“Living in Harmony” sebuah upaya nyata yang diinisiasi Belantara Foundation untuk menciptakan koeksistensi antara manusia dan gajah Sumatera

Fajar baru saja menyingsing di atas lanskap Sugihan-Simpang Heran di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Namun, bagi masyarakat di sini, pagi hari sering kali diwarnai ketegangan. Di satu sisi, ada harapan akan hasil panen yang menopang hidup. Di sisi lain, ada kecemasan akan kehadiran kawanan gajah sumatra yang mungkin telah melintasi kebun mereka di malam hari. Inilah realitas sehari-hari di salah satu benteng terakhir bagi sekitar 100-120 individu gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus), spesies yang kini berada di ambang kepunahan.  

Kisah di lanskap ini bukanlah cerita sederhana tentang manusia melawan satwa liar. Ini adalah warisan dari sejarah panjang transformasi lahan. Sebelum tahun 1980-an, wilayah Air Sugihan adalah hamparan hutan rawa gambut yang luas, rumah ideal bagi ratusan gajah. Namun, pada awal 1980-an, kebijakan transmigrasi pemerintah membawa ribuan keluarga dari Jawa untuk menetap dan membuka lahan pertanian. Mereka tiba di sebuah ekosistem yang asing, berhadapan langsung dengan satwa liar raksasa yang ruang hidupnya semakin menyempit akibat tumpang-tindih dengan kawasan industri berbasis lahan dan permukiman. Konflik pun menjadi tak terelakkan.  

Kini, sebuah harapan baru untuk meredakan konflik puluhan tahun itu lahir dari panggung global. Ribuan kilometer dari rawa-rawa OKI, di tengah perhelatan akbar IUCN World Conservation Congress di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, sebuah komitmen penting telah ditandatangani. Pada 11 Oktober 2025, Belantara Foundation, sebuah lembaga nirlaba anggota IUCN, secara resmi menjalin kerja sama dengan Conservation Allies, organisasi yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat.  

Penandatanganan piagam kerja sama ini, yang disaksikan langsung oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Agr.Sc., menjadi tonggak sejarah bagi program “Living in Harmony” (Manusia-Gajah Liar Hidup Harmonis). Program ini bukanlah sekadar wacana, melainkan sebuah upaya nyata yang telah diinisiasi Belantara Foundation selama tiga tahun terakhir untuk menciptakan koeksistensi antara manusia dan gajah di Sugihan-Simpang Heran.  

Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation, menjelaskan bahwa kemitraan ini adalah langkah strategis untuk memperkuat upaya yang sudah berjalan. “Lanskap Sugihan-Simpang Heran bukan hanya penting bagi konservasi gajah sumatra, tapi juga krusial dalam pembangunan ekonomi nasional, serta penting bagi penghidupan masyarakat desa,” ujarnya. “Penandatanganan ini merupakan bentuk komitmen serius Conservation Allies untuk membantu kami melalui dana hibah serta penggalangan dana publik selama dua tahun di Amerika Serikat”.  

Kelompok gajah di lanskap ini dianggap istimewa karena menjadi salah satu dari sedikit populasi di Sumatra yang memiliki potensi untuk bertahan hidup dalam jangka panjang. Namun, tantangannya pun luar biasa besar. Oleh karena itu, pendekatan inovatif dan kolaboratif menjadi kunci. “Upaya kami bersama para mitra berfokus pada peningkatan kapasitas tim mitigasi konflik, mendukung infrastruktur seperti menara pemantauan, penyadartahuan bagi anak-anak usia dini, serta pengayaan pakan dan penyediaan artificial saltlicks (tempat menggaram buatan) untuk memenuhi nutrisi gajah,” tambah Dolly.  

Di sisi lain, Dr. Paul Salaman, Presiden Conservation Allies, menegaskan bahwa program yang dijalankan Belantara Foundation adalah model konservasi yang sangat relevan di era ini, di mana koeksistensi manusia dan satwa liar adalah sebuah keniscayaan. “Melalui kerja sama ini, kami berkomitmen kuat untuk membantu Belantara Foundation. Dana yang terkumpul akan dikelola secara transparan dan dialokasikan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan di lapangan,” tegas Paul. Ia juga mengajak masyarakat global untuk berpartisipasi melalui donasi untuk memastikan dampak positif dan berkelanjutan bagi keanekaragaman hayati Indonesia.  

Dukungan penuh juga datang dari pemerintah Indonesia. Prof. Satyawan Pudyatmoko menyambut baik inisiatif ini dan menekankan status gajah sumatra yang dilindungi oleh hukum melalui Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Statusnya di daftar merah IUCN pun sangat mengkhawatirkan: Kritis (Critically Endangered), hanya satu langkah dari kepunahan di alam liar.  

“Inisiatif ini sangat bagus dan kami berharap program ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam meminimalkan interaksi negatif manusia-gajah, dan dapat mengubahnya menjadi sebuah koeksistensi yang harmonis,” pungkas Prof. Satyawan.  

Kemitraan yang lahir di Abu Dhabi ini lebih dari sekadar kesepakatan finansial. Ia adalah jembatan yang menghubungkan kepedulian global dengan aksi nyata di tingkat tapak. Bagi masyarakat dan kawanan gajah di Sugihan-Simpang Heran, ini adalah secercah harapan bahwa harmoni bukan lagi sekadar impian, melainkan sebuah masa depan yang sedang dibangun bersama.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses