Masalah sampah di Kota Medan semakin tahun semakin payah, Sudah tambah satu gunung masih butuh gunung lain untuk membuat gunung sampah
Cuaca sangat panas pada Rabu (23/7/2025) siang. Puluhan truk sampah datang dan pergi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di Kecamatan Medan Marelan. Ada tiga gunung sampah di tempat ini. Ratusan pemulung tak peduli sengatan matahari demi rezeki yang bersembunyi di antara sampah berbau busuk menusuk hidung. Di dekat mereka, burung-burung bangau berebut sisa makanan yang terburai dari sampah yang baru dituang dari truk.
Namanya Parsiah (65), dia baru saja selesai makan siang ketika ditemui di bawah gubuk sederhana yang dibuat sekedar menghindari panas. Saat itu dia bersama suaminya dan tiga rekannya. Dia lahir di Banyuwangi dan merantau bersama orangtuanya naik kapal pada tahun 1980. Situasi yang sulit membuatnya tak bisa memilih pekerjaan. Dia tak punya uang untuk pulang ke Jawa. Di tanah andalas ini, saat itu dia tinggal di daerah Pancur Batu, Deli Serdang.
Sekitar 5 km dari rumahnya beroperasi TPA Namo Bintang. Dia diajak oleh teman-temannya untuk datang ke tempat itu untuk mencari barang-barang tertentu yang dibuang orang untuk dikumpulkan dan dijual kembali. Dia mengaku tidak pernah menyangka perantauannya ke Sumatera membuatnya menjadi pemulung bersama suaminya pada tahun 1989. Saat itu harga barang rongsokan berbahan plastik dan besi masih bernilai tinggi. Tidak seperti sekarang.
“Dulu barang banyak. Kalau sama (saat) ini, jauh kali. Dulu plastik dihargai Rp500 per kilogram. Dulu harga segitu nilainya masih besar,” katanya.
Saat ini, lanjut Parsiah, meskipun sampah melimpah tetapi barang yang bisa dijual kembali justru semakin sedikit dan harganya murah. Di saat yang sama, harga kebutuhan hidup semakin tinggi.
Parsiah dan suaminya sempat bingung mencari penghidupan ketika TPA Namo Bintang ditutup pada 2013. Namun harapannya muncul lagi ketika mengetahui TPA berpindah ke Kelurahan Terjun, di Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan.
Parsiah (65), memulung sejak tahun 1989 di TPA Namo Bintang. Sejak ditutupnya TPA di Pancur Batu itu dia kini memulung di TPA Terjun, Kecamatan Medan Marelan.
Puluhan Tahun Memulung
Jarak dari tempat tinggalnya di Pancur Batu ke TPA Terjun lebih dari 30 km. Dia dan suaminya memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke daerah Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan. Dua anaknya juga ikut menjadi pemulung di TPA Terjun, hingga sekarang. Seperti halnya pekerja di gedung-gedung ber-AC, Parsiah, suaminya dan ratusan pemulung lainnya bekerja dari jam 8 hingga jam 4 sore.
Sepulangnya, akan digantikan ratusan pemulung lain yang bekerja untuk shift sore hingga tengah menjelang tengah malam. Bicara pendapatan, menurut Parsiah tidak pernah bisa dipatok. Selain tergantung dengan kekuatan fisiknya, juga banyaknya plastik, kaca dan kaleng atau besi yang berhasil dikumpulkannya. “Namanya rejeki, ya kan, Pak? Rejeki satu, kondisi kita, badan kita. Kalau kita lagi fit, barang banyak, ya lumayan. Kalau barangnya nggak ada, ya seret juga,” ujarnya.
Di usia senjanya, dia tak tahu kapan akan berhenti memulung. Namun jika ada bantuan dari pemerintah atau pihak lain, dia akan memilih berdagang di rumahnya. Jika tidak, dia akan tetap memulung bersama lebih dari 500 pemulung lainnya. “Ya, memulung ini lebih baik daripada (meminta-minta) di lampu-lampu. Yang penting halal. Kemarin dengar-dengar katanya TPA ini mau ditutup atau dipindah, jangan lah. Saya menyuarakan atas semua pemulung di sini. Minta lahannya jangan pindah, Pak. Saya minta penambahan lahan di sini,” ujarnya.
Pemulung lainnya bernama Ika (42). Dia sudah sepuluh tahun memulung di TPA Terjun. Bagi Ika, TPA Terjun tidak hanya sebagai tempat sampah, tetapi sebagai sumber utama penghidupan pemulung. Banyak barang buangan yang masih bisa dijual kembali sebagai penyambung nyawa ribuan orang. Dia sendiri dalam sehari dari menjual barang bekas bisa menghasilkan rata-rata Rp 50 ribu. Penghasilan itu cukup untuk membantu dapur tetap ngebul.
Bagi Ika, TPA Terjun tidak hanya sebagai tempat sampah, tetapi sebagai sumber utama penghidupan pemulung. Banyak barang buangan yang masih bisa dijual kembali sebagai penyambung nyawa ribuan orang. Dia sendiri dalam sehari dari menjual barang bekas bisa menghasilkan rata-rata Rp 50 ribu. Penghasilan itu cukup untuk membantu dapur tetap ngebul.
Pekerjaan memulung tidak membuat Ika kehilangan keramahtamahannya. Baginya, yang penting kebutuhan hidup bisa terpenuhi dari sumber yang halal sekaligus untuk sekolah anak-anaknya yang kini duduk di bangku SMA, SMK dan SMP. “Anak saya tiga orang, masih sekolah. Harapan saya, anak-anak jangan kayak mamaknya. Kalau bisa lebih maju, jangan ikut-ikut mulung,” ujarnya lirih sambil menyusun barangnya di dalam karung.
Tak beda dengan Parsiah dan Ika. Mulyono (39) pun menganggap TPA Terjun sebagai sumber penghidupan bagi keluarga. Dia tak tahu apa jadinya jika TPA Terjun ditutup seperti wacana yang didengarnya dari obrolan antar pemulung. Mulyono dulunya seorang buruh bangunan. Dia memutuskan menjadi pemulung karena bekerja di bangunan tidak menentu uangnya. Kadang ada, kadang tidak. Walaupun hasilnya pas-pasan, masih cukup untuk makan istri dan anak.
Menurutnya, dari sekian banyak barang rongsokan, yang paling pas adalah ketika mendapatkan tembaga karena harganya bisa mencapai Rp 100 ribu per kg. Namun untuk mengumpulkan sebanyak itu, sebulan belum tentu dapat. Mulyono bekerja dari Senin hingga Sabtu. Panas dan hujan menurutnya tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja. “Selagi negara membuang sampah di sini, kami di sini lah. Kami sebenarnya tergantung negara sekarang,” ungkapnya.
Kepala Tim Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Azman berjalan menuju sepeda motornya dengan latar depannya gunung sampah.
Gunung Sampah Kota Medan Setinggi 40 Meter
Ditemui di Taman Edukasi TPA Terjun, Kepala Tim Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Azman mengatakan, taman ini dulunya adalah gunung sampah yang dinonaktifkan. Gunung sampah ini sudah dibangun selayaknya taman dengan beberapa spot yang menarik untuk foto. Dengan ketinggian di atas 30 meter, taman ini memberikan pemandangan sekeliling yang cantik. Ya, ternyata sampah tak melulu tampil dengan wajah buruk rupa.
Benar saja, dari atas taman bisa melihat gedung-gedung tinggi di kejauhan, tambak ikan dan persawahan, gunung sampah aktiv dengan ekskavator tak henti memindahkan tumpukan sampah dan tentu saja ratusan ‘pendaki’ yang sibuk dengan karung di punggung dan gancu di tangan. Angin sepoi-sepoi dan cuaca panas membuat kantuk datang lebih cepat. Tenda-tenda pemulung dan asap tipis yang keluar dari tumpukan sampah, tak ubahnya di Gunung Sibayak, katakan lah.
Hanya saja, aroma tak sedap yang terbang dibawa angin selalu berhasil membuat mata kembali terbelalak. Hilang kantuk. Azman sudah 14 tahun bekerja di TPA Terjun. Suasana seperti itu sudah menjadi bagian dari dirinya, setidaknya setelah kembali ditugaskan Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan di tempat itu. Awal menjadi PNS, dia ditugaskan di TPA Terjun. Sempat pindah ke kantor, namun keputusan membawanya kembali ke TPA Terjun.
Menurutnya, selalu ada pengalaman pertama di setiap kesempatan. Hal itu sangat mengejutkannya, membuatnya goncang ingin pergi, tapi tampaknya pilihan pengabdian lebih kuat. Dia mulai menata tempat yang amburadul, becek dan sangat bau, menjadi lebih baik dan tertata. Kotor dan bau, menurutnya tentu saja tidak bisa dihilangkan, namanya juga tempat sampah. Namun menurutnya, yang dilakukannya sangat berdampak.
Lebih dari 300 pemulung bekerja mencari barang-barang bernilai ekonomi di TPA Terjun, Kecamatan Medan Marelan.
Dia melakukan penataan tanpa belajar dari misalnya studi banding ke TPA lainnya. Dia menatanya dengan berdiskusi bersama operator di lapangan, membuat jalur pengangkutan sampah, parit untuk pembuangan, dan lain sebagainya sehingga menjadi seperti yang sekarang ini. Menurutnya, ini jauh lebih baik dari awal dia masuk. Setiap tumpukan sampah setinggi 5 meter akan ditimpa dengan tanah dengan ukuran tertentu. Namun harga tanah timbun tidaklah murah.
Hal ini menjadi tantangan apalagi saat ini ada efisiensi. Dikatakannya, TPA Terjun adalah tempat penampungan sampah dari 21 kecamatan di Kota Medan. “Kondisi TPA Terjun ini pertama kali disini ada tahun 1993, mulai diresmikan dibuka untuk penampungan sampah Kota Medan. Jadi saat ini kondisi TPA Terjun ini menampung sampah yang terdiri daripada 21 kecamatan yang melakukan pembuangan di lokasi TPA Terjun,” jelasnya.
Dijelaskan Azman, luas TPA Terjun mencapai 14 hektare, dibagi menjadi zona A, B dan C. Zona A sudah dinonaktifkan dan kini dioperasikan sebagai taman. Dua zona lainnya, kini tingginya mencapai 40 meter. Betapa tidak, setiap harinya ada 200 truk sampah yang datang dan pergi. Prosesnya dimulai dengan penimbangan di pintu masuk sebelum sampah dibuang ke zona yang sudah ditentukan. “Untuk timbulan sampah yang masuk, yang ditimbang, yang diangkut daripada truk-truk pengangkut sampah ini, sampah kita itu lebih kurang mencapai di angka 1.200 ton, lebih kurang per harinya yang masuk,” jelas Azman.
Dengan jumlah itu, menurut Azman, TPA ini sudah benar-benar tidak mampu menampung sampah dalam waktu lama. Jika tidak ada penambahan luasan lahan, dia memperkirakan tahun depan tidak akan cukup lagi. “Ini sudah kebingungan kita ini. Ini aja kita sudah berupaya yang di mana mencari celah-celah lagi bisa buang, tapi tahun depan agak sulit kalau hanya mengharapkan kondisinya ini aja,” tambahnya.
Kepala Tim Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Azman mengatakan setiap hari sekitar 1200 ton sampah dari 21 kecamatan di Kota Medan masuk ke TPA Terjun.
TPA Terjun Harus Diperluas
Hal itu karena kapasitas yang dimiliki TPA Terjun saat ini hampir habis karenanya harus ada perluasan lahan. Menurutnya, dulu ada wacana menambah sekitar 6 hektare dengan bantuan pihak luar negeri, namun belum ada kelanjutan. Selain perluasan lahan, lanjut Azman, yang dibutuhkan saat ini adalah penerapan teknologi untuk mengelola sampahagar tidak hanya ditumpuk tetapi diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Azman mengakui keberadaan pemulung di TPA Terjun ini tidak sedikit. Menurutnya, ada sekitar 300 pemulung yang bekerja dari pagi hingga malam secara bergantian. Mereka mencari barang-barang bernilai jual seperti plastik, logam, dan karton. Namun, pekerjaan ini penuh risiko. Pihaknya sering mengimbau dan mengingatkan resiko yang bisa terjadi saat mereka bekerja. Misalnya tidak membakar sampah.
Resiko lainnya adalah posisi mereka yang kerap kali berdekatan dengan alat berat yang mengangkut dan memindahkan tumpukan sampah.Selain pemulung, ada 40 petugas Dinas Lingkungan Hidup yang bekerja mengelola kawasan ini. Namun, Azman mengakui banyak dari mereka belum dilengkapi Alat Pelindung Diri (APD) secara memadai. Dikataannya, sudah semestinya pemerintah memperhatikan pengelolaan sampah.
“Kalau lah sampah ini, satu hari nggak diangkut, sudah tidak bisa, kan kacau kita pak, Kota Medan ini. Jadi mohonlah perhatiannya, kita lebih serius untuk masalah perluasan lahan TPA ini, supaya Medan ini tetap tidak terkendala dalam hal sampahnya masyarakat juga,” katanya.
Seorang nelayan membersihkan sampah di Danau Siombak menggunakan sampan.
Stigma Medan Kota Terjorok
Pengamat lingkungan, Jaya Arjuna ketika ditemui beberapa waktu lalu di rumahnya mengatakan bahwa Kota Medan pernah mendapatkan julukan sebagai salah satu kota terjorok di Indonesia karena banyaknya sampah di mana-mana. Kota Medan sebenarnya pernah mendapatkan Penghargaan Adipura namun menurutnya itu tidak serta merta mencerminkan adanya perbaikan besar dalam pengelolaan lingkungan.
Jaya menilai, meskipun mendapatkan Penghargaan Adipura, Kota Medan belum mengalami peningkatan peringkat dalam kategori kota layak huni. “Ada kota layak huni, ada kota terjorok, ada Adipura. Itu harusnya selaras. Kalau naik (perbaikan sistem), ya semuanya naik. Tapi kalau satu naik, yang lain stagnan, itu patut dipertanyakan,” jelasnya.
Di rumahnya di ujung Jalan Utama Medan, Jaya meyebutkan salah satu indikator utama sebuah kota dianggap jorok adalah terjadinya banjir setiap kali hujan deras. Hal itu menurutnya menjadi bukti langsung dari sistem pengelolaan sampah yang buruk. “Kota yang terjorok itu bisa dilihat, kalau hujan pasti banjir. Kenapa banjir? Karena paritnya penuh. Kenapa penuh? Karena sampah-sampah masuk ke parit. Sampahnya bukan besar-besar, tapi yang kecil-kecil itu justru menyumbat,” jelasnya.
Meskipun berdampak, bank sampah belum signifikan mengurangi volume sampah. “Berapa meter kubik yang ditangani bank sampah? Bisa dihitung. Tidak sebanding dengan volume total sampah harian kota. Sampah yang terangkut paling 70 persen, sisanya 30 persen kemana? Ya, masuk ke parit,” katanya.
Camat Medan Marelan, Zulkifli Syahputra Pulungan (kaos biru) bersama sejumlah lurah dan tokoh di Kecamatan Medan Marelan apel sebelum aksi bersih Danau Siombak bernama Main ke Danau Siombak.
Cara Main ke Danau Siombak Ala Camat Medan Marelan
Dalam kesempatan yang lain, tepatnya di Danau Siombak ada inisiatif penanggulangan sampah Kota Medan. Danau satu-satunya milik Kota Medan itu, tak pernah luput dari permasalahan sampah. Di saat air pasang, tak jarang membawa serta sampah yang mengalir di Sungai Bedera, merasuk ke danau sehingga kawasan yang memiliki pesona tersendiri saat senja itu dipenuhi sampah. Kadang saat surut, berbagai sampah dibawa ke laut, kadang tertinggal di danau, mengapung atau tenggelam.
Inisiatif itu berupa Main ke Danau Siombak. Camat Medan Marelan, Zulkifli Syahputra Pulungan menyebut main tak sekedar main, tetapi aksi bersih sampah. Ya, dari Danau Siombak, gunung sampah TPA Terjun terlihat menjulang. Gunung sampah dan danau penuh sampah bukanlah pemandangan indah, karenanya harus ditangani dengan serius. Setiap hari Kamis pagi, Zulkifli menggerakkan perangkat kecamatan, kelurahan, lingkungan dan neayan untuk aksi bersih itu.
Zulkifli memang baru dua minggu menjabat camat di wilayah utara Kota Medan ini. Tapi perhatiannya kepada Danau Siombak ini adalah nilai lebih. Dikatakannya, wilayah kerjanya memiliki dua keunikan yang tak dimiliki kecamatan lain, yakni Danau Siombak dan TPA Terjun. Danau seluas belasan hektare itu berada di KelurahanTerjun dan aksesnya melalui Kelurahan Paya Pasir. Danau ini berperan seperti muara aliran Sungai Bedera yang membawa sampah dari pusat Kota Medan terus masuk ke danau.
“Kita mengetahui kondisi Danau Siombak itu cukup banyak sampah yang merupakan sampah kiriman bukan sampah masyarakat sekitar. Sampah kiriman yang asalnya dari Sungai Bederah. Kita ketahui sendiri Sungai Bederah ini merupakan aliran sungai yang melintasi pusat kota Medan dan ujungnya itu mengarah ke Danau Syombak,” jelas Zulkifli.
Dikatakannya, Main ke Danau Siombak ini adalah aksi bersih sampah menggunakan cara manual dengan tanggok jaring, maupun perahu motor bantuan BPBD Medan, sampan, hingga kano pinjaman warga untuk mengitari danau. Sampah yang mengapung di permukaan dan mengotori tepian danau diangkut dan dikumpulkan. Dengan perahu, sampan atau kano memutari danau sambil menjaring sampah yang bisa dijaring, menurutnya sedikit demi sedikit akan memberi dampak.
Pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hiodup, aktivis lingkungan dan masyarakat sekitar untuk menangani sampah di Danau Siombak. Salah satunya adalah memasang jaring di pintu masuk antara Sungai Bedera dan Danau Siombak untuk menghalau sampah masuk ke danau. Tetapi tidak akan menutup akses bagi nelayan yang melintas untuk mencari ikan.
Seorang petugas mengangkut sampah yang diangkat dari Danau Siombak saat aksi Main ke Danau Siombak.
Selain Danau Siombak, perhatiannya juga pada TPA Terjun. Lokasi ini menampung sampah dari seluruh kecamatan di Kota Medan. Dikatakannya, ada 3 tumpukan sampah atau yang disebutnya sebagai gunung sampah di tempat itu. Dari tiga gunung itu, ada 1 yang dibuat menjadi taman.
“Jadi, TPA yang ada di Medan Marelan ini, seperti yang saya bilang, ini merupakan ikon unik salah satu ikon unik dari kecamatan Medan Marelan selain Danau Siombak yaitu tempat pembuangan akhir sampah sekota Medan,” katanya.
Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah terobosan dalam pengelolaan sampah. Bisa dimulai drngan studi banding ke daerah lain atau bahkan ke luar negeri tentang penanganan sampah yang efisien dan efektif. Hal itu penting karena sampah adalah persoalan vital di kota-kota besar, termasuk Medan. Menurutnya, jika sekedar menampung, maka sampah akan menggunung. Dia menegaskan, pengelolaan sampah ini harus melibatkan banyak pihak. Tidak hanya pemerintah.
“Jangan hanya berharap 100% dari pemerintah. Pemerintah nggak akan bisa berbuat apa-apa kalau masyarakatnya tidak merubah pola pikir dan pola hidup. Saya rasa DLH juga sudah bekerja maksimal. Insya Allah, mudah-mudahan mendapatkan jalan terbaik untuk pengelolaan sampah,” katanya.
Kiprah Sang Putra Daerah
Anak muda itu bernama Yudha Lesmana Pohan. Seorang pecinta alam yang ingin berkiprah serius untuk memperbaiki kampung halamannya. Sebagai putra daerah, dia ingin Marelan menjadi lebih baik. Salah satunya adalah Danau Siombak yang asri, bersih dari sampah, dan kepedulian yang tinggi untuk menjaganya dari kerusakan dan kotor. Pada Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2025, dia adalah Koordinator Aksi bersih Danau Siombak. Banyak pihak yang terlibat. Walikota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas.
Dia menyebut aksi tersebut bukanlah seremonial melainkan seruan untuk menyelamatkan ekosistem yang kian terancam. “Danau Siombak ini sedang tidak baik-baik saja, sedang sakit, yang penyakitnya itu adalah sampah plastik dan sampah dari rumah warga di sekitar yang terbawa arus Sungai Berdera. Pada saat air pasang, sungai itu masuk, airnya dan sampahnya masuk ke Danau Siombak. Ini sebenarnya danau estuaria atau danau pasang surut, yang berada di pinggiran terujung Kota Medan dekat kawasan hutan mangrove,” katanya.
Dijelaskannya, Danau Siombak memiliki peran strategis bagi masyarakat Medan Utara, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan. Namun, kondisi lingkungan yang tercemar menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Banyaknya sampah dan aroa tidak sedap, menurutnya sangat tidak baik bagi kesehatan masyarakat sekitar. Dia meyebut sampah-sampah ini juga menjadi sebuah ekosistem baru yang dihinggapi ikan-ikan yang setiap harinya masyarakat konsumsi bahkan dijual ke Kota Medan.
Dia mengapresiasi langkah Kecamatan Medan Marelan yang melakukan aksi Main ke Danau Siombak. Namun langkah itu harus diseriusi dan diperbesar jangkauannya agar dampaknya juga semakin signifikan. “Hari ini negara hadir, mulai dari pimpinan kecamatan melakukan aksi walaupun kecil. Apakah ini berdampak? Berdampak secara besar mungkin tidak, tapi secara emosional ini membangun ekosistem peduli terhadap Danau Siombak,” ujarnya.
Yudha Lesmana Pohan, seorang pecinta alam yang ingin berkiprah serius untuk memperbaiki kampung halamannya. Sebagai putra daerah, dia ingin Marelan menjadi lebih baik. Salah satunya adalah Danau Siombak yang asri, bersih dari sampah, dan kepedulian yang tinggi untuk menjaganya dari kerusakan.
Yudha mendorong agar penanganan sampah Kota Medan dilakukan secara terintegrasi melalui pembangunan infrastruktur penahan sampah di pintu masuk danau. Dikatakannya, jika dikelola dengan baik, Danau Siombak dapat menjadi destinasi ekowisata baru di Kota Medan yang menggabungkan aspek lingkungan, ekonomi, dan edukasi. Dia mengajak semua pihak – pemerintah, akademisi, pengusaha, hingga masyarakat – untuk bersama-sama melakukan pembenahan menyeluruh terhadap Danau Siombak. Ia menekankan perlunya pengadaan kapal pengangkut sampah (trash collector) dan teknologi pengelolaan yang tepat.
Danau Siombak Sakit, Medan juga Sakit
“Kita ingin kota Medan memiliki itu. Ini solusi nyata bahwa peran pemerintah ada di sini. Jangan hanya menjadikan Danau Siombak sebagai tempat main-main atau sekadar topeng, tapi ayo kita bergerak. Kalau orang tidak peduli dengan Danau Siombak, artinya Kota Medan sakit. Kalau Kota Medan sakit, Sumatera Utara sakit, Indonesia sakit, planet bumi ini sakit,” katanya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI Sumut), Ryanda Purba mengatakan, persoalan sampah Kota Medan dinilai semakin mengkhawatirkan. Angka 1.200 ton sampah setiap hari dari 21 kecamatan di Kota Medan ditumpuk di satu titik yakni TPA Terjun adalah sesuatu yang mengkhawatirkan. Kota Medan saat ini sebenarnya sudah mendekati darurat lingkungan.
“Persoalan sampah Kota Medan ini kan semakin tahun semakin payah ya, jadi udah tambah satu gunung dan masih butuh gunung yang lain lagi untuk membuat gunung sampah di Kota Medan dengan jumlah sampai 1.200 ton per hari,” ujarnya.
Dari ‘Gunung ke Gunung’
Persoalan krusialnya terletak pada tidak maksimalnya tata kelola sampah yang dilakukan Pemerintah Kota Medan. Sistem yang diterapkan masih sebatas menumpuk sampah di satu tempat dengan metode open dumping atau pembuangan terbuka yang berisiko terhadap pencemaran. “Untuk tata kelola persampahannya di Kota Medan, bagi WALHI Sumut, pemerintah Kota Medan itu belum memaksimalkan ya tata kelola sampahnya,” jelasnya.
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan lemahnya perencanaan dan minimnya infrastruktur pengelolaan untuk sebuah kota metropolitan yang belum memiliki sarana pengolahan sampah berbasis teknologi modern yang memadai. Dijelaskannya, salah satu pendekatan penting yang disarankan WALHI Sumut adalah pemilahan sampah dari sumbernya, yakni dari rumah tangga. Pihaknya bersama kelurahan dan kecamatan pernah melakukan riset selama masa pandemi COVID-19, dan hasilnya menunjukkan sistem pemilahan dari rumah sangat mungkin dilakukan.
“WALHI Sumut melakukan riset ya, di beberapa kelurahan di Kota Medan, bekerjasama dengan lurah dan kecamatan, untuk misalnya, bagaimana penerapan dari sosialisasi, kemudian praktik pemilahan sampah dari rumah,” jelasnya.
Tantangannya adalah saat sampah yang telah dipilah justru dicampur kembali oleh petugas pengangkut, dan pada akhirnya dibuang secara bersamaan ke TPA. Hal ini membuat upaya pemilahan menjadi tidak efektif dan justru merusak semangat warga yang sudah berpartisipasi.
Sejumlah pemulung di TPA Terjun, Kecamatan Medan Marelan mengais barang-barang bernilai ekonomi untuk dijual kembali
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Bukan Solusi
Mantan Direktur WALHI Sumut, Dana Prima Tarigan menegaskan, sampah masih menjadi persoalan besar di Indonesia, termasuk di Kota Medan. Masalahnya ini tidak hanya pada volume sampah yang terus meningkat, tetapi juga pada pola pikir dan strategi pengelolaan yang stagnan. Menurutnya, mindset pemerintah masih berkutat pada kumpul, angkut, buang. Menurutnya, pendekatan konvensional itu tidak lagi cukup. “Kalau ini tidak diselesaikan, kota ini akan tetap menjadi kota sampah ke depannya,” katanya.
Dana menyinggung tentang pembangkit listrik tenaga sampah yang belakangan sering dikemukakan sebagai solusi. Menurutnya, langkah tersebut justru bisa menimbulkan persoalan baru karena berpotensi mendorong produksi sampah lebih besar hanya demi memenuhi kuota pembangkit.
“Karena kita harus mengimpor sampah lain dari luar negeri atau memproduksi sampah yang lebih banyak lagi untuk memenuhi kuota dari pembangkit listrik itu sendiri. Dan harga untuk membuat pemangkit listrik itu sendiri sangat mahal. Dan hasil dari yang dihasilkan itu sangat kecil sekali listriknya. Jadi itu bukan, sama sekali bukan solusi,” ujarnya.
Bahaya lain dari penggunaan insinerator yang membakar sampah dan menghasilkan zat kimia berbahaya yang merusak unsur hara tanah serta mencemari lingkungan. Dalam pandangannya, solusi nyata justru terletak pada perubahan sistem pengelolaan dari hulu ke hilir. “Harus ada pemilahan sampah mulai dari rumah tangga, minimal ada tiga. Itu terkait sampah yang organik, anorganik, dan residu seperti popok, pembalut, dan lain-lainnya,” jelasnya.
Brand Audit dan Tanggung Jawab Produsen
Selain pemerintah dan masyarakat, pihak lain yang harus bertanggung jawab atas produksi sampah adalah perusahaan atau produsen yang memproduksi barang dengan kemasan. Produsen, menurutnya juga harus bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan. Dia mendorong dilakukannya brand audit untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang paling banyak menyumbang sampah, dan menuntut mereka untuk bertanggung jawab, baik melalui daur ulang langsung, kompensasi, atau kerja sama dengan pemerintah.
“Tidak hanya pemerintah dan tidak hanya masyarakat yang dipersalahkan. Tapi juga produsen yang menghasilkan sampah itu sendiri juga harus diminta pertanggung jawaban,” ujarnya.
Dana menambahkan, isu ini juga perlu disuarakan dalam forum internasional seperti Konferensi Perubahan Iklim COP30 yang akan digelar di Brazil. Namun, Danaprima mengingatkan agar publik tak terlalu berharap pada forum tersebut tanpa ada komitmen nyata di tingkat nasional. “COP30 itu tidak bisa, kita tidak bisa menggantungkan harapan pada COP30, karena itu lebih kepada kampanye dan desakan politik. Tapi bagaimana paska COP30 itu, pemerintah kita itu mengambil alih atau menindaklanjutinya di tingkat lokal atau di tingkat nasional,” ungkapnya. [Dewantoro]
Reportase ini didukung oleh Ekuatorial.Com bersama Earth Journalism Network – Internews. Pertama kali terbit di ForestEarth.ID
- Deklarasi Sumba untuk keadilan ekologis: seruan dari Timur untuk membalik arah pembangunan
- Warga di Kepulauan Riau terancam relokasi karena proyek ‘berkelanjutan’
- Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup di Sumba, 20 September ditetapkasn sebagai Hari Keadilan Ekologis
- Perempuan adat semakin rentan karena RUU Masyarakat Adat mangkrak
- Sampah di Mentawai merusak keindahan dan budaya
- Industri pengolahan solusi berkelanjutan Mataram darurat sampah