Hari Keadilan Ekologis di Sumba menjadi momentum penting untuk memulihkan lingkungan dan memperkuat gerakan lingkungan.

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025. (Sumber: Walhi)
Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025. (Sumber: Walhi)

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025 menjadi ruang penting untuk refleksi mendalam terkait upaya pemulihan lingkungan. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, pada Sabtu, 20 September, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama jaringan organisasi internasional menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Keadilan Ekologis.

Penetapan Hari Keadilan Ekologis menjadi langkah simbolis sekaligus strategis yang menekankan pentingnya kebijakan nyata untuk memulihkan lingkungan. Momen ini diharapkan tidak berhenti pada seremoni tahunan semata.

Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, menegaskan bahwa momentum ini harus dimaknai sebagai penguatan konsolidasi gerakan lingkungan, memperluas aliansi lintas sektor maupun lintas negara, serta menekan kebijakan yang menghentikan perusakan alam dan penindasan terhadap rakyat. 

Menurutnya, jika kepentingan ekonomi terus dibiarkan merusak ekosistem, maka tidak hanya lingkungan yang hancur, melainkan juga peradaban manusia.

“Hari Keadilan Ekologis bukanlah perayaan seremonial, melainkan titik balik bagi setiap bangsa dan negara. Jika ingin mewariskan bumi yang lebih baik kepada generasi mendatang, kita harus mengubah cara pandang dan cara hidup dalam membangun peradaban,” ujar Zenzi, dalam keterangan resmi. 

Dengan demikian, Hari Keadilan Ekologis diharapkan menjadi momen yang mengingatkan seluruh bangsa bahwa pembangunan seharusnya beradaptasi dengan alam, bukan justru menghancurkannya.

Dalam rangkaian penetapan Hari Keadilan Ekologis, sebuah tugu juga didirikan sebagai penanda sekaligus memorial yang sarat makna. Tugu ini bukan sekadar simbol fisik, melainkan pengingat kolektif bahwa perjuangan menjaga bumi adalah warisan lintas generasi. 

Kehadirannya diharapkan menjadi ruang refleksi bagi siapa pun yang melihatnya, agar sadar bahwa setiap tindakan manusia terhadap alam akan meninggalkan jejak bagi masa depan. 

Dengan berdirinya tugu tersebut, Hari Keadilan Ekologis tak hanya hidup dalam agenda tahunan, tetapi juga mengakar dalam ingatan publik sebagai komitmen bersama untuk merawat bumi.

Dipilih Pulau Sumba

Pulau Sumba dipilih bukan tanpa alasan. Pulau ini merepresentasikan salah satu ekosistem esensial di Indonesia dengan bentangan savana yang luas dan khas, sekaligus menyimpan kearifan lokal masyarakat pulau-pulau kecil yang hidup selaras dengan alam. 

Di Sumba, masih terjaga tujuh sendi kehidupan nusantara yang menjadi fondasi harmoni antara manusia dan lingkungannya. 

Masyarakat Pulau Sumba mampu menjaga warisan berharga berupa tujuh sendi peradaban nusantara yang masih hidup hingga kini. Sistem pangan lokal yang bertumpu pada kemandirian, tradisi menenun yang kaya makna simbolis, hingga arsitektur rumah tradisional yang selaras dengan alam menjadi bukti kuatnya ikatan mereka dengan kearifan leluhur. 

Semua itu bukan sekadar tradisi yang dilestarikan, melainkan juga wujud nyata bagaimana manusia bisa membangun peradaban tanpa merusak lingkungan, melainkan beradaptasi dan hidup berdampingan dengan alam.

Karena itu, tak heran jika sebanyak 780 aktivis, anggota Walhi, jaringan organisasi tani, hingga komunitas nelayan berkumpul, berharap dapat menyerap pengetahuan, mendapatkan pembelajaran, serta menjadikan Sumba sebagai referensi nyata dalam upaya pemulihan lingkungan. 

“Jika ada satu contoh tempat yang menunjukkan bagaimana alam dan manusia bisa bertahan bersama, maka Sumba adalah jawabannya,” ucap Zenzi.

PNLH yang digelar setiap empat tahun sekali selalu menjadi momentum penting, bukan hanya sebagai pekan nasional lingkungan hidup, tetapi juga sebagai ruang interaksi aktif antara masyarakat sipil, jaringan organisasi, dan Pemerintah. 

Di forum ini, berbagai persoalan lingkungan dari setiap daerah dibawa ke meja bersama untuk didengar, dipelajari, dan diserap sebagai pengetahuan kolektif. Setelah itu, fase kedua menjadi ruang internal bagi Walhi untuk merumuskan jalan keluar (upaya tanding), menyusun program kerja strategis, sekaligus menentukan arah perjuangan organisasi di masa depan. 

Pada tahap inilah konsolidasi diperkuat, program-program baru dirancang, dan kader-kader Walhi yang mumpuni serta dipercaya dipilih untuk memimpin dan memastikan perjuangan menjaga lingkungan terus berlanjut secara berkesinambungan.

Di momen sambutan pada acara pembukaan, Zenzi menuturkan sebanyak 129 organisasi yang tergabung dalam forum Walhi hadir dengan membawa beragam isu mulai dari demokrasi, perempuan, hingga pengakuan masyarakat adat. 

Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan yang mereka tempuh bukan sekadar untuk memenuhi mandat organisasi, melainkan juga untuk menghantarkan mandat “kampung semesta” yang berupa sebuah amanah kolektif yang juga mewakili suara perempuan, orang tua, bahkan anak-anak yang mungkin tak sempat hadir dalam kesempatan ini.

“Semangat itulah yang diharapkan terus diletakkan di atas meja perjuangan forum, sebagai energi yang menyatukan,” imbuh Zenzi.

Turut hadir dalam momentum bersejarah ini sejumlah tokoh penting yang menegaskan kuatnya dukungan lintas sektor terhadap agenda pemulihan lingkungan. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Bachtiar Najamudin hadir memberikan dukungan politik dan moral, didampingi Wakil Bupati Sumba Timur Yonathan Hani yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan. 

Kehadiran Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Wulla, menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga warisan alam Sumba. Sementara itu, musikus sekaligus aktivis lingkungan Nugie menambahkan warna dengan kekuatan seni dan budaya, menunjukkan bahwa perjuangan menjaga bumi tak hanya bisa disuarakan melalui kebijakan, tetapi juga melalui nada, karya, dan ekspresi yang menyentuh hati.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses