Kasus balita bernama Raya dari Sukabumi menyoroti pentingnya kewaspadaan terhadap TBC dan malnutrisi.

Ilustrasi cacing. (Kemenkes RI)
Ilustrasi cacing. (Kemenkes RI)

Kasus TBC mesti menjadi kewaspadaan semua pihak, termasuk anak-anak. Masih ingat kasus meninggalnya balita bernama Raya, asal Sukabumi? Dari tubuh balita ini ditemukan banyak cacing. Sementara penyebab meninggalnya karena malnutrisi, stunting, dan meningitis TBC.

Diketahui, seorang balita bernama Raya meninggal dunia di RSUD Syamsudin Sukabumi setelah menjalani perawatan intensif selama sembilan hari sejak 13 Juli 2025. Pasien datang ke instalasi gawat darurat (IGD) dalam kondisi penurunan kesadaran dan didiagnosis sepsis atau infeksi berat yang diperburuk dengan malnutrisi, stunting, dan meningitis TBC.

Agnes Kurniawan, Ketua Kolegium Parasitologi Klinik, menegaskan kematian pasien tidak disebabkan oleh cacing gelang (ascaris lumbricoides), melainkan oleh kondisi medis berat yang sudah diderita sebelumnya.

“Penyebab kematian bukan cacing. Pasien sudah masuk rumah sakit dalam kondisi kesadaran menurun. Albendazole tidak langsung membunuh cacing, tetapi memicu migrasi keluar tubuh. Hasil pemeriksaan foto abdomen tidak menunjukkan adanya obstruksi atau sumbatan pada usus yang dapat menyebabkan peritonitis (radang selaput usus),” jelas Agens, dalam keterangan resmi, diakses Kamis 26 Agustus 2025.

Hal senada disampaikan Anggraini, dokter spesialis anak yang mengatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan, ditemukan adanya infeksi di susunan saraf pusat dan sepsis. Ditambahkan pula bahwa cacing dewasa tidak masuk ke otak, paru dan jantung karena ukurannya yang besar.

“Larva cacing gelang memang memiliki siklus hidup melalui pembuluh darah dan saluran napas yang kadang menyebabkan gangguan nafas, namun tidak menyebabkan kematian,” jelasnya.

Sianne, selaku dokter yang menangani Raya menjelaskan bahwa saat tiba di IGD, pasien sudah tidak sadar dan berdasarkan anamnesis, telah mengalami demam tinggi serta penurunan kesadaran sejak satu hari sebelumnya.

“Pasien pertama kali datang ke rumah sakit sudah mengalami penurunan kesadaran, dan demam serta batuk sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat medis menunjukkan pasien telah menjalani pengobatan yang tidak jelas ke mana lebih dari sepuluh kali dalam tiga bulan terakhir oleh karena demam dan batuk,” ujar Sianne.

Selama perawatan tim medis menemukan cacing gelang dewasa. Hasil pemeriksaan radiologi toraks menunjukkan adanya TBC paru aktif dan pneumonia, sementara radiologi abdomen memperlihatkan cacing dalam jumlah banyak tanpa tanda sumbatan. CT scan kepala juga mengonfirmasi adanya radang selaput otak/meningitis.

Penanganan dilakukan secara menyeluruh, meliputi terapi anti-TB, antibiotik, koreksi elektrolit, pemberian obat-obatan untuk mempertahankan tekanan darah dan denyut jantung, serta pemberian obat cacing albendazole. Setelah terapi albendazole, pasien mengeluarkan cacing dalam jumlah banyak melalui buang air besar selama beberapa hari.

Pasien meninggal dunia pada hari kesembilan perawatan, Senin (21/7/2025) pukul 14.24 WIB. Menurut Sianne, diagnosis kematian langsung adalah sepsis, dengan penyebab antara malnutrisi berat kwashiorkor dan stunting, serta penyebab dasar meningitis TB stadium 3.

Terkait isu di media bahwa cacing yang keluar mencapai 1 kg, dr. Sianne meluruskan bahwa rumah sakit tidak pernah menimbang cacing tersebut.

“Kami tidak melakukan penimbangan karena keluarnya cacing berlangsung bertahap selama beberapa hari,” tegasnya.

Kronologi Kematian Raya

Kematian tragis menimpa seorang balita berusia empat tahun asal Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dalam kondisi tubuh yang dipenuhi cacing parasit. Balita bernama Raya meninggal dunia pada 22 Juli 2025 di RSUD R. Syamsudin (Bunut).

Selama menjalani perawatan, banyak cacing yang keluar dari tubuh Raya. Sebelumnya, Raya tinggal di rumah panggung dengan kolong yang menjadi area bermainnya, dikelilingi ayam dan kotoran. Ia diasuh oleh orang tua dengan kondisi kesehatan yang terbatas—sang ibu adalah penyandang gangguan jiwa (ODGJ) dan sang ayah mengidap TBC. Minimnya pengasuhan membuat kondisi Raya luput dari perhatian lebih awal.

Hambatan Administratif dan Peran Relawan

Keluarga Raya tidak memiliki dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga maupun BPJS. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan secara layak.

Relawan dari Rumah Teduh berperan penting dalam penanganan kasus ini. Mereka menjemput Raya menggunakan ambulans, membantu proses administrasi rumah sakit, dan menanggung tagihan pengobatan yang mencapai sekitar Rp 23 juta.

Pemerintah Desa Cianaga sebelumnya telah memberikan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan distribusi obat cacing secara rutin setiap enam bulan. Namun, penanganan lanjutan kerap terhambat oleh kurangnya persetujuan dari orang tua dan lemahnya pola asuh dalam keluarga.

Respons Pemerintah dan Tindakan Sanksi

Ketua Komisi VIII DPR RI mengecam kelalaian pemerintah daerah serta lingkungan sekitar yang tidak sigap, meskipun kondisi Raya telah menjadi perhatian posyandu setempat.

Gubernur Jawa Barat menyatakan keprihatinan dan kekecewaan atas kejadian tersebut. Ia menunda pencairan dana desa Cianaga dan mempertimbangkan sanksi terhadap aparat desa karena dianggap gagal menjalankan fungsi pelayanan dasar, termasuk PKK, posyandu, dan bidan desa.

Kematian Raya menyoroti berbagai isu mendasar yang saling berkaitan:

Ketimpangan sosial dan lingkungan sanitasi menjadi faktor utama dalam buruknya kondisi kesehatan anak di daerah.

Keterlambatan deteksi dini pada infeksi parasit menyebabkan komplikasi serius hingga kematian.

Ketiadaan dokumen identitas seperti KK dan BPJS menghambat akses terhadap layanan kesehatan.

Kebutuhan perhatian khusus bagi anak-anak dalam keluarga dengan orang tua berkebutuhan khusus.

Tragedi yang menimpa Raya menjadi pengingat penting atas lemahnya sistem perlindungan anak di sejumlah daerah. Kasus ini tidak hanya soal infeksi parasit, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemis—dari keluarga, lingkungan, hingga pemerintah—dalam melindungi anak-anak rentan.

Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem layanan kesehatan, administrasi kependudukan, dan program pemberdayaan keluarga, agar kasus serupa tidak kembali terulang di masa mendatang.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses