Wali Kota Depok Supian Suri menargetkan pengurangan volume sampah hingga 50 persen. Langkah itu ditempuh melalui bank sampah dan budidaya maggot.

Gunungan sampah setinggi 2 meter memenuhi ruangan. Karung-karung beras berisi bekas barang rumahan berjajar mengikuti lekuk jalan. Di dalamnya terdapat berbagai jenis sampah kemasan plastik. Ada juga kipas angin, ceret air minum, pakaian bekas hingga minyak jelanta. Total, terdapat 56 jenis sampah di sana.

Pada salah satu sudut, Sandiko terlihat sibuk. Tumpukan karung beras telah menyesaki ruang kerjanya. Semakin lama, jumlahnya semakin banyak. Karena itu, sejak pukul 8.00 pagi, dia harus mulai memilah sampah plastik sesuai jenisnya.

Langkah awal yang ditempuh adalah mengelompokkan botol plastik sesuai warna, merek dan ukuran yang sama. Begitu pula dengan wadah makanan, bungkus kopi, sachet sabun cuci dan snack. “Setelahnya, sampah plastik harus dipisahkan dari tutup dan label,” ujarnya, Selasa (29/7/2025).

Begitu tahapan tersebut rampung, tugas lanjutan Sandiko adalah memasukkan sampah plastik dalam mesin press. Dengan sekali tekan tombol, mesin akan meraung dan menggencet segala yang terisi di mulutnya. Semakin gepeng kemasan plastik, maka semakin banyak pula muatan dalam kendaraan pengangkut.

Dia contohkan, penggencetan sampah plastik dari 3 karung beras akan hasilkan satu bal atau setara dengan 80kg plastik siap kirim. “Kalau jual begini (tanpa proses penggencetan) kan dikit (jumlah sampah untuk ditampung kendaraan), makanya dipress supaya banyak.”

Sampah-sampah yang sudah gepeng kemudian diikat dan siap kirim ke perusahaan-perusahaan daur ulang. Sekali kirim, katanya, kendaraan akan mengangkut sekitar 12 bal atau sekitar 960kg sampah plastik. Sementara, dalam seminggu, proses pengiriman sampah plastik berlangsung dua kali atau nyaris setara dengan 2000kg.

Sandiko adalah satu dari 17 pekerja di Bank Sampah Induk (BSI) Rumah Harum, yang beroperasi di jalan Merdeka Raya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Mereka melayani pengangkutan sampah plastik dari 150 Bank Sampah Unit (BSU) yang tersebar di Kota Depok.

Dari pengalaman satu tahun bekerja di BSI Rumah Harum, dia tahu, upaya mengurangi timbulan sampah dan mencegahnya berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), juga bisa memberi kontribusi ekonomi. “Saya bisa tahu cara olah sampah, manfaatkan barang-barang yang tidak lagi digunakan. Sampah masih punya harga,” terangnya.

Sandiko mengoperasikan mesin press di BSI Rumah Harum [foto Themmy Doaly]

Dari Nasabah hingga Donatur

Satu dekade lalu, Siti Rahayu resah melihat gunungan sampah yang tak kunjung surut di sudut-sudut Kota Depok. Karenanya, pada tahun 2013, ia dan suaminya, Hermansyah, putuskan mendirikan Bank Sampah Cilodong Bersih. Nama ini dipilih karena, sepanjang 2013 hingga 2017, bank sampah beraktivitas di gudang seluas 100 meter persegi di daerah Cilodong.

Pada masa itu, mereka juga ikut ambil bagian dalam gerakan Zero Waste City yang digagas Pemerintah Kota Depok. Namun di awal-awal beroperasi, Siti mengaku, belum banyak tahu soal-soal penanganan sampah. Mereka tidak begitu paham ke mana sampah-sampah yang terkumpul akan disalurkan.

Beruntung, pada tahun 2015, suaminya dapat kesempatan studi banding ke Jepang yang memberi pengetahuan baru tentang pengelolaan sampah dan jadi bekal memperluas cakupan aktivitas. Tak disangka, di kurun waktu tersebut, jumlah bank sampah meningkat pesat.

Puncaknya, bertepatan dengan penghargaan Adipura yang diterima Kota Depok tahun 2017, Bank Sampah Cilodong Bersih harus menampung sampah dari lebih 400 bank sampah unit (BSU). Dalam kurun 2 minggu, sampah-sampah telah menyesaki gudang. Sementara, lembaganya hanya punya satu armada.

“Saat itu ada koordinator di 11 kecamatan. Nah koordinator Kecamatan Cimanggis, Cipayung, Sukmajaya, Tapos, saat itu nyerah, tidak sanggup lagi urusin sampah. Akhirnya dilimpahkan ke kami (Bank Sampah Cilodong Bersih),” kata Siti.

Ekspansi itu kemudian diikuti pergantian nama dari BSI Cilodong Bersih menjadi Depok Bersih tahun 2018. Biaya operasional yang tinggi membuat bank sampah ini nyaris bangkrut. Namun, dukungan dari sejumlah lembaga mengusir mimpi buruk tersebut.

Pada tahun itu pula, pengurus bank sampah memutuskan ganti nama jadi BSI Rumah Harum, singkatan dari Rumah Harapan Umat, diambil dari nama yayasan yang menaunginya. Mereka juga dapat ruang operasional baru. Sebab, Pemerintah Kota Depok mengapresiasi kerja keras mereka dengan meminjamkan lahan seluas 400 meter persegi di jalan Merdeka Raya, Kecamatan Sukmajaya.

Kini, BSI Rumah Harum hanya melayani jasa penjemputan untuk 150 BSU di Kota Depok. Sisanya, diserahkan pada bank sampah induk lain. Di BSU-BSU itulah warga mengumpul dan menimbang sampah plastiknya.

“Hari itu selesai timbang, hari itu juga kami angkut,” kata Siti. “Nanti per tiga bulan, sampah yang dikumpulkan, ditarik tabungannya. Kami ganti berupa uang, baru nanti mereka (BSU) bagikan.”

BSI Rumah Harum juga punya program yang mengajak masyarakat untuk kumpulkan minyak jelantah sisa rumah tangga. Minyak yang terkumpul, seperti halnya insentif bank sampah, kemudian dihargai Rp6 ribu per kilogram. Atau, bisa juga, 5Kg minyak jelantah ditukar dengan 1 liter minyak baru.

Hasil transaksi itu seringkali jadi simpanan kas ibu-ibu RT maupun kegiatan posyandu. Namun, selain manfaat ekonomi, minyak jelanta yang terkumpul juga jadi bahan pelatihan untuk bikin sabun di sekolah-sekolah.

Bahkan, BSI Rumah Harum sempat menjualnya ke eksportir sebagai bahan baku biodisel. “Pernah sampai Spanyol, Jerman. Walaupun sekarang satu-satu tutup eksportirnya,” tambah Siti.

Selain itu, mereka mengajak masyarakat untuk donasikan sampah rumah tangga, yang berlangsung sejak Pandemi Covid-19. Kala itu, aktivitas bank sampah terhenti. Sementara, warga yang telah terbiasa pilah sampah gelisah karena kehilangan saluran. Karenanya, pengurus bank sampah berinisiatif bikin terobosan.

Melalui program donasi, status pengguna jasa beralih dari nasabah jadi donatur. Mereka tidak lagi mengumpulkan atau menimbang sampah di satu titik. Sampah yang telah dipilah hanya perlu diletakkan di dekat rumah, BSU terdekat yang akan lakukan penjemputan. Praktik itu terus berlangsung hingga pandemi usai.

“Donasi aja, deh. Enggak usah tabungan. Enggak apa-apa deh enggak dibayar, yang penting sampah kami diangkut dan kami enggak merasa berdosa buang sampah sembarangan,” kata Siti menirukan pernyataan pengguna jasa donasi sampah.

Program donasi kemudian berkembang dalam bentuk gerai barang layak pakai. Melalui kegiatan ini, warga bisa membeli barang bekas rumah tangga hasil donasi dengan harga murah. Barang yang didagangkan misalnya kipas angin, kulkas, penanak nasi, tempat tidur, televisi, ceret air minum, pakaian bekas dan lain sebagainya.

“Ibu-ibu ini lagi pada beli baju, barang elektronik yang masih bisa pakai,” ujar Siti sambil menunjuk pengunjung gerai barang layak pakai. “Jadi selain donasi ke bank sampah induk, mereka juga donasi ke orang yang tidak mampu. Jadi rantainya panjang.”

Herma, warga Depok yang berbelanja di gerai pakaian layak pakai membenarkan pernyataan Siti. Saat itu, dia sedang membeli panci, perlengkapan bayi, peralatan rumah tangga dan pakaian. Dia perkirakan, sudah 5 tahun memanfaatkan layanan tersebut.

Menurut dia, belanja di gerai pakaian layak pakai adalah cara untuk menghemat. Barang-barang yang dia beli, misal, memiliki rentang harga yang jauh berbeda ketimbang harga pasaran. Meski begitu, beberapa barang dinilai punya kualitas yang masih baik. “(Selisih harga) hampir 70%. Di pasar Rp100 ribu, di sini Rp30 ribu. Bahkan beberapa barangnya lebih bagus dari pasar.”

Bagi Herma, selain menghemat pengeluaran harian, aktivitas belanja di gerai pakaian layak pakai juga berkontribusi menekan tumpukan sampah di TPA, dengan membagikan ke orang-orang yang membutuhkan. “Sudah sering belanja di sini. Selain lebih hemat, banyak manfaat juga. Bisa berbagi dengan saudara,” katanya.

Kerja-kerja itu kemudian berdampak positif. Berdasarkan laporan Plastic Smart Cities, pada tahun 2023, BSI Rumah Harum menangani 105 ton sampah plastik, mengolah 10.500.000 buah sampah berjenis multilayer plastic (MLP/ plastik yang punya lebih dari 1 lapisan dan material), 17.500.000 buah sampah non MLP dan 25 ton sampah plastik High-Density Polyethylene (HDPE).

Pada tahun yang sama, omset lembaga antar-jemput sampah ini tercatat di kisaran Rp.100juta-Rp150juta per bulan.

1.Pembeli produk rumahan di BSI Rumah Harum [Foto Themmy Doaly]

Masalah dari dalam Rumah

Bagaimanapun, kontribusi bank sampah dalam upaya mencegah timbulan sampah ke TPA masih terbilang minim. Hingga 2022, Kota Depok memiliki 390 bank sampah dari 925 RW. Saat itu, pemerintah kota sempat merencanakan keberadaan bank sampah di tiap RW. Artinya, masih terdapat selisih sekitar 535 bank sampah yang harus dibangun untuk mengelola sampah di tingkat hulu dan kurangi penumpukan di TPA Cipayung.

Sementara, berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2023, timbulan sampah Kota Depok mencapai 462.011 ton, dengan rata-rata timbulan 1.265 ton per hari. Dari jumlah itu, 900-1000 ton sampah atau 80% dari timbulan sampah harian, berakhir di TPA Cipayung setiap. Sisanya, dikelola Unit Pengelolaan Sampah (UPS) dan bank sampah yang ada di Kota Depok.

Pada pertengahan Juni 2025, Wali Kota Depok Supian Suri menargetkan pengurangan volume sampah hingga 50 persen. Langkah itu ditempuh melalui bank sampah dan budidaya maggot. Menurut dia, keberadaan bank sampah dapat kurangi volume sampah anorganik bernilai ekonomis. Sementara, budidaya maggot jadi solusi untuk urai sampah organik rumah tangga yang mendominasi timbulan sampah di Kota Depok.

Dia menilai, meski kedua program tersebut sudah berjalan baik di beberapa wilayah, namun perlu diperluas untuk memasifkan dampaknya. Selain itu, tambahnya, optimalisasi kedua program tersebut tidak bisa hanya andalkan partisipasi masyarakat, tapi butuh keterlibatan pemerintah.

“Kita harus rumuskan bagaimana dua program ini bisa dijalankan secara masif. Tentunya harus ada intervesi pemerintah. Tidak bisa kita mendorong hanya masyarakat saja yang melaksanakan ini,” ujar Supian Suri dalam keterangan resmi Pemerintah Kota Depok.

Riset Cecilia Meyta Rahayuingtyas dkk (2023) cukup menggambarkan tantangan pengelolaan sampah di Depok. Penelitiannya temukan, dari 96 responden hanya 27,7% masyarakat yang selalu memilah sampah. Rata-rata responden mengatakan bahwa memilah sampah adalah tindakan merepotkan dan malas karena tidak memiliki keuntungan.

Selain itu, meski bank sampah berkontribusi kurangi sampah anorganik di TPA Cipayung sebesar 20%, namun hanya 15,8% masyarakat yang aktif memilah sampah dan menjadi nasabah bank sampah. Mayoritas sisanya, tidak pernah.

Ditambah lagi, menurutnya, masyarakat tidak memilah sampah karena kurangnya ketegasan pemerintah untuk wajibkan pemilahan sampah, tidak ada fasilitas yang memadai untuk buang sampah secara terpilah, hingga penilaian sampah yang sudah dipilah akan tercampur lagi di truk pengangkut.

Padahal, sejak lama telah terdapat Peraturan Daerah Kota Depok nomor 5 tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 11 Perda itu menyatakan, sistem penanganan sampah dilakukan dengan cara pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir.

Perda itu juga mengatur ketentuan bagi masyarakat untuk lakukan pengurangan dan penanganan sampah. Serta, sanksi berupa denda dan ancaman pidana bagi setiap orang dan badan usaha yang melanggar sejumlah ketentuan.

Siti Rahayu, pendiri BSI Rumah Harum menilai, Perda Pengelolaan Sampah seharusnya ditindaklanjuti dengan penguatan kontrol kebijakan dan penegakkan aturan. Berbagai model penyelesaian, katanya, harus diarahkan pada edukasi dan pendampingan masyarakat.

Dia contohkan, pemerintah daerah harus bisa memastikan terlaksananya pemilahan sampah organik di rumah dan sampah anorganik dilimpahkan ke bank sampah. “Artinya tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada yang pantau dan dampingi supaya program ini bisa jalan dengan baik.”

Sementara, dalam pemanfaatan bank sampah, perlu penekanan tentang bahaya sampah alih-alih fokus pada manfaat ekonomi. Sebab, kata Siti, keuntungan yang didapat nasabah dari aktivitas pemilahan sampah tidak terkategori besar.

Di samping edukasi dan pendampingan, lanjutnya, pemerintah perlu tunjukkan ketegasan dengan beri hukuman pada pihak-pihak yang melanggar aturan. Perda Pengelolaan Sampah seharusnya juga diimplementasikan untuk meningkatkan kedisiplinan warga.

“Sekarang situasinya memang diserukan untuk itu (pemilahan sampah dari rumah) tapi regulasi belum bisa menjawab. Penerapan semacam punishment itu penting untuk disiplinkan.”

Dorong Tanggung Jawab Produsen

Kajian Cecilia Meyta Rahayuingtyas dkk, juga temukan minimnya partisipasi produsen dalam pengelolaan sampah plastik di Depok. Selain itu, belum ada fasilitas drop box sampah plastik di tempat perbelanjaan. Sulitnya proses pengelolaan sampah plastik juga disebabkan belum adanya pabrik daur ulang sampah plastik di Kota Depok.

Karena itu, dia minta Pemerintah Kota Depok untuk jalin kerja sama dengan produsen dan pabrik daur ulang yang berada di daerah lain seperti Jakarta dan Bekasi. Serta, memberlakukan kebijakan yang tegas dalam pengelolaan sampah plastik, di antaranya, mengenakan pajak produk kemasan untuk pengelolaan sampah, juga memberi sanksi pada produsen yang melanggar ketentuan.

Pemerintah Indonesia memang mengatur ketentuan terkait tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah (Extended Producer Responsibility/ EPR). Pasal 15 UU 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, misal, secara jelas mengamanatkan produsen untuk mengelola kemasan dan atau barang yang diproduksinya, yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

Sementara, Peraturan Menteri LHK nomor P.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen menerapkan pendekatan siklus hidup penuh plastik mulai dari desain produk, produksi, distribusi dan pengelolaan sampah pasca konsumsi.

Permen itu juga membatasi penggunaan beberapa jenis plastik sekali pakai secara bertahap, misal kantong belanja plastik, sedotan plastik, wadah styrofoam, dan alat makan-minum pada usaha ritel dan jasa makanan dan minuman.

Alex Rahmatullah, Manajer Divisi Edukasi Ecological Observation and Wetland Conervations (Ecoton) mengatakan, sebagai komitmen mendukung EPR, banyak industri telah kirimkan peta jalan pengelolaan sampah pada pemerintah.

Namun dari keseluruhan peta jalan, hanya sekitar 45% yang diproses. Sisanya, dikembalikan untuk revisi. “Dari produksi sampai pasca konsumsi, produsen harus atur ulang mekanismenya,” ujarnya.

Salah satu kendala dalam penerapan EPR adalah rendahnya tingkat pemilahan sampah di masyarakat. Dia menilai, kondisi tersebut membuat kerja produsen untuk menarik kembali dan mengelola sampah jadi lebih sulit.

Di sisi lain, proses pemilahan sampah di level masyarakat juga punya tantangan sendiri. Alex menyebut, saat ini banyak bank sampah yang belum terintegrasi dengan sistem pengelolaan produsen. Banyak bank sampah disebutnya sebatas berperan sebagai pengepul biasa. Dampaknya, ketika plastik yang terkumpul tidak laku, mereka kemudian putuskan berhenti operasi.

Karena itu, skema EPR semestinya memperkuat kerja sama produsen dengan bank sampah. “Tidak hanya sebatas pengumpulan, tetapi juga dalam bentuk dukungan nyata melalui insentif.”

Selain itu, pemerintah perlu memperkuat kelembagaan bank sampah. Sebab, banyak bank sampah disebut belum punya legalitas. Hal itu turut melemahkan posisi kemitraan bank sampah, baik dengan perusahaan (produsen) maupun pemerintah.

“Harus ada legalitas, karena banyak bank sampah yang belum terdaftar. Kalau jadi koperasi atau BUMDes, maka ada insentif dari desa atau daerah,” ucap Alex.

Baginya, kelembagaan, insentif dan kemitraan yang kuat adalah fondasi agar bank sampah bisa jadi simpul penting dalam strategi nasional pengurangan sampah, melalui sistem EPR yang adil dan berkelanjutan.

Penguatan Hulu-Hilir

Hingga tahun 2024, berdasarkan data SIPSN, total timbulan sampah di Indonsia sebesar 34,27 juta ton, dan hanya 47,04% atau 16,12 juta sampah yang berhasil dikelola. Pemerintah Indonesia telah siapkan target ambisius untuk tangani persoalan tersebut.

Pada Maret 2025, misal, Presiden Prabowo Subianto menetapkan Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Seturut Perpres itu, Presiden meminta percepatan penanganan sampah dengan libatkan pemerintah daerah secara aktif.

Targetnya, penyelesaian 50% masalah sampah tahun 2025 dan 100% pada 2029. Sebagai upaya mencapai target itu, Kementerian Lingkungan Hidup/ Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/ BPLH) telah susun berbagai strategi dari hulu ke hilir.

Di sektor hulu, mencakup penguatan tempat pengolahan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R) dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST). Sementara, di sektor hilir, penanganan sampah dilakukan melalui penerapan teknologi waste to energy (WTE) dan refuse derived fuel (RDF).

Melalui pendekatan-pendekatan tersebut, KLH/ BPLH coba mengalihkan paradigma dari sistem kumpul angkut-buang menjadi reduce-reuse-recycle.

Menteri LH/ Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq bilang, dibutuhkan investasi sekitar Rp300 triliun untuk penuhi kebutuhan infrastruktur pengelolaan sampah secara nasional, termasuk untuk pembangunan TPS3R, TPST, dan waste to energy.

Dana tersebut, katanya, akan dikolaborasikan dari berbagai sumber, seperti tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), serta dukungan internasional.

Dia berharap, pemerintah daerah mengarahkan anggaran pada pembangunan TPS3R, bank sampah, fasilitas RDF, hingga teknologi waste-to energy. “Negara maju tak membebani anggaran negaranya untuk urusan sampah. Sampah harus jadi uang. Kita akan ke arah sana,” ujar Hanif dalam siaran pers yang diterima Ekuatorial, Senin (4/8/2025).

Andik Hardiyanto, Policy and Governance Specialist WWF Indonesia mengatakan, meskipun telah dicantumkan dalam dokumen RPJMN 2025-2029, pengelolaan sampah berkelanjutan masih jauh dari dukungan sistem yang menyeluruh.

Menurut dia, pemerintah perlu mengoptimalkan produksi dan konsumsi berkelanjutan seturut prinsip ekonomi sirkular. Idealnya, material yang digunakan dalam proses produksi dapat kembali ke proses produksi setelah digunakan konsumen, tanpa perlu menggunakan material baru.

Tapi yang jadi soal, banyak produk plastik yang sifatnya sekali pakai dan mengandung bahan kimia tertentu. Barang-barang tersebut, katanya, tidak memungkinkan untuk proses ulang dan digunakan kembali.

“Kalau lihat persentase, hanya sekitar 9% dari seluruh sampah yang bisa didaur ulang. Sisanya masuk ke alam, ke lingkungan. Jadi dia bukan bagian dari sistem ekonomi sirkular,” ujar Andik kepada Ekuatorial.

Meski demikian, dia menyebut, pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah tidak boleh hanya fokus di sektor plastik, tetapi juga elektronik, tekstil dan lain sebagainya. Karena itu, pemerintah harus mendorong sumber-sumber sampah untuk nyatakan tanggung jawabnya berdasarkan peta jalan masing-masing sektor.

“Produsen, manufaktur, pasar, masyarakat, semua harus punya standar untuk pengelolaan sampah,” tambahnya.

Mengacu data SIPSN tahun 2024, komposisi sumber sampah berasal dari rumah tangga (53,75%), pasar (14,48%), kawasan (11,92%), perniagaan (10,49%), perkantoran (3,98%), fasilitas publik (3,79%) dan sektor lain (1,61%).

Sementara, berdasarkan jenisnya, sampah didominasi oleh sisa makanan (39,23%), plastik (19,75%), kayu atau ranting (12,63%), kertas atau karton (11,19%) dan lain sebagainya.

Bagi Andik, kebijakan yang komprehensif, sistem yang cegah kebocoran siklus produksi, serta tanggung jawab dan peta jalan dari sumber sampah, merupakan komponen penting untuk bangun ekosistem ekonomi sirkular.

Apalagi, pemerintah sudah punya modal awal berupa arah kebijakan nasional yang tertuang dalam RPJMN. “Kita punya modal yaitu arah kebijakan. Otomatis kalau ada di RPJMN, maka arah kebijakan di tingkat provinsi pasti ada. Tinggal bangun ekosistem ekonomi sirkular.”

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses