Gugatan FICMA dinilai membungkam partisipasi publik untuk memperoleh informasi bahaya asbes bagi kesehatan masyarakat.

Kasus gugatan antara Asosiasi Manufaktur Asbes (FICMA) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi menjadi sorotan luas, baik di dalam negeri maupun internasional. Sejumlah lembaga riset, serikat buruh, dan organisasi kesehatan publik dunia menilai gugatan ini sebagai strategic lawsuit against public participation (SLAPP), gugatan strategis untuk membungkam partisipasi publik. Di sisi lain, kesehatan masyarakat dan pekerja dipertaruhkan karena menghadapi bahaya paparan asbes.
Gugatan tersebut muncul setelah para aktivis dan lembaga aktif mengadvokasi bahaya paparan asbes krisotil, jenis asbes putih yang masih digunakan di industri bahan bangunan Indonesia. Persoalan bermula dari putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia tahun 2024 yang memenangkan gugatan LPKSM Yasa Nata Budi dalam perkara judicial review terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021. Putusan itu mewajibkan label peringatan kesehatan berbahasa Indonesia pada seluruh produk yang mengandung asbes yang dijual di Indonesia.
Keputusan MA dinilai penting karena memberikan perlindungan bagi konsumen dan pekerja terhadap bahaya asbes krisotil, bahan yang telah lama diakui sebagai penyebab kanker paru-paru, mesotelioma, dan penyakit mematikan lainnya. Keputusan ini juga banyak menuai pujian sebagai kemajuan penting untuk melindungi hak konsumen mengetahui risiko terhadap kesehatan.
Namun, pada April 2024, FICMA menanggapi putusan tersebut dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu ditujukan kepada Leo Yoga Pranata, Ajat Sudrajat, Dhicci Sandewa, serta LPKSM Yasa Nata Budi dan pihak lainnya.
FICMA menilai putusan Mahkamah Agung menimbulkan potensi kerugian ekonomi hingga Rp 7,9 triliun, karena kewajiban label peringatan dianggap mengganggu kepentingan industri asbes. Dalam gugatannya, FICMA juga mengklaim adanya kesalahan hakim agung karena tidak menyertakan UU Nomor 10 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Konvensi Rotterdam sebagai dasar hukum dalam judicial review yang diajukan LPKSM.
Selain itu, FICMA menuntut ganti rugi sebesar Rp 790 miliar terhadap LPKSM Yasa Nata Budi. Tindakan ini dinilai berbagai pihak sebagai langkah hukum berlebihan yang bertujuan membungkam advokasi publik terkait bahaya asbes.
Sahabat Pengadilan dari Forum Internasional
Gugatan FICMA memicu gelombang kecaman dari berbagai organisasi buruh, lembaga riset, dan forum internasional yang menyerahkan pernyataan Amicus Curiae ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menyebut gugatan FICMA sebagai bentuk penyalahgunaan proses hukum untuk menekan advokasi publik.
“Taktik SLAPP telah lama digunakan industri besar untuk membungkam serikat buruh dan organisasi kesehatan publik. Kini taktik itu dipakai industri asbes untuk menghambat regulasi dan membungkam advokat kesehatan konsumen,” tulis Australian Council of Trade Unions (ACTU) dalam pernyataan remi Amicus Curiae yang ditandatangani Liam O’Brien,
Sekretaris Asisten Australian Council of Trade Unions (ACTU), diakses Minggu ().
Mereka mendesak pengadilan menolak gugatan tersebut demi melindungi hak pekerja dan masyarakat memperoleh informasi tentang bahaya asbes.
Gelombang dukungan terhadap para tergugat datang dari berbagai belahan dunia. Sedikitnya sepuluh organisasi internasional, termasuk German Trade Union Confederation, Global Asbestos Forum, Building and Wood Workers’ International (BWI), dan Union Aid Abroad–APHEDA, menyerahkan dokumen Amicus Curiae yang intinya menyatakan solidaritas terhadap perjuangan aktivis Indonesia.
Dari Jerman, Konfederasi Serikat Buruh Jerman menegaskan bahwa asbes, termasuk krisotil, telah lama dilarang di negaranya sejak 1993 dan di Uni Eropa sejak 2005. Larangan ini didasarkan pada konsensus ilmiah yang luas. Namun, karena asbes telah digunakan selama beberapa dekade dalam industri konstruksi, para pekerja masih terpapar ketika merenovasi atau merobohkan bangunan lama. Hal ini menimbulkan beban besar.
“Pada tahun 2024 saja, sebanyak 1.226 pekerja di Jerman meninggal akibat penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan asbes. Pekerja membutuhkan perlindungan yang lebih baik,
bukan paparan yang lebih besar,” tulis Markus Hofmann, Direktur Kebijakan Sosial DGB.
Presiden Global Asbestos Forum, Dr. Yvonne Waterman, menyampaikan bahwa satu-satunya alasan gugatan ini muncul adalah untuk menakut-nakuti dan memiskinkan aktivis yang telah bertindak demi kepentingan masyarakat. Ia menilai, publik memiliki hak untuk hidup sehat, sementara produsen asbes tidak memiliki hak untuk membahayakan orang lain atau menyembunyikan fakta bahaya dari publik.
“Para aktivis telah bertindak dengan terpuji demi kepentingan terbaik kesehatan dan lingkungan masyarakat Indonesia, dan oleh karenanya berhak mendapatkan perlindungan dari pengadilan terhadap pihak-pihak yang ingin membungkam suara mereka,” tulis Presiden Global Asbestos Forum, Dr. Yvonne Waterman.
Lembaga BWI Asia Pasifik juga menyebut langkah FICMA sebagai bentuk intimidasi hukum yang melemahkan perjuangan advokasi kesehatan. Mereka menilai, gugatan itu digunakan untuk menentang putusan Mahkamah Agung yang sah dan mengacaukan kepercayaan publik terhadap kebijakan perlindungan kesehatan kerja.
BWI mendesak pengadilan menjunjung tinggi kepentingan publik dan menolak gugatan FICMA demi menjaga kesehatan, ilmu pengetahuan, serta hak demokratis masyarakat Indonesia.
“Dengan penuh hormat, kami memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
untuk menjunjung tinggi advokasi kepentingan publik serta menolak gugatan ini demi
melindungi kesehatan, ilmu pengetahuan, dan hak-hak demokratis,” tulis Apolinar Tolentino, Perwakilan Wilayah BWI Asia Pasifik
Bukti ilmiah: krisotil berbahaya
Selain dukungan moral dan politik, para sahabat pengadilan juga menyerahkan berbagai bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa asbes krisotil adalah karsinogen berbahaya. Dokumen yang dikirim Union Aid Abroad–APHEDA memuat hasil kajian WHO, ILO, dan IARC yang secara tegas menyatakan tidak ada “penggunaan aman” untuk asbes dalam bentuk apa pun.
Menurut WHO, cara paling efektif untuk menghapus penyakit akibat asbes adalah dengan menghentikan seluruh penggunaan asbes. Paparan asbes, terutama krisotil, telah menyebabkan lebih dari 200.000 kematian setiap tahun di seluruh dunia, mewakili lebih dari 70 persen kasus kanker akibat kerja. ILO pun menegaskan, penghapusan total asbes merupakan langkah paling efektif melindungi pekerja.
APHEDA juga memaparkan bahwa klaim industri mengenai keamanan krisotil karena tidak tercantum dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam adalah tidak benar. Komite Peninjauan Kimia Konvensi itu telah merekomendasikan pencantuman krisotil sejak 2006, tetapi selama hampir dua dekade gagal karena blokade politik sejumlah kecil negara penghasil asbes.
Bukti internasional menunjukkan, mayoritas negara di dunia telah melarang penggunaan asbes. Kurang dari 15 persen negara anggota PBB masih memakai lebih dari 1.000 ton krisotil per tahun 2015, dan sebagian besar konsumsi global, lebih dari 75 persen, berasal dari Asia. Indonesia masih termasuk di dalamnya.
Selain risiko kesehatan, APHEDA menegaskan argumen “biaya murah” produk asbes tidak sebanding dengan kerugian sosial-ekonomi yang ditimbulkan, mulai dari biaya pengobatan penyakit hingga pembuangan limbah berbahaya. WHO bahkan menyatakan bahwa larangan asbes tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi negara manapun yang telah menerapkannya.
Hak atas kesehatan dan informasi
Keseluruhan isi amicus curiae memperlihatkan satu benang merah bahwa industri asbes berupaya mempertahankan keuntungan dengan menutupi bahaya krisotil, sementara jaringan masyarakat sipil menuntut transparansi, keselamatan, dan keadilan lingkungan.
Para sahabat pengadilan dari berbagai negara menyerukan agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan FICMA dan memastikan perlindungan terhadap para aktivis yang memperjuangkan kesehatan publik. Mereka menegaskan, gugatan semacam ini bukan sekadar urusan hukum, tetapi menyentuh prinsip dasar hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup sehat dan mendapatkan informasi yang benar.
“Masyarakat memiliki hak untuk hidup sehat. Produsen asbes tidak memiliki hak apa pun untuk membahayakan orang lain,” tulis Global Asbestos Forum dalam penutup suratnya. Dr. Yvonne Waterman LLM FFAAM.
Adu argumentasi saksi ahli
Sidang lanjutan gugatan ini masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu agenda sidang menghadirkan saksi ahli dari pihak penggugat (FICMA), David Bernstein, spesialis toksikologi pernapasan (inhalation toxicology), 15 September 2025.
Bernstein, berusia 78 tahun, dihadirkan untuk menjelaskan pandangan ilmiahnya mengenai asbes krisotil, bahan yang menjadi pusat sengketa hukum ini. Namun, kesaksiannya justru menimbulkan sejumlah pertanyaan dan kontradiksi, terutama ketika ia mengakui bahwa negaranya sendiri, Swiss, telah melarang seluruh penggunaan asbes.
Dalam persidangan, Bernstein memulai dengan menjelaskan bahwa asbes adalah istilah umum bagi dua kelompok mineral berbeda, yakni serpentine (chrysotile), dan amphibole (seperti amosite dan crocidolite). Menurutnya, chrysotile memiliki struktur seperti lembaran tergulung dan dapat larut dalam lingkungan asam yang terbentuk di paru-paru manusia.
Menurutnya, sel di dalam tubuh manusia bisa menciptakan lingkungan asam yang bisa mengurai atau memecah chrysotile, sehingga aman. Ia membedakan dengan jenis amphibole yang disebutnya “tidak larut dalam kondisi apapun di tubuh”.
Pernyataan itu menjadi dasar argumentasi FICMA bahwa asbes jenis chrysotile tidak berbahaya seperti jenis lainnya dan masih layak digunakan sebagai bahan bangunan.
Ia juga ditanya mengenai kemungkinan bahaya asbes jika terjadi bencana, misalnya rumah-rumah beratap asbes hancur dan seratnya beterbangan di udara. Bernstein menjawab bahwa berdasarkan penelitian di Indonesia, jumlah serat yang dilepaskan dalam kondisi semacam itu sangat kecil.
“Saya percaya profesor di Indonesia sudah melakukan pengukuran, dan hasilnya menunjukkan sangat sedikit fiber yang dikeluarkan,” ujarnya. Ia kembali menegaskan, “berdasarkan studi, chrysotile bisa digunakan secara aman.”
Namun, ketika hakim menyinggung hasil kajian lembaga-lembaga internasional yang menyatakan seluruh jenis asbes berbahaya, Bernstein menolak menanggapi lebih jauh.
“Saya tidak terlibat dalam keputusan itu. Saya hanya memaparkan hasil studi,” katanya singkat.
Sidang kemudian menyoroti Konvensi Rotterdam, yang selama ini dijadikan rujukan dalam regulasi bahan kimia berbahaya. Hakim menanyakan mengapa chrysotile tidak tercantum sebagai bahan berbahaya dalam konvensi tersebut. Bernstein menjelaskan bahwa konvensi memiliki komite review yang memutuskan secara bulat, dan “tidak pernah tercapai kesepakatan bulat untuk memasukkan chrysotile.”
Ia menambahkan, keputusan dalam Konvensi Rotterdam bersifat politik sekaligus teknis. “WHO hanya memberikan informasi kesehatan yang bersifat saran, tidak mengikat,” katanya. Menurut Bernstein, konvensi hanya menjadi mengikat bila disetujui seluruh negara anggota.
Bernstein menjelaskan Konvensi Rotterdam khusus mengatur bahan yang memerlukan persetujuan khusus antara negara pengirim dan penerima, bukan daftar bahan aman atau berbahaya.
Disinggung mengenai dasar pandangan Bernstein untuk penelitiannya, ia menjawab, “Saya adalah konsultan, saya bekerja untuk siapa saja. Tapi penelitian ini dibiayai oleh produsen chrysotile atau perusahaan by-product”.
Bernstein mengatakan setiap publikasi ilmiahnya selalu mencantumkan sponsor penelitian. Namun, pengakuan itu menimbulkan pertanyaan tentang independensi hasil kajiannya, mengingat pembiayaan berasal dari industri yang memiliki kepentingan langsung terhadap keberlangsungan penggunaan asbes.
Bernstein juga menjawab bahwa ia berasal dari Swiss, negara asalnya ini telah melarang penggunaan asbes.
Persidangan kemudian menanyakan alasan jika chrysotile benar aman, mengapa lebih dari 70 negara, termasuk Swiss, sudah melarang penggunaannya?
“Itu adalah kegagalan politik di tiap negara. Saya hanya melaporkan dari sisi sains,” Bernstein menjawab.
Bernstein juga mengaku telah mengunjungi sejumlah tambang chrysotile, termasuk di Brasil. Ia mengatakan tidak mengalami gangguan pernapasan ataupun kanker paru-paru setelah kunjungan tersebut.
“Saya pernah disarankan memakai masker, tapi saya bilang tidak perlu. Sampai sekarang saya tidak punya penyakit paru-paru,” katanya.
Ketika ditanya lebih lanjut apakah ia mengalami gangguan pernapasan lain, Bernstein menjawab, “Tidak.”
Keterangan medis berbeda
Kesaksian Bernstein berbeda dengan keterangan medis dari dr. Anna Suraya, dokter spesialis toksikologi okupasi atau kedokteran kerja yang menjadi saksi ahli dari pihak tergugat, di agenda sidang, 22 September 2025.
Dr. Anna memaparkan hasil penelitiannya mengenai dampak kesehatan akibat paparan asbes di Indonesia. Ia menegaskan bahwa seluruh jenis asbes bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan penyakit serius seperti asbestosis dan mesotelioma.
Sebelum memberikan keterangan ilmiah, Dr. Anna sempat mendapat keberatan dari pihak penggugat. Kuasa hukum FICMA mempertanyakan posisinya yang disebut terdaftar di situs jaringan Indonesia Ban Asbestos Network (INABAN) sebagai dewan penasihat.
Menanggapi hal itu, Dr. Anna menjelaskan bahwa dirinya bukan anggota organisasi tersebut. “Satu-satunya ahli asbes di Indonesia sejak 2016 itu saya. Saya memeriksa pasien, menulis buku, dan menjadi pembicara di berbagai forum, termasuk acara INABAN, tapi tidak berarti saya anggota,” ujarnya di depan majelis hakim.
Hakim kemudian memutuskan keterangan Dr. Anna tetap diterima dengan syarat ia melampirkan surat pernyataan resmi seperti saksi ahli sebelumnya.
Dalam penjelasannya, Dr. Anna menceritakan awal mula ia menemukan kasus penyakit akibat asbes pada tahun 2016. Saat itu, banyak pekerja pabrik atap dan bahan bangunan datang dengan keluhan sesak napas, batuk, dan gangguan pernapasan berat.
“Saya mendatangi beberapa rumah sakit, hasil CT scan menunjukkan abnormalitas paru-paru. Setelah berdiskusi dengan kolega dari Jerman, saya belajar lebih dalam tentang penyakit asbes,” jelasnya.
Ia kemudian meneliti lebih lanjut bersama para dokter di Rumah Sakit Persahabatan. Hasilnya, ditemukan sejumlah pasien dengan tanda-tanda asbestosis, yakni pengerasan paru yang disebabkan oleh masuknya serat asbes ke saluran napas.
Menurutnya, banyak kasus di Indonesia yang salah didiagnosis sebagai TBC atau penyakit paru lainnya. “Saya sampaikan kepada rekan-rekan dokter agar jangan hanya menulis ‘abnormalitas paru’, tapi tegas menyebutkan jika itu asbestosis,” katanya.
Asbes sebagai penyebab kanker
Dr. Anna menjelaskan bahwa istilah “karsinogenik” berarti pemicu kanker, sama seperti istilah “alergen” dalam konteks alergi. Begitu bahan disebut karsinogen, artinya dapat menyebabkan kanker walau dalam jumlah kecil.
“Karena asbes ini menusuk dan bisa membuat penebalan, dan jika ke semua paru itu akan sulit bernafas, dan jika membuat sel luar akan menjadikan kanker,” kata Anna.
Ia menegaskan, semua jenis asbes, baik putih, biru, telah diakui secara global sebagai bahan penyebab kanker. Indonesia, menurutnya, tertinggal satu langkah dalam upaya pelarangan total.
“Itu sejarah Indonesia bersamaan dengan sejarah dunia, bahwa asbes itu karsinogenik, tapi karena tambang masih banyak jadi ada aturan bahwa cuman amfibol yang bahaya. Tapi dunia menemukan bahwa asbes warna putih biru apapun itu dilarang, siapa pun yang pekerjaan yang mengandung asbes itu melawan hukum,” paparnya.
Menjawab pertanyaan persidangan, Dr. Anna menerangkan bahwa asbestosis adalah penyakit yang muncul ketika serat asbes masuk ke paru-paru dan menyebabkan pengerasan jaringan.
“Asbes biru itu lebih panjang dan sulit dihancurkan, sehingga cepat menyebabkan sakit. Asbes putih bisa dicerna lebih lambat, tapi jika tiap hari terhirup, lama-lama menyebabkan pengerasan paru,” jelasnya.
Menurutnya, sel-sel yang tumbuh liar akibat paparan asbes dapat berkembang menjadi mesotelioma, jenis kanker ganas yang menyerang selaput paru. Ia juga menjelaskan bahwa proses timbulnya penyakit ini memerlukan waktu lama, bisa 10 hingga 20 tahun setelah paparan.
“Pilek saja tidak langsung muncul. Sama halnya dengan kanker akibat asbes, butuh waktu bertahun-tahun. Karena itu kita harus melindungi anak-anak dan relawan yang bekerja di daerah rawan paparan,” katanya.
Dalam praktik medis, Dr. Anna menggunakan pemeriksaan rontgen dan CT scan untuk mendeteksi penyakit akibat asbes. Ia menjelaskan bahwa biopsi tidak selalu dilakukan karena risikonya tinggi.
“Kalau dari hasil CT scan sudah terlihat pengerasan khas asbestosis, maka biopsi tidak diperlukan,” katanya.
Ia membedakan antara kerusakan paru akibat asap rokok dan akibat asbes. “Kalau rokok itu paru melebar dan kembang-kempis, kalau asbes itu mengeras. Jadi bisa dibedakan secara radiologis,” terangnya.
Dr. Anna menambahkan, karena banyaknya kasus TBC di Indonesia, sering kali dokter keliru membedakan antara TBC dan asbestosis. “Padahal keduanya punya gambaran klinis yang berbeda,” ujarnya.
Masyarakat berhak tahu bahan berbahaya
Dalam persidangan, Dr. Anna menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu jika suatu produk mengandung bahan berbahaya seperti asbes. “Itu hak asasi manusia yang paling dasar. Masyarakat harus diberi informasi agar bisa memilih dengan sadar,” katanya.
Ia menilai, Indonesia perlu mengikuti langkah negara lain yang telah memperbarui daftar penyakit akibat kerja dan secara tegas memasukkan semua jenis asbes sebagai penyebab penyakit mematikan.
Ketika kuasa hukum FICMA menanyakan jumlah negara yang telah melarang asbes, Dr. Anna menjawab bahwa ia sedang menyiapkan publikasi buku yang memuat daftar lengkap negara-negara tersebut. Ia juga menegaskan bahwa Singapura masih melarang penggunaan asbes, meski pengacara FICMA menyebut sebaliknya.
Ia menambahkan, negara maju telah berhenti menggunakan asbes dalam bahan konstruksi. “Asosiasi arsitek di berbagai negara sudah tidak lagi memasukkan asbes dalam daftar bahan bangunan,” katanya.
Tentang Amerika Serikat, Dr. Anna menjelaskan bahwa meski negara itu belum melarang total, penggunaannya dibatasi ketat. “Amerika hanya memperbolehkan maksimal satu persen kandungan asbes pada atap, sementara di Indonesia bisa sampai delapan persen,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan soal pendanaan riset, Dr. Anna menyebut penelitian doktoralnya di Jerman dibiayai beasiswa yang hanya mencakup biaya hidup, bukan sponsor industri.
Ia juga menyinggung soal nilai ambang batas paparan asbes. Menurutnya, ambang batas di industri tidak bisa disamakan dengan lingkungan tempat masyarakat umum tinggal.
“Ambang batas itu berlaku untuk pekerja di industri delapan jam sehari, bukan untuk masyarakat umum. Untuk lingkungan, baku mutunya harus nol, karena asbes tidak punya batas aman,” tegasnya.