Warga dari tiga desa di kaki Gunung Gede-Pangrango menggelar aksi penolakan rencana proyek PLTP Cipanas di kantor Balai Besar TNGGP.

Sedikitnya 100 warga dari tiga desa di kaki Gunung Gede-Pangrango menggelar aksi penolakan rencana proyek panas bumi dengan mendatangi kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) di Cibodas, Kabupaten Cianjur, Kamis, 17 Juli 2025 lalu. Alih-alih mendengarkan aspirasi penolakan, pengelola Balai Besar TNGGP menganggap acara tersebut sebagai kegiatan sosialisasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Cipanas.

“Pasca aksi tidak ada tindaklanjut atau kegiatan. Tapi ada beberapa kali pernyataan balai, mereka menyatakan bahwa itu dianggap sosialisasi waktu aksi. Tidak ketemu tapi dianggap sosialisasi,” terang Cece Jaelani, salah satu warga Desa Sukatani ketika dihubungi lewat telepon selulernya, Jumat, 25 Juli 2025.

Klaim sosialisasi ini terkait dengan adanya beberapa petani yang masuk ke ruangan di Balai Besar TNGGP karena ditarik oleh pejabat desa untuk ikut pertemuan.

“Malah yang masuk itu juga yang tidak menerima undangan,” kata Cece seraya menguraikan aksi massa yang diikuti hingga 200-an warga itu adalah jawaban atas undangan yang disebarkan kepada 79 penggarap.

Sebelumnya, warga mendapatkan kabar akan ada kegiatan dari petugas Balai Besar TNGGP ke lapangan atau wilayah yang diproyeksikan jadi PLTP Cipanas pada 15 Juli 2025. Terkait kabar itu, warga menggelar aksi di Desa Sukatani dan Sindangjaya. Aksi tersebut merespon isi undangan yang di dalamnya menyatakan bakal ada kegiatan verifikasi lapangan sebagai tahapan penanganan area terbangun di area konservasi TNGGP. Apabila warga tidak hadir tanpa informasi bakal dinyatakan lahan tanpa penggarap.

Dalam aksi ini, masyarakat menyatakan penolakan PLTP Cipanas dan meminta kepala desa menyampaikannya ke Balai Besar TNGGP. “Kepala Desa Sukatani juga menyatakan dirinya baru mengetahui setelah masyarakat mendatanginya. Karena tidak ada koordinasi, mereka menolak semua kegiatan,” kata Cece.

Pasca aksi ke dua kantor desa itu, Balai Besar TNGGP menyebarkan undangan pada 16 Juli 2025 untuk kegiatan “Pemutakhiran Data Penggarap dan Orientasi Batas Area Kerja Eksplorasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemanfaatan Panas Bumi di TNGGP Seluas 5,46 Hektare” pada 17 Juli 2025. Surat itu ditandatangani Kepala Balai Besar TNGGP, Arief Mahmud.

Warga merespon surat terakhir itu dengan aksi ke kantor Balai besar TNGGP yang berakhir diklaim sebagai kegiatan sosialisasi.

Kementerian ESDM menetapkan kawasan tersebut sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 2778 K/30/MEM/2014 dengan wilayah mencakup Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Cianjur. Luas wilayahnya mencakup area 92.790 hektare dengan luas hutan produksi seluas 9.459 hektare, hutan produksi terbatas seluas 1.826 hektare, dan hutan konservasi seluas 25.380 hektare.

Untuk pelaksanaannya, pemerintah melalui Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyetujui Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) kepada PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) pada 15 Juni 2022 yang berlaku selama tiga tahun.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan sumber daya panas bumi yang tersedia di wilayah PSPE Cipanas sebesar 85 megaWatt (mW), dengan rencana operasi komersial proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Cipanas sebesar 55 mW pada tahun 2030. Dengan asumsi satu rumah terpasang listrik 900 Watt, maka PLTP Cipanas diperkirakan dapat menjadi sumber listrik bagi kurang lebih 61 ribu rumah.

Project Manager PT DMGP, Yunis Latif mengungkapkan, nilai investasi proyek tersebut bisa mencapai sedikitnya 135 juta dolar AS. Tahapan awal valuasi investasi bakal masuk Kabupaten Cianjur dihitung berdasarkan kapasitas listriknya. Nilai tersebut dihitung berdasarkan modal untuk setiap 1 mW memerlukan investasi 4,5 juta dolar AS.

Cece menyatakan masyarakat tidak menolak pembangunan. Aksi-aksi penolakan terkait ketidakjelasan proses pembangunan. “Pembangunan seperti apa yang akan melestarikan hutan, air tetap aman karena perlu air besar juga. Kalau dipaksakan (pembangunan pembangkit) energi ini, ada beda persepsi. Buat kita energi itu ya pangan,” terang Cece.

Dia menguraikan, air-air yang mengalir dari Gunung Gede-Pangrango mengalir tidak hanya ke wilayah Cianjur, melainkan juga Bogor, Sukabumi di Provinsi Jawa Barat namun hingga Provinsi Banten. Gunung Gede-Pangrango merupakan sumber mata air bagi empat Daerah Aliran Sungai (DAS) di tiga provinsi, masing-masing Citarum, Cimandiri, Cisadane serta Ciliwung.

Setidaknya ada 94 titik mata air yang tersebar di kawasan TNGGP dengan debit air mencapai 594,6 miliar liter per tahun atau setara 191,1 juta liter per detik yang mampu menyangga kebutuhan air bersih untuk sekitar 30 juta manusia.

Warga lainnya, Soenarjo Sugiarto menyatakan, panas bumi bakal merusak warisan leluhur, ekosistem hutan, bentang air, serta meracuni udara. ““Saya bukan penggarap lahan. Tidak punya tanah garapan. Saya datang ke sini dan menolak geotermal karena mengancam ruang hidup saya,” kata Aryo, sapaan akrab Soenarjo.

Pendamping hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Andi Daffa menyatakan, warga menolak pembangunan tersebut tanpa syarat. Masalahnya bukan sebatas lahan yang akan jadi tempat eksplorasi dan eksploitasi panas bumi.

“Semua pemukim di sana bisa terdampak perihal air, kegempaan, kualitas udara. Belum lagi pembangunannya yang memerlukan akses jalan di Desa Cipendana, warga akan tergusur semua,” kata Andi.

Cece menyatakan, dirinya sudah mendatangi beberapa lokasi PLTP lain seperti Dieng, Kamojang, Mata Loko, hingga Pocok Leok. Dia berkesimpulan, ada dampak yang merugikan masyarakat di wilayah proyek panas bumi.

“Ini yang saya lihat di Mata Loko dibor tahun 1980-an ada enam titik bor dan itu gagal semua, mengakibatkan keluar lumpur sampai sekarang. Malah ada kawah-kawah baru di dekat warga, tidak bisa dihuni kawasannya. Ini kan yang kita pertanyakan itu, sebagai masyarakat bukan anti pembangunan,” tutur Cece.

Permohonan wawancara Ekuatorial kepada pihak Balai Besar TNGGP tidak mendapatkan respon. “Belum ada statement terkait hal ini,” kata juru bicara Balai Besar TNGGP, Agus Deni lewat pesan singkatnya. 

About the writer

Adi Marsiela

Adi has been working as a journalist since 2003. He started at Suara Pembaruan daily until it closed in 2021. He's been writing and taking photos for The Jakarta Post and several other news agencies. Currently...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses