Pernikahan dini masih tinggi di Indonesia. Pendidikan dan membangun kesadaran menjadi salah satu solusi efektif.

Angka pernikahan dini masih tinggi. Indonesia urutan kedua di ASEAN. Dengan latar belakang tersebut, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kolaboratif 073 dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta melakukan sosialisasi pencegahan pernikahan dini kepada siswa-siswi SMK Islam Ar-Roudloh, Desa Jatisari, Kabupaten Jember.
Kegiatan yang dilaksanakan pada 9 Agustus 2025 ini disambut dengan antusias oleh para siswa. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak dari pernikahan dini dan memberikan edukasi tentang pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang matang. Dalam penyampaian materi, para mahasiswa menyajikannya secara interaktif, menjelaskan berbagai risiko yang mungkin timbul akibat pernikahan dini, seperti putus sekolah, kesulitan ekonomi, serta masalah kesehatan reproduksi bagi remaja.
Selain itu, mahasiswa juga menekankan pentingnya melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya sebagai upaya meraih masa depan yang lebih baik.
“Kami melihat banyak kasus pernikahan dini di usia produktif, terutama di wilayah ini. Melalui sosialisasi ini, kami berharap para siswa SMK dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan, fokus pada pendidikan, dan merencanakan masa depan mereka dengan lebih matang,” kata Kepala Sekolah SMK Islam Ar-Roudloh Faizah, dalam keterangan resmi, diakses Sabtu (23/8/2025).
Salah satu siswa menyampaikan tanggapannya mengenai kegiatan ini dengan mengatakan, “Materi yang disampaikan sangat membuka wawasan kami. Kami jadi lebih sadar kalau menikah di usia muda itu bukan solusi, malah bisa menimbulkan banyak masalah.”
Kegiatan sosialisasi bertajuk “Bersama Mencegah Pernikahan Dini, Membangun Generasi Emas Desa Jatisari” ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk menekan angka pernikahan dini di Desa Jatisari serta memberikan motivasi kepada para remaja untuk mengutamakan pendidikan sebagai bekal penting untuk masa depan mereka.
Angka pernikahan dini di Indonesia
Pernikahan dini masih menjadi persoalan serius baik di Indonesia maupun di dunia. Data dari UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) menunjukkan bahwa secara global, terdapat 765 juta remaja perempuan dan laki-laki yang telah menikah dari total populasi remaja sebanyak 2,2 miliar (UNICEF, 2019).
Di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menempati posisi tengah dalam daftar negara dengan pernikahan sebelum usia 18 tahun. Negara Laos dan Kepulauan Solomon menduduki peringkat tertinggi dengan angka masing-masing sebesar 37 persen. Sementara itu, Mongolia dan Vietnam berada di peringkat terendah dengan angka 6,2 persen dan 12,3 persen (UNICEF, 2019).
Dalam lingkup ASEAN, Indonesia tercatat sebagai negara dengan angka pernikahan anak tertinggi kedua setelah Kamboja. Pada tahun 2018, sebanyak 27,6 persen atau sekitar 23 juta anak di Indonesia tercatat telah menikah (UNICEF et al., 2020). Angka pernikahan dini terbesar terjadi di Pulau Jawa dengan jumlah mencapai 668.900 wanita (UNICEF, 2019).
Imaroh Solehah dan Mohammad Zainal Fatah dari Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, menekankan bahwa penting untuk memahami berbagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya pernikahan remaja usia dini.
Kedua peneliti mengkaji fenomena pernikahan dini dalam jurnal berjudul “Faktor Pendorong Kejadian Pernikahan pada Remaja Usia Dini: Literature Review”.
Menurut peneliti, pernikahan dini didefinisikan sebagai pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan sebelum mencapai usia 18 tahun. Namun, pernikahan dini lebih umum terjadi pada perempuan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyoroti dampak negatif dari praktik pernikahan usia dini. Menurut BKKBN, pernikahan sebelum usia 18 tahun berisiko menimbulkan berbagai persoalan serius, seperti kematian ibu dan bayi, kekurangan gizi pada anak, serta kondisi perekonomian yang rendah.
Selain itu, peneliti menjelaskan bahwa individu yang menikah pada usia dini memiliki risiko lebih besar dalam hal pendidikan dan kesehatan, yang pada akhirnya dapat berujung pada kemiskinan dan kekerasan dalam rumah tangga (BKKBN, 2021).
Lebih lanjut, wanita yang belum cukup umur ketika menikah juga memiliki risiko tinggi mengalami kematian akibat komplikasi saat kehamilan dan persalinan. Risiko lain termasuk kematian bayi yang dilahirkan (BKKBN, 2021).
Dampak pernikahan dini secara global mencakup kemungkinan terjadinya komplikasi saat kehamilan dan melahirkan. Anak yang dilahirkan oleh ibu berusia di bawah 20 tahun berisiko meninggal dalam 28 hari pertama kehidupannya. Dari sisi sosial, pernikahan dini juga berdampak pada kehidupan remaja, seperti menjadi sorotan lingkungan, kehilangan pergaulan sebaya, serta kurangnya komunikasi atas perasaan yang dialami (Sibagariang, 2016).