Minimnya informasi dan sosialisasi ditengarai menjadi penyebab masih maraknya galon lanjut usia alias ganula digunakan oleh masyarakat.

Air minum merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, Ahmad Gunawan (47) yang mengaku sebagai konsumen air mineral galon selama 15 tahun.

Sebelum beralih ke air mineral galon, pria yang akrab disapa Iwano tersebut merupakan konsumen air mineral botol.

“Saya pindah dari air mineral botolan ke air mineral galon karena isi lebih banyak dan harga lebih ekonomis,” katanya saat ditemui Ekuatorial di kediamannya di Desa Ragajaya, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Minggu (17/8).

Dalam 4 tahun terakhir ini, Iwano lebih memilih menggunakan air mineral isi ulang langganan. Selain harga yang lebih murah, rasanya tidak jauh berbeda dengan air mineral galon merek ternama.

Tinggal berdua bersama istrinya, air mineral galon dengan kapasitas 19 liter tersebut habis dalam waktu dua hingga tiga hari. Dalam sebulan mereka mengkonsumsi kurang lebih 10 galon air mineral.

Galon air mineral yang dimilikinya berwarna biru muda. Iwano baru mendapatkannya sekitar tiga bulan lalu. Meski begitu, ia tidak mengetahui tentang bahaya galon lanjut usia (ganula).

Galon berwarna biru muda dipilih supaya dapat melihat secara jelas kualitas kejernihan air mineral. Termasuk bisa melihat kemungkinan adanya lumut di dinding dalam galon.

“Saya tidak tahu apakah ini galon lama atau baru. Terus terang saya baru tahu galon ada batas usia pakainya,” terangnya.

Pengusaha depot air mineral isi ulang, Sudarmaji (31) berpendapat serupa mengenai ketidaktahuannya atas informasi ganula. Sejak merintis usaha tersebut pada tahun 2023, agen resmi air mineral penyuplai ke deponya tidak pernah memberikan informasi tentang batas usia galon.

Sudarmaji mengaku sebanyak 70 persen galon miliknya merupakan galon lama berwarna biru tua dengan rata-rata usia 2-4 tahun dengan tahun produksi 2021 hingga 2023. Bahkan ada salah satu galon produksi tahun 2018.  Sedangkan 30 persen lainnya adalah galon baru berwarna biru muda dengan tahun produksi rata-rata awal 2025.

Dari pengakuan para pelanggannya, hampir sebagian besar atau mayoritas konsumen justru menyukai galon lama berwarna biru tua. Alasannya, secara bahan lebih kuat dan kokoh, meskipun kualitas air di dalamnya tidak terlihat jelas.

Adapun galon jenis baru berwarna biru muda berdasarkan aspek kekuatan dinilai lebih mudah penyok, dan lebih ringan, serta kualitas air di dalam galon dapat terlihat secara jelas.

“Konsumen jarang menanyakan batas usia pakai galon yang digunakan. Konsumen justru lebih sering mempertanyakan keaslian produk air mineral,” ungkap Sudarmaji saat ditemui di deponya.

Sejauh ini, rata-rata pelanggan Sudarmaji melakukan isi ulang sebanyak 3 (tiga) kali dalam seminggu. Secara komulatif, per bulan rata-rata mengonsumsi 3-5 galon air mineral.

Konsumsi itu meliputi air mineral isi ulang maupun air mineral dari brand resmi. Angka rata-rata konsumsi air mineral juga turut dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga.

“Setelah saya tahu dampak bahaya galon lama, saya akan minta galon baru ke agen air mineral brand resmi untuk dilakukan peremajaan. Demi konsumen juga,” paparnya.

Batas aman penggunaan galon

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing menerangkan penggunaan galon guna ulang dianjurkan selama satu tahun atau 40 kali pengisian. Berdasarkan survei dan investigasi nasional yang dilakukan KKI pada akhir 2024 ditemukan sebanyak 40 persen galon guna ulang yang beredar masuk dalam kategori galon lanjut usia (ganula) dengan usia di atas dua tahun.

Survei yang menyasar responden perumahan, apartemen/rumah susun, perkampungan dan kosan tersebut tersebar di lima kota besar seperti Medan, Jakarta, Bali, Banjarmasin dan Manado. Hasilnya, sebanyak 83,7 persen responden tidak pernah memperhatikan informasi produksi pada galon karena letaknya di bagian bawah.

“Bagaimana konsumen bisa melihat kedaluwarsa galon kalau itu ada di bagian bawah galon? Kan gak mungkin kita angkat-angkat galon gede begini,” ujarnya.

David mengungkapkan, temuan KKI lainnya yang tidak kalah mengejutkan adalah sebanyak 43,4 persen responden tidak mengetahui Peraturan BPOM mengenai kewajiban produsen air mineral yang menggunakan galon polikarbonat untuk mencantumkan label peringatan adanya BPA.

Setelah responden diberikan penjelasan mengenai bahaya zat BPA, sebanyak 96 persen responden setuju agar pelabelan peringatan BPA dipercepat, tanpa menunggu hingga 2028 seperti yang direncanakan. Termasuk sebanyak 96,6 persen responden menginginkan aturan yang lebih ketat mengenai konsumsi air mineral galon.

Dengan kondisi tersebut, David mendesak pemerintah dan produsen air mineral untuk mempercepat kewajiban pelabelan risiko BPA dari sebelumnya empat tahun menjadi dua tahun berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024. BPOM dinilai juga perlu melakukan edukasi dan sosialisasi terhadap regulasi pelabelan bahaya BPA pada galon polikarbonat dan bahaya BPA.

Selain itu, imbuh David, pihaknya juga mendorong agar produsen galon guna ulang untuk meningkatkan pengawasan pasca produksi. Sehingga tidak masuk dalam industri air minum isi ulang yang bisa berdampak pada higienitas dan keamanan produk.

“Mendorong pengunaan galon bebas BPA secara menyeluruh, merata dan adil demi menciptakan rasa aman serta mengurangi risiko kesehatan konsumen,” jelasnya.

ganula
Seorang pengusaha depo isi ulang air mineral sedang mengangkut galon pesanan konsumen di kawasan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Foto: Ekuatorial.com/Bethriq Kindy Arrazy

Pakar polimer Mochamad Chalid, menerangkan secara ilmiah Bisphenol A atau BPA merupakan zat kimia yang digunakan untuk mengeraskan sekaligus pelapis material dasar.

Zat BPA, kata Chalid, lazim digunakan di produk-produk warehouse. Dalam situasi lain, zat BPA digunakan di wadah-wadah makanan dengan karakteristik basah.

Guru besar Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (UI) tersebut memaparkan galon berbahan polikarbonat merupakan serangkaian anak rantai zat BPA yang terikat dengan zat lainnya, sehingga membentuk karakteristik material kaku dan jernih.

Selain digunakan untuk galon, BPA juga digunakan dalam kaleng makanan seperti sarden dan makanan berkarakter basah lainnya. Peran BPA sebagai pelapis agar kandungan logam tidak tercampur ke makanan basah di dalamnya.

“Namun dalam proses sebelum dan sesudah konsumsi, antara satu anak rantai dengan anak rantai lainnya bisa putus. Saat anak rantai terputus, di situlah terjadi proses peluruhan zat BPA ke makanan berkarakter basah,” terangnya.

Proses peluruhan BPA dalam galon, menurut Chalid dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama faktor suhu ruangan. Galon air mineral menurutnya tidak dianjurkan dijemur langsung di bawah matahari karena berpotensi terkena radiasi ultraviolet. Termasuk saat proses pengantaran dengan kendaraan bak terbuka juga akan memengaruhi proses peluruhan BPA pada air mineral di galon.

Kedua, faktor kandungan Potential of Hydrogen (pH) atau ukuran yang biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas air. Ukuran pH menentukan seberapa asam dan basa larutan air.

Air mineral, menurutnya, rata-rata memiliki kandungan nilai pH 7. Sedangkan proses peluruhan zat BPA terjadi saat proses pencucian galon menggunakan air sabun atau detergen. Sebab, hal itu turut memengaruhi kadar keasaman air mineral di dalam galon.

“Faktor terakhir penggunaan berkali-kali beserta perlakuan galon. Permukaan galon yang penyok atau tergores turut memengaruhi proses peluruhan zat BPA,” terangnya.

Di sisi lain, Chalid juga menyoroti proses pelacakan (tracing) ganula yang tidak berjalan baik. Khususnya mengenai tiga faktor penyebab terjadinya peluruhan BPA di air mineral galon.

Ke depan, tegas Chalid, pemerintah perlu mendorong perusahaan untuk melakukan edukasi dan informasi yang tertera di galon seperti berapa batas suhu, berapa batas kadar pH dan berapa kali batas penggunaan.

“Apalagi air mineral galon termasuk kategori makanan dalam kemasan. Harusnya sedapat mungkin ketika bisa dikontrol sekaligus akan menekan risiko yang ditimbulkannya,” ujarnya.

Implementasi dan pengawasan

Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arif Mujahiddin mengungkapkan Aqua telah menjalankan bisnisnya sesuai aturan yang berlaku. Termasuk di antaranya mengenai aturan penggunaan kemasan.

“Kami taat kepada peraturan yang berlaku pada industri air minum dalam kemasan. Baik SNI, aturan BPOM serta otoritas lain yang berwenang,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Ekuatorial sempat menanyakan lebih lanjut mengenai upaya Aqua dalam membendung penggunaan galon secara berulang (ganula) hingga bagaimana mekanisme peremajaan galon yang dilakukan. Namun hingga reportase ini diterbitkan, belum ada penjelasan lebih lanjut.

Arif justru mempertanyakan penggunaan istilah ganula yang menurutnya kurang tepat. “Sejak kapan ada istilah ganula? Coba cek aturan kemasan BPOM, SNI dan aturan lainnya dulu,” ujarnya.

Direktur Pengurangan Sampah dan Ekonomi Sirkular, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Agus Rusli menerangkan perusahaan air mineral skala internasional dan nasional di Indonesia sudah menerapkan prosedur bahan baku yang ketat karena menyangkut keamanan pangan bagi konsumen.

Mengenai masih beredarnya ganula disebabkan oleh minimnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menggunakan galon produksi baru. Yang terjadi saat ini, kata Agus, masyarakat menggunakan ganula untuk pembelian air di depot air isi ulang dengan dalih harga lebih ekonomis.

“Akibatnya, ganula tidak mengendap di relasi depo air isi ulang dan konsumen. Sehingga tidak sampai ditarik oleh perusahaan air mineral,” paparnya.

Agus lalu menjelaskan aturan Permen LHK No.75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah Produsen. Menurutnya, dalam konteks masih beredarnya ganula seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan untuk segera melakukan penarikan hingga proses daur ulang.

Dari aspek pengawasan, Agus menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah (pemda). Pemda perlu diikutsertakan agar lebih efektif, paling tidak di lingkup wilayahnya masing-masing.

Kendala lainnya, tidak semua perusahaan air mineral sadar tentang bahaya pascakonsumsi dari kemasan yang mereka produksi. “Misalnya seperti apa mekanisme penarikan galon lama yang harus dilakukan,” ujar Agus kepada Ekuatorial.

Beragam jenis air minum dalam kemasan (AMDK) dengan volume 19 liter, 15 liter dan 12,8 liter yang diperjualbelikan di toko ritel modern. Foto: Ekuatorial.com/Bethriq Kindy Arrazy

Mengenai kendala tersebut, Agus mengakui sanksi yang diberikan kepada perusahaan masih sebatas sanksi administrasi dan sanksi diinsentif. Kedua jenis sanksi tersebut menurutnya masih belum memberikan efek jera dan perbaikan dari perusahaan air minum.

Ia lalu memberikan catatan mengenai minimnya informasi terkait umur masa pakai dari sebuah galon. Informasi mengenai batas usia penggunaan, perlu diletakkan di posisi yang terlihat jelas dengan menggunakan huruf timbul.

“Minimnya informasi mengenai batas usia galon mendukung minimnya literasi konsumen,” katanya.

Tak hanya itu, Agus juga menyoroti kandungan zat BPA dalam galon pakai ulang yang dimanfaatkan oleh perusahaan air mineral lainnya dengan mengeluarkan galon sekali pakai dengan volume lebih kecil.

Meski galon sekali pakai dinilai lebih aman dari kandungan BPA, namun turut berpotensi memunculkan masalah baru yakni pengolahan sampah pascakonsumsi. Agus juga mengkhawatirkan kemunculan galon sekali pakai akan turut memicu keinginan perusahaan air mineral lainnya untuk turut mengambil segmen pasar tersebut.

Menindaklanjuti masih beredarnya ganula hingga fenomena munculnya galon sekali pakai menjadi perhatian tersendiri bagi Kementerian LH. Menurut Agus, pihaknya terus berkoordinasi secara teknis dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan kementerian terkait, yakni Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

“Jangan sampai akibat dampak zat BPA muncul justru kita baru menyadari,” katanya.

Dampak kesehatan konsumen

Spesialis penyakit dalam dan konsultan hematologi-onkologi, dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM menerangkan dampak buruk BPA bagi tubuh yang bisa memicu terjadinya gangguan hormon.

BPA, kata Andika, dapat meniru kerja hormon dalam tubuh seperti hormon ekstrogen, testeron dan tiroid. Selain gangguan hormon, metabolisme juga terancam dan berpeluang terjadinya obesitas, diabetes type-2, hingga perlemakan hati.

BPA juga berpotensi menyebabkan hipertensi, serangan jantung, prostat, kanker payudara, kanker yang sensitif terhadap gangguan hormon. Bahkan, paparan BPA pada ibu hamil berpotensi memengaruhi otak, tumbuh kembang, hingga fungsi perilaku janin dalam kandungan.

“Efek dampak BPA tidak terjadi seketika saat itu juga. Melainkan dari paparan-paparan kecil yang berlangsung selama bertahun-tahun serta multifaktor lainnya yang dapat memicu munculnya penyakit-penyakit kronis yang tadi kusampaikan,” jelasnya.

Mengutip Jurnal American Medical Association, Andhika menyampaikan, kandungan BPA pada tubuh akan terdeteksi pada tahun kesepuluh melalui urine. Sedangkan berdasarkan jurnal medis lainnya, BPA paling dominan dan sering menyebabkan efek hipertensi.

Meski begitu, tubuh juga memiliki kemampuan pemulihan melalui antioksidan dengan cara istirahat cukup serta mengonsumsi buah dan sayur-sayuran. “Dengan begitu menjadi tidak secepat itu. Mungkin bisa lebih lama atau 10 tahun lebih,” paparnya.

Andhika juga menyarankan pentingnya menghindari BPA dengan mengkonsumsi air tanah yang terlebih dahulu dimasak. Meski begitu, penggunaan air tanah tidak dianjurkan bila tinggal di permukiman padat dan kumuh, seperti di perkotaan atau dekat dengan kawasan industri.

Kawasan tersebut dinilai memiliki kualitas air tanah yang kurang baik. Penelitian menunjukkan, kebanyakan air tanah di kawasan tersebut telah tercemar dengan logam berat seperti arsenik, timbal, polutan tanah hingga kontaminasi mikroba, Esherichia coli (E. coli) dan Salmonella.

“Kalau pun tinggal di perkotaan dan terpaksa mengonsumsi air mineral galon, pastikan pilih galon dengan tahun produksi terbaru. Tidak penyok, tidak tergores, dan tidak buram. Aman buat ibu hamil dan menggunakan wadah minum berbahan kaca,” pungkasnya.

Liputan ini merupakan program fellowship untuk mendukung isu Global Plastic Treaty yang didukung WWF Indonesia

About the writer

Bethriq Kindy Arrazy

Bethriq Kindy Arrazy merupakan jurnalis lepas yang berbasis di Bogor. Sesekali nulis esai dan kolom di sejumlah media nasional. Sederet karya jurnalistiknya pernah dimuat di Majalah TEMPO, Warta Ekonomi...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses