Menjelang COP 30, orang muda Indonesia menyatukan suara dalam 5 tuntutan mendesak. Dari partisipasi bermakna hingga keadilan iklim
Krisis iklim bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan pahit hari ini. Di tengah meningkatnya polusi dan cuaca ekstrem, orang muda Indonesia menolak untuk diam. Mereka menuntut aksi nyata dan mandat yang jelas untuk masa depan bumi yang lebih bersih dan adil.
“Kualitas bumi yang kita tinggali sekarang sudah berbeda dari yang ditinggali generasi orang tua kita. Kita hidup di bumi yang panasnya sudah naik lebih dari satu derajat Celsius,” ujar Ginanjar Ariyasuta, Koordinator Climate Rangers (CR). “Kita punya tanggung jawab untuk mencegah kenaikan itu tidak terulang, agar generasi berikutnya tidak menghirup udara kotor.”
Sebagai wadah aspirasi, Climate Rangers Indonesia (CRI) menggelar Local Conference of Children and Youth Indonesia 2025 pada 25 Agustus lalu. Forum ini melahirkan National Children and Youth Statement 2025, sebuah deklarasi berisi lima tuntutan krusial yang akan dibawa ke forum iklim global COP 30 di Brasil serta menjadi landasan advokasi kebijakan nasional.
Berikut adalah lima tuntutan mendesak dari orang muda Indonesia.
1. Libatkan anak muda secara bermakna, bukan sekadar simbol
Partisipasi anak muda dalam proses kebijakan sering kali hanya sebatas formalitas. Lungli Rewardny Supit (16), Ketua Forum Anak Sulawesi Utara, menggambarkannya sebagai “stiker di atas cat”.
“Wajah kami terpampang jelas, namun suara kami tidak pernah didengar. Tanda tangan kami ada pada berkas, tapi cita-cita kami tidak pernah masuk di dalam berkas itu,” tegas Lungli.
Ginanjar menambahkan bahwa partisipasi yang bermakna berarti melibatkan orang muda dari tahap perencanaan, konsultasi, hingga evaluasi. Selama ini, keterlibatan mereka masih bersifat tokenisme—hanya menjadi penonton atau materi konten media sosial.
Gispa Ferdinanda, Research Manager Sa Perempuan Papua, mendorong anak muda untuk proaktif. “Kita harus mau jemput bola. Kenyataannya, keterlibatan orang muda selama ini hanya datang, duduk, dan lihat. Tidak mendapatkan yang lebih.”
2. Ciptakan kebijakan yang berkeadilan iklim
Kebijakan iklim tidak boleh hanya fokus pada penurunan emisi, tetapi juga harus adil bagi semua kelompok masyarakat, terutama yang paling rentan.
“Ada sejumlah kelompok yang lebih terdampak oleh krisis iklim, seperti kelompok disabilitas yang belum punya infrastruktur evakuasi bencana yang akomodatif, atau kelompok nelayan yang terdampak kenaikan permukaan air laut,” jelas Ginanjar.
Bagi Gispa, pengesahan RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat menjadi kunci. Kebijakan ini akan memberikan legalitas bagi masyarakat adat Papua untuk menjaga tanah, laut, dan hutan mereka. “Perjuangan keadilan iklim harus bicara soal kebijakan, karena daya ikatnya lebih kuat daripada sekadar aksi,” ujarnya.
3. Percepat transisi ke energi bersih dan terbarukan
Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan adalah sebuah urgensi yang tidak bisa ditawar. Ginanjar menegaskan, pemerintah tidak boleh lagi menunda.
“Pembangunan infrastruktur energi terbarukan harus dimulai sekarang. Bukan saatnya lagi membangun PLTU baru,” katanya. Ia membandingkan Indonesia dengan Vietnam yang dinilainya lebih progresif dalam pengembangan energi terbarukan. “Kalau mereka bisa, seharusnya kita juga bisa.”
Gispa menyoroti potensi besar Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Papua. Dengan sinar matahari yang melimpah, PLTS tidak hanya mengurangi ketergantungan pada PLN, tetapi juga dapat mengalihkan biaya listrik rumah tangga untuk kebutuhan lain. Ini adalah solusi yang sering luput dari perhatian pemerintah.
4. Hentikan pendanaan untuk proyek perusak lingkungan
Ironisnya, dana pemerintah masih mengalir deras ke proyek-proyek energi kotor berbasis batu bara. Ginanjar menuntut agar dana tersebut dialihkan untuk mendukung solusi energi bersih yang berbasis komunitas.
Ia mencontohkan keberhasilan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Kulonprogo dan Kasepuhan Cipta Gelar di Sukabumi, di mana masyarakat lokal memproduksi, mengelola, dan mendistribusikan energi secara mandiri.
“Dengan begitu, mereka bisa membangun ownership dari energi terbarukan. Energi yang tadinya dikuasai elite secara terpusat, kini bisa dikelola oleh masyarakat,” terang Ginanjar.
5. Beri ruang dan fasilitasi solusi dari anak muda
Orang muda memiliki banyak ide, tetapi sering kali terhalang oleh ketiadaan akses dan wadah. Mereka mengalami mental block karena merasa suara mereka tidak akan didengar.
“Kita perlu kelembagaan iklim, seperti Youth Climate Council, di mana orang muda diberi anggaran untuk menentukan dan menjalankan proyeknya sendiri. Yang harus ada adalah jalurnya terlebih dahulu, bukan solusinya,” usul Ginanjar.
Lungli memberikan contoh konkret masalah di daerahnya: pembangunan masif di pesisir pantai yang merusak ekosistem laut. “Kenapa bukan hutannya yang dilestarikan untuk jadi tempat wisata? Kenapa laut harus digusur? Banyak hal dari alam yang bisa kita manfaatkan dengan bijak,” tanyanya.
Selain itu, Ginanjar juga mendorong agar pendidikan iklim dimasukkan ke dalam kurikulum nasional untuk membentuk generasi yang lebih sadar dan siap menghadapi tantangan krisis iklim.
Kelima tuntutan ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah mandat yang jelas dari generasi yang akan mewarisi bumi. Suara mereka kini menuntut untuk didengar dan, yang lebih penting, direalisasikan dalam setiap kebijakan yang diambil.
- 5 tuntutan anak muda untuk keadilan iklim menuju COP 30
- Menjawab Krisis Ruang Buang di Sulut, TPA Mamitarang di Ilo-Ilo Solusi Regional
- TBC dan malnutrisi mengancam anak-anak, berkaca dari kasus kematian Raya di Sukabumi
- Hutan Sipora yang semakin sunyi
- Di balik janji “pertambangan bertanggung jawab”: Ujian bagi Eramet di Indonesia
- Orang muda dan masyarakat adat menanam mangrove, benteng alami dari bahaya krisis iklim