Komnas Perempuan mengangkat isu penting tentang pelanggaran hak asasi perempuan dan kebutuhan kebijakan yang lebih inklusif.

Kebijakan terkait pemenuhan hak asasi perempuan dan penanganan kekerasan terhadap korban di Indonesia masih minim. Kebijakan di daerah banyak yang bersifat diskriminatif.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Chatarina Pancer Istiyani, konstitusi memberikan mandat kepada negara, terutama pemerintah, untuk menjamin perlindungan, pemenuhan, penghormatan, serta penegakan hak asasi manusia sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara.
“Komnas Perempuan mencatat, berdasarkan dokumentasi Catatan Tahunan (Catahu) sejak 2001 hingga saat ini terdapat 12 identitas kelompok perempuan yang, baik secara tunggal maupun majemuk, terus menerus menghadapi pelanggaran hak konstitusionalnya,” kata Chatarina, dalam siaran pers, diakses Rabu, 20 Agustus 2025.
Hal ini tercermin dari pengalaman kekerasan dan diskriminasi yang mereka hadapi, antara lain: perempuan korban kekerasan seksual; perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); perempuan korban perdagangan orang; perempuan dengan HIV/AIDS; buruh migran; perempuan disabilitas; perempuan dari kelompok minoritas agama; perempuan pembela HAM; perempuan dengan keragaman identitas gender dan seksualitas; perempuan yang dilacurkan; perempuan adat; serta perempuan pekerja rumah tangga.
Diketahui, Hari Konstitusi Republik Indonesia diperingati setiap 18 Agustus, merupakan momentum penting untuk merefleksikan pelaksanaan konstitusi. Namun data dari Komnas Perempuan, sepanjang 25 tahun terakhir dari 28.726 kebijakan di tingkat nasional yang terdokumentasi dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), hanya sekitar 62 kebijakan (0,2 persen) yang terkait dengan pemenuhan hak asasi perempuan dan penanganan kekerasan terhadap korban.
Sementara itu, Dahlia Madanih, Wakil Ketua Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa Komnas Perempuan menemukenali 40 hak konstitusional perempuan sebagaimana termuat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memastikan kesetaraan gender dan perlindungan hak asasi perempuan.
Hak-hak tersebut terbagi ke dalam 14 rumpun, antara lain: hak kewarganegaraan; hak atas hidup; hak untuk mengembangkan diri; hak atas kemerdekaan pikiran dan kebebasan memilih; hak atas informasi; hak atas kerja dan penghidupan yang layak; hak atas kepemilikan dan perumahan; hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat; hak berkeluarga; hak atas kepastian hukum dan keadilan; hak bebas dari ancaman diskriminasi dan kekerasan; hak atas perlindungan; hak untuk memperjuangkan hak; serta hak atas pemerintahan.
“Hak-hak ini seharusnya menjadi jaminan dasar bagi perempuan di seluruh Indonesia untuk hidup bermartabat dan setara,” lanjutnya.
Dahlia juga menyebutkan bahwa sejak tahun 2000 hingga kini, masih terdapat 305 kebijakan daerah yang bersifat diskriminatif dan belum mendapatkan penanganan. Artinya, dalam kurun waktu 25 tahun, rata-rata 10–12 kebijakan diskriminatif dilahirkan setiap tahunnya.
“Kami harap semua perempuan Indonesia dapat mengenali hak konstitusional warga negara dan memberikan partisipasi secara luas dalam pengisian kuisioner ini,” kata Dahlia.
RUU Masyarakat Adat dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
Komisioner Daden Sukendar menyatakan, bahwa dua entitas perempuan adat dan perempuan pekerja rumah tangga masih menunggu hingga 25 tahun untuk pengesahan RUU Masyarakat Adat dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
“25 tahun pelaksanaan konstitusi, Komnas Perempuan mengeluarkan survei yang ditujukan untuk perempuan Indonesia. Survei ini untuk memberikan pemahaman publik tentang hak asasi manusia yang juga merupakan konstitusional perempuan serta penting untuk dapat mengetahui situasi dan kondisi penikmatan hak yang tercantum dalam konstitusi berdasarkan suara dan pengalaman perempuan,” tambah Daden Sukendar.
Kepada warga negara Indonesia, khususnya perempuan, dalam rangka memperingati hari konstitusi, Komnas Perempuan mengajak perempuan untuk mengenali hak konstitusionalnya serta mengajak untuk berpartisipasi melakukan pengisian lembar kuesioner “Seberapa Jumlah Hak Konstitusionalku di Nikmati dan Terhambat” melalui tautan https://bit.ly/ScoreHakKonstitusionalmu yang dimulai sejak 18 Agustus hingga 31 Agustus 2025.
Lonjakan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP)
Komnas Perempuan merilis Catatan Tahunan 2024 yang menyoroti terjadi lonjakan di kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP). Sepanjang tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat 330.097 kasus KBGtP, meningkat 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, mayoritas (291.213 kasus) berasal dari data putusan pengadilan, jauh lebih tinggi dibandingkan data pelaporan (38.788 kasus) dan penuntutan (96 kasus). Tingginya angka putusan ini karena data dari Badan Peradilan Agama (BADILAG) sepenuhnya berupa putusan.
Berdasarkan ranahnya, kekerasan di ranah personal mendominasi dengan 309.516 kasus, jauh melampaui ranah publik (12.004 kasus) dan negara (209 kasus). Ada pula 8.368 kasus yang tidak teridentifikasi ranahnya, berasal dari data Kemen-PPPA.
Secara wilayah, Pulau Jawa mencatat jumlah kasus tertinggi, disusul Sumatera Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, Papua menjadi provinsi dengan jumlah laporan paling rendah (9 kasus).
Dilihat dari bentuk kekerasan, data mitra CATAHU menunjukkan kekerasan seksual (26,94%) sebagai jenis yang paling banyak dilaporkan, disusul kekerasan fisik (26,78%), psikis (26,94%), dan ekonomi (9,84%). Angka ini menunjukkan pergeseran dari tahun sebelumnya, di mana kekerasan psikis paling dominan. Mitra CATAHU mencatat 17.305 kasus kekerasan seksual, sementara Komnas Perempuan mencatat kekerasan psikis tertinggi sebanyak 3.660 kasus.
Korban paling banyak berada pada rentang usia 18–24 tahun, sedangkan pelaku didominasi oleh kategori usia yang tidak teridentifikasi. Dari segi pendidikan, korban dan pelaku terbanyak berada pada jenjang SMA/sederajat. Ini memperlihatkan pola relasi kuasa di mana pelaku cenderung lebih tua atau berpendidikan lebih tinggi dari korban.
Berdasarkan pekerjaan, korban paling banyak berstatus pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Sementara pelaku terbanyak adalah pegawai swasta, buruh, dan pelajar/mahasiswa. Profesi pelaku juga mencakup aparatur negara seperti ASN, guru, aparat hukum, polisi, TNI, hingga tokoh agama—berjumlah 244 orang atau 7,09% dari pelaku yang diketahui profesinya. Total kasus yang melibatkan TNI, POLRI, dan ASN mencapai 1.280.
Komnas Perempuan menerima 4.178 pengaduan, dengan 3.440 kasus terverifikasi sebagai KBGtP. Penanganan dilakukan melalui surat rujukan (573 kasus), surat klarifikasi, rekomendasi, dan pemantauan. Komnas juga memberi keterangan ahli di persidangan dan penyidikan serta menyampaikan amicus curiae ke PTUN Jakarta terkait RUU Masyarakat Adat.
Kekerasan dalam rumah tangga masih mendominasi ranah personal, dengan kekerasan terhadap istri (KTI) mencatat 672 kasus—tertinggi sejak CATAHU pertama kali diluncurkan. Disusul kekerasan oleh mantan pacar (632 kasus), kekerasan dalam pacaran (407 kasus), dan bentuk kekerasan lainnya. Data mitra menunjukkan KTI sebanyak 5.950 kasus. Secara keseluruhan, 83,70% kasus di ranah personal adalah kekerasan dalam rumah tangga, mengindikasikan kuatnya ketimpangan gender dalam relasi perkawinan.
Sebanyak 132 korban KTI (19,6%) berani melapor ke polisi, namun hambatan hukum masih kuat. Tercatat 7 kasus KTI mengalami penundaan keadilan (delayed in justice), dan 17 kasus korban justru dikriminalisasi. Delapan kasus KDRT juga muncul dari perkawinan campuran.
Di ranah negara, tercatat 95 kasus kekerasan, dengan DKI Jakarta sebagai wilayah dengan kasus terbanyak (23 kasus), disusul Jawa Barat dan Sumatera Utara. Kasus perempuan berkonflik dengan hukum paling banyak dilaporkan (29 kasus), disusul kekerasan terhadap perempuan pembela HAM (9 kasus), yang menunjukkan tren peningkatan dari tahun sebelumnya.