Kunjungan Universitas Airlangga ke ekowisata mangrove sebagai upaya mengatasi krisis iklim dengan konservasi ekosistem pesisir.

Upaya konservasi ekosistem pesisir semakin mendapat perhatian sebagai strategi adaptif menghadapi krisis iklim. Di Surabaya, Universitas Airlangga (UNAIR) bersama Nanyang Polytechnic, Singapura, menggelar kunjungan ke kawasan ekowisata mangrove pada 3 September 2025. Kegiatan ini memperkenalkan praktik pelestarian mangrove yang telah lama menjadi bagian dari perlindungan alami kota pesisir terhadap abrasi, naiknya permukaan air laut, dan badai iklim ekstrem.

Delegasi mahasiswa dari kedua institusi turut serta dalam penanaman mangrove dan aksi bersih pantai. Kunjungan ini tidak hanya memperkuat jejaring akademik internasional, tetapi juga menunjukkan pentingnya solusi berbasis alam dalam pendidikan dan pengabdian masyarakat.

Eko Prasetyo, Koordinator Program Studi Teknik Lingkungan UNAIR, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi dan upaya memperkenalkan biodiversitas pesisir Surabaya.

“Kegiatan ini juga memperkuat hubungan kerjasama, memperkenalkan mahasiswa luar tentang kekayaan biodiversitas mangrove di surabaya. Kami juga mengenalkan upaya yang berjalan di surabaya untuk melestarikan mangrove yang berguna bagi kehidupan,” ujar Eko, diakses dari laman resmi, Minggu, 7 September 2025.

Konservasi mangrove bukan hanya proyek lokal. Di ujung timur Indonesia, masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, juga menjadi garda depan penjaga hutan mangrove. Mereka berhasil menolak proyek kredit karbon yang mengancam kawasan mangrove seluas hampir 600.000 hektare.

Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI, dalam tulisannya menyatakan, atas integritasnya masyarakat adat Kepulauan Aru mendapat penghargaan internasional dari Right Resources International (RRI). Ini menjadi pengingat bahwa konservasi berbasis komunitas adalah pilar utama dalam ketahanan iklim nasional.

Ancaman di Balik Pasar Karbon: Ketika Solusi Menjadi Masalah

Di balik narasi penurunan emisi, proyek-proyek karbon berbasis hutan seperti REDD+ menyisakan catatan panjang pelanggaran hak masyarakat adat. Kasus di Aru menyingkap celah regulasi: proyek dijalankan tanpa persetujuan penuh dari masyarakat, meminggirkan pengelola lokal dari tanah leluhur mereka.

Menurut Muhamad Burhanudin, Peraturan Presiden No. 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) telah menjadi dasar hukum proyek karbon di Indonesia. Namun, regulasi ini belum memiliki sistem safeguard yang kuat. Tanpa perlindungan sosial, lingkungan, dan hukum yang jelas, proyek karbon rentan dimanipulasi melalui praktik greenwashing, karbon fiktif, hingga pelanggaran FPIC (Free, Prior, and Informed Consent).

Kasus serupa terjadi secara global. Di Brasil, proyek REDD+ di Pará dihentikan karena 94,9 juta kredit karbon yang dijual ternyata hanya 5,5 juta yang sah mewakili penurunan emisi. Proyek itu juga mencaplok tanah adat tanpa kompensasi yang adil.

Lemahnya pengakuan atas wilayah adat memperparah situasi. Dari potensi 4,3 juta hektare hutan adat di Indonesia, baru 332.505 hektare yang resmi diakui pemerintah. Sisanya berada dalam status rawan, membuka jalan bagi konsesi berbaju hijau yang merugikan komunitas lokal.

“Artinya, sebagian besar wilayah adat di negeri ini masih rawan “dicaplok” oleh proyek hijau yang meniru narasi karbon,” tulis Muhamad Burhanudin, dalam tulisan Membangun Beleid Iklim yang Berkeadilan.

Mendorong Keadilan Iklim Lewat Kebijakan yang Berpihak

Krisis iklim tidak menyerang semua orang secara setara. Nelayan, petani kecil, perempuan, dan masyarakat adat adalah kelompok paling terdampak, padahal kontribusi mereka terhadap emisi global sangat kecil. Ketika laut menghangat dan gagal panen terjadi, mereka yang pertama kali merasakan dampaknya. Namun, kebijakan iklim di Indonesia masih condong ke mitigasi — menurunkan emisi — dan mengabaikan aspek adaptasi.

Restorasi mangrove adalah contoh adaptasi yang efektif. Berbeda dengan proyek karbon berskala besar yang rawan konflik lahan, upaya penanaman dan pemeliharaan mangrove melibatkan komunitas lokal secara langsung dan memperkuat perlindungan wilayah pesisir.

Namun, dukungan kebijakan masih kurang. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim yang sedang dibahas di DPR dan DPD menjadi peluang penting untuk membenahi arah kebijakan. RUU ini harus menjadi payung hukum perlindungan hak masyarakat adat, jaminan partisipasi publik, distribusi manfaat yang adil, serta sistem pengawasan independen. Prinsip keadilan iklim harus ditegaskan, agar tidak ada lagi komunitas yang berjuang sendirian mempertahankan ruang hidupnya dari ekspansi atas nama karbon.

Krisis iklim tidak bisa diselesaikan dengan proyek-proyek besar yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia harus dijawab dengan keberpihakan yang nyata kepada penjaga bumi sesungguhnya — dari hutan mangrove Surabaya hingga pesisir Aru. Mereka tidak menuntut imbalan besar, hanya perlindungan, pengakuan, dan ruang untuk terus merawat alam.

“Kita harus belajar dari kepulauan Aru. Dari masyarakat adat yang tetap teguh mempertahankan hutan mangrove. Dari petani yang menjaga benih lokal agar bisa bertahan di musim kering. Dari nelayan yang menanam kembali padang lamun untuk perlindungan pantai,” ungkap Muhamad Burhanudin.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses