Keberhasilan COP30 akan diukur dari tiga hal: kemajuan adaptasi, perlindungan alam, dan percepatan implementasi aksi iklim
Brasil akan menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) pada 10–21 November 2025 di Belém, sebuah kota di jantung Amazon. Ini adalah pertama kalinya pertemuan tahunan iklim dunia digelar di kawasan hutan tropis terbesar di dunia — simbol kuat dari tekad menempatkan alam, masyarakat adat, dan negara-negara Selatan global di pusat diplomasi iklim.
Dalam wawancara dengan Dialogue Earth, Ana Toni, CEO COP30 sekaligus Sekretaris Nasional Perubahan Iklim Brasil, mengatakan bahwa dunia membutuhkan strategi yang lebih baik untuk keluar dari ketergantungan energi fosil.
“Semua negara sudah sepakat untuk beralih dari bahan bakar fosil. Tapi kita masih sangat bergantung pada konsumsi dan pendapatan dari sektor ini. Kita butuh strategi transisi yang lebih adil dan efektif,” ujar Toni.
Pernyataan Toni menanggapi komentar Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, yang menyebut Brasil akan terus memproduksi minyak selama permintaan global masih tinggi. Menurut Toni, transisi energi harus dilakukan secara bertahap dan dirancang dalam kontribusi nasional (NDC) tiap negara.
Fokus COP30: adaptasi, alam, dan pendanaan
Menurut Toni, keberhasilan COP30 akan diukur dari tiga hal: kemajuan adaptasi, perlindungan alam, dan percepatan implementasi aksi iklim. “Adaptasi adalah prioritas bagi negara-negara Selatan. Kita perlu kemajuan nyata dalam pendanaan, transfer teknologi, dan solusi berbasis alam,” katanya.
COP30 juga akan menyoroti upaya memenuhi komitmen pendanaan iklim sebesar USD 300 miliar per tahun dari negara maju untuk negara berkembang, yang disepakati pada COP29. Jika digabungkan dengan pendanaan swasta, totalnya diharapkan mencapai USD 1,3 triliun per tahun hingga 2035.
Namun Toni menilai sinyal dari negara donor belum menggembirakan. “Banyak negara justru memotong anggaran bantuan dan menaikkan belanja militer. Tantangannya sekarang adalah memastikan dana yang dijanjikan benar-benar disalurkan,” ujarnya.
Dari Amazon untuk dunia
Keputusan menggelar COP di Belém sempat menuai kritik karena keterbatasan infrastruktur dan akses. Tapi Toni menegaskan bahwa pemilihan lokasi di Amazon punya makna simbolis yang kuat. “Sebagian besar emisi Brasil berasal dari deforestasi, dan kami tidak ingin menutupinya. COP harus berlangsung di tempat yang menghadapi tantangan sekaligus menyimpan solusi,” jelasnya.
Toni juga berharap COP30 dapat memperkuat kerja sama global di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat. “Perang dan konflik ekonomi membuat dunia kehilangan fokus, tapi kita harus tetap menjaga semangat multilateralisme. Tidak ada solusi tanpa kebersamaan,” tegasnya.
COP30 di Belém diharapkan bukan sekadar ajang diplomasi, tapi momentum nyata mempercepat transisi menuju dunia yang lebih hijau dan adil. “Kita sudah tahu arah yang harus diambil,” kata Toni. “Sekarang saatnya bergerak — lebih cepat, lebih berani, dan tidak meninggalkan siapa pun.” [Fermin Koop]
Artikel ini pertama kali terbit di Dialogue.Earth dengan judul COP30 CEO: ‘We need a better strategy to transition away from fossil fuels’
- Hadapi tiga krisis planet, suara pemuda Indonesia menggema di Abu Dhabi
- COP30 di Amazon: Dunia butuh strategi lebih baik untuk lepas dari energi osil
- Kasus radiasi Cs-137 di Cikande: kronologi, bahaya, dampak, dan tindakan yang harus dilakukan
- MBG dan keracunan massal yang berulang, keamanan pangan harus diutamakan
- 45 tahun perjuangan WALHI, denyut nadi keadilan untuk bumi pertiwi
- Kemitraan global menjawab konflik gajah dan manusia di Sumatera Selatan