Yudi Martono Wahyunadi, yang menyoroti pentingnya menempatkan keadilan substantif di atas keadilan formal.
Proses perizinan, kata Yudi, seharusnya melibatkan masyarakat adat sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, khususnya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (4).
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi dasar izin tersebut juga dipertanyakan. Selain aspek lingkungan, AMDAL seharusnya mencakup dampak sosial, yang dalam kasus ini belum mengakui kerugian yang dialami oleh masyarakat adat Suku Awyu.
Selama ini Suku Awyu telah mengelola dan memanfaatkan wilayah tersebut secara turun-temurun, namun hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pengambilan keputusan diabaikan.
Implementasi otonomi khusus
Rikardo Simarmata, pengajar dan Kepala Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai kasus ini sebagai gambaran nyata dari absennya implementasi peraturan perundang-undangan tentang otonomi khusus di Papua.
“Disebut absen karena kejadian-kejadian lapangan justru berlangsung sebaliknya, hak-hak masyarakat adat tidak punya legitimasi,” kata Rikardo, dalam diskusi eksaminasi publik atas putusan kasasi tersebut yang digelar di Fakultas Hukum UGM, diakses 7 Juli 2025.
Menurut Rikardo, substansi keadilan dalam konteks Papua seharusnya menjamin pembangunan ekonomi tidak justru mengorbankan masyarakat adat. Padahal, Undang-Undang Otsus Papua memberikan pengakuan yang relatif lengkap terhadap hak-hak masyarakat hukum adat—meliputi hak atas sumber daya alam, pengetahuan lokal, serta sistem peradilan adat.
Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat bahkan telah menetapkan beberapa Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur peradilan adat, pengelolaan hutan berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam, serta hak ulayat masyarakat hukum adat. Namun, menurut Rikardo, semua pengaturan tersebut belum terimplementasi secara konkret.
“Di atas kertas, eksistensi dan validitas hak-hak adat semakin kuat dengan pemberlakuan perdasus tersebut. Dibayangkan tidak ada lagi atau berkurang penguasaan dan penggunaan hak ulayat atau petuanan adat oleh pihak luar tanpa diketahui, disetujui oleh masyarakat hukum adat,” ungkapnya.
Kenyataannya, tanah dan hutan adat masih dengan mudah diklaim sebagai milik negara dan dialihfungsikan untuk kepentingan korporasi.
“Mengapa tanah dan hutan adat masih diabaikan dalam pemberian izin atau hak sementara sesudah ada regulasi otsus Papua?” katanya, retoris.
Ia melanjutkan, gamblangnya karena pengakuan oleh teks-teks hukum itu belum dilanjutkan atau mewujud dalam pembuatan keputusan administratif dalam bentuk surat keputusan penetapan tanah ulayat atau pemberian perizinan di bidang kehutanan.
Situasi ini menempatkan advokasi hak masyarakat adat Papua di persimpangan jalan. Upaya perlindungan bisa ditempuh melalui jalur otonomi khusus dan perdasus, atau melalui kerangka legislasi nasional seperti program perhutanan sosial yang mencakup hutan adat.
Namun, sejak ditetapkannya perdasus pertama pada 2008, belum ada satu pun pengakuan formal terhadap tanah ulayat dan hutan adat di Papua berdasarkan perdasus. Bahkan sebaliknya, belakangan muncul kebijakan pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di atas tanah ulayat.
“Semakin efektif pelaksanaan regulasi semakin berkurang pengabaian hak-hak adat. Kasus gugatan Suku Awyu tidak akan terjadi apabila tanah dan hutan adat sudah diakui sebelum objek sengketa diterbitkan. Orang Awyu menjadi korban dari inefektivitas pelaksanaan undang-undang otsus dan perdasus,” kata Rikardo.
Ia juga menggarisbawahi bahwa putusan kasasi ini tidak menyentuh akar persoalan, yaitu aspek institusional yang memungkinkan izin itu diterbitkan, dan aspek sosial yang membuat masyarakat menolaknya.
Maka, ia merekomendasikan agar pemerintah mempercepat implementasi regulasi otonomi khusus, khususnya dalam bentuk pengakuan administratif dari pemerintah daerah terhadap tanah ulayat.
Di sisi lain, ia meminta pemerintah pusat menyelaraskan kebijakan nasional dengan kerangka otsus. Ia menilai, posisi regulasi nasional saat ini cenderung meniadakan atau mengabaikan otsus.