Kasus keracunan massal akibat Makan Bergizi Gratis meningkat. Peristiwa ini kembali terjadi di Kabupaten Bandung Barat.

Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail saat menjenguk kasus keracunan massal akibat menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kecamatan Cipongkor, Selasa (23/9/2025). (Pemkab Bandung Barat)
Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail saat menjenguk kasus keracunan massal akibat menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kecamatan Cipongkor, Selasa (23/9/2025). (Pemkab Bandung Barat)

Keracunan usai menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di Kabupaten Bandung Barat. Ratusan murid SMPN 1 Cisarua dilaporkan mendapat perawatan di posko darurat di sekolah, sebagian ke fasilitas-fasilitas kesehatan.

Sebelumnya, 22 September 2025 kejadian serupa menimpa para murid di dua kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, yakni Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas dengan jumlah korban mencapai lebih dari 1.000 orang.

Meski keracunan massal ini bisa ditangani oleh medis, tapi fakta bahwa ada masalah dalam penyelenggaraan MBG menjadi sorotan.

Menurut data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kasus keracunan akibat program MBG pada periode 29 September hingga 3 Oktober 2025 mencapai 1.883 siswa. Total siswa yang menjadi korban keracunan MBG di Indonesia hingga 4 Oktober 2025 tercatat mencapai 10.482 siswa.

Umumnya korban keracunan mengalami gejala mual, pusing, dan muntah setelah mengonsumsi MBG.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ) Tirta Prawita Sari menegaskan bahwa pengawasan terhadap gizi dan keamanan pangan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan program MBG.

Dokter Spesialis Gizi Klinik dan Ahli Nutrisi di Jakarta Selatan ini menganalisa, salah satu akar persoalan dalam pelaksanaan MBG terletak pada lemahnya pengawasan di tahap awal penyiapan makanan.

Menurutnya, dalam penyelenggaraan massal risiko penyimpangan kualitas gizi sangat besar apabila tidak ada kontrol ketat terhadap bahan, proses masak, hingga penyajian. Ketidaktepatan dalam satu tahapan dapat menurunkan nilai gizi dan bahkan menimbulkan risiko kesehatan.

“Indikator keberhasilan pelaksanaan MBG bisa dilihat dari dua sisi, yaitu proses dan hasil. Dari sisi proses, harus dipastikan bahwa makanan disiapkan sesuai panduan gizi seimbang dan prinsip keamanan pangan,” ujar Tirta, dalam keterangan resmi, diakses Kamis, 16 Oktober 2025.

Keamanan pangan jadi titik lemah

Kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa keamanan pangan masih menjadi titik lemah dalam pelaksanaan MBG. Banyak laporan menyebutkan bahwa makanan yang didistribusikan ke sekolah-sekolah sering kali sudah dalam kondisi tidak segar, bahkan beberapa disiapkan jauh sebelum jam makan siang. Kondisi tersebut menjadi celah bagi bakteri berbahaya untuk tumbuh, terutama jika suhu penyimpanan tidak terjaga.

“Keracunan bisa terjadi karena kontaminasi dengan zat atau bahan berbahaya lainnya atau kontaminasi dengan bahan atau alat yang sudah mengandung bakteri berbahaya. Selain itu penyimpanan bahan makanan yang sudah matang ataupun yang belum juga sangat krusial,” ujar Tirta.

Proses distribusi makanan ke sekolah yang berjarak jauh juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk menjaga keamanan pangan, makanan sebaiknya dimasak pada hari yang sama dan disajikan dalam keadaan hangat. Menu mentah seperti karedok atau lalapan sebaiknya dihindari dalam konteks catering massal karena berisiko membawa bakteri.

Menurut Tirta, solusi paling ideal adalah dengan melibatkan kantin sekolah dalam proses penyediaan makanan. Dengan begitu, makanan bisa langsung disajikan tanpa melalui perjalanan panjang yang berisiko menurunkan kualitas dan keamanannya.

Pemilihan dan pemanfaatan bahan pangan

Selain proses pengolahan, pemilihan bahan pangan juga menjadi faktor penting dalam menjaga kualitas gizi dan keamanan makanan. dr. Tirta menegaskan bahwa penggunaan bahan lokal yang segar dan mudah dijangkau merupakan langkah strategis untuk memastikan nilai gizi tetap terjaga. Dengan bahan lokal, selain lebih hemat biaya, menu juga dapat disesuaikan dengan kebiasaan konsumsi anak-anak di wilayah masing-masing.

Namun, praktik di lapangan menunjukkan banyaknya menu MBG yang justru didominasi oleh makanan bertepung seperti chicken katsu, nugget, dan sosis. Makanan dalam kategori processed food tersebut masih bisa digunakan asal memenuhi standar keamanan dari BPOM serta memiliki label gizi yang jelas.

Namun, Tirta mengatakan produk tinggi protein dan serat serta mengandung tambahan vitamin dan mineral seharusnya menjadi menu utama MBG. Sebaliknya, makanan dengan kadar sodium, gula, dan lemak jenuh tinggi sebaiknya dihindari karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak bila dikonsumsi rutin.

Dengan keterbatasan anggaran dan logistik, pemanfaatan bahan pangan lokal menjadi solusi paling realistis. Selain memperkuat ekonomi daerah, bahan lokal juga lebih mudah dipantau dari segi kualitas dan keamanan.

Pemerintah disarankan melakukan kerja sama dengan petani atau pemasok bahan pangan setempat untuk memastikan pasokan tetap stabil dan memenuhi standar gizi seimbang. Pendekatan ini dinilai efektif tidak hanya untuk meningkatkan asupan gizi anak, tetapi juga memperkuat rantai pasok pangan yang berkelanjutan di tingkat daerah.

Sinergi sekolah dan orang tua

Tirta memaparkan bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya bergantung pada pemerintah atau penyedia katering, tetapi juga pada sinergi antara sekolah dan orang tua. Sekolah berperan dalam memastikan proses distribusi dan penyajian makanan berjalan sesuai standar kebersihan, sementara orang tua bertugas mendukung pola makan sehat di rumah.

Sekolah juga dapat berperan aktif dengan memberikan laporan rutin terkait kondisi makanan dan respon siswa terhadap menu MBG. Dengan adanya umpan balik langsung dari sekolah dan orang tua, pemerintah dapat melakukan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan terhadap kualitas makanan yang disajikan. Pemerintah juga diharapkan dapat memastikan adanya pedoman/standar yang sudah disosialisasikan agar pengelola kateringnya bekerja sesuai standar.

Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat diharapkan dapat memperkuat sistem pengawasan program MBG agar benar-benar berjalan sesuai tujuan awalnya, yaitu memperbaiki status gizi siswa tanpa mengorbankan keamanan pangan.

Sebelumnya, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan sementara atau memoratorium program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara menyeluruh. Keracunan makanan yang masih dialami siswa dan guru di berbagai daerah merupakan alarm yang mengindikasikan program ini perlu dievaluasi total.

Desakan evaluasi MBG

Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih mengatakan, kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es. Angka jumlah kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak karena pemerintah sejauh ini belum menyediakan dasbor pelaporan yang bisa diketahui publik.

“Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” kata Diah, dalam keterangannya, 19 September 2025.

CISDI mencatat, beberapa peristiwa keracunan bahkan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) karena menimpa ratusan siswa. Kegiatan belajar menjadi lumpuh karena korban mesti dirawat di puskesmas maupun rumah sakit.

Selain itu, keracunan massal menimbulkan beban biaya tak terduga yang dibebankan pada pemerintah daerah, untuk membayar penanganan keracunan di rumah sakit daerah atau swasta setempat. Hal ini tentu memberatkan para pemerintah daerah. Terlebih, alokasi anggaran transfer ke daerah juga berkurang 24,7 persen dari Rp 864,1 triliun (APBN 2025) menjadi Rp 650 triliun (RAPBN 2026).

Meski dirancang untuk meningkatkan status gizi penerima manfaat, namun MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang dari aspek regulasi, keamanan pangan dan kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi.

Meski sudah berlangsung selama delapan bulan, program yang dijalankan terpusat oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ini belum juga dilandasi oleh peraturan presiden sebagai payung hukum dan peraturan lainnya yang seharusnya tersedia.
Dampaknya, tata kelola kelembagaan menjadi tidak jelas, dari koordinasi antar-kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak.

Diah mengatakan, absennya payung hukum MBG dan panduan teknis juga minimnya sistem pengawasan telah memicu berbagai macam persoalan di lapangan. Selain kasus keracunan akibat makanan tidak layak atau tidak higienis, menu MBG di banyak sekolah diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.

“Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak dan remaja. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia,” ujar Diah.

Diah menambahkan, maraknya kasus keracunan serta masifnya produk pangan ultra-proses dalam menu MBG juga merupakan bentuk pelanggaran hak penerima manfaat program ini, khususnya anak usia sekolah. Karenanya, CISDI mendesak pemerintah memenuhi hak penerima manfaat program MBG untuk memperoleh makan bergizi yang aman dan berkualitas.

Agar evaluasi berjalan efektif, pemerintah harus memoratorium program MBG terlebih dahulu. Klaim pemerintah bahwa program ini dapat disempurnakan sembari berjalan terbukti gagal karena kasus keracunan terus berulang dan bertambah.

Apabila pemerintah bersikukuh menjalankan MBG tanpa evaluasi total, dikhawatirkan kasus keracunan MBG akan terus terjadi dan mengancam kesehatan anak-anak. Sementara, upaya pemerintah untuk memulihkan hak anak yang menjadi korban keracunan masih belum jelas.

Paralel dengan moratorium MBG, CISDI juga mendorong pemerintah segera mengatasi persoalan transparansi dan akuntabilitas yang selama ini menghambat publik untuk terlibat mengawasi pelaksanaan program ini.

“Sembari menjalankan moratorium, pemerintah perlu segera membuka kanal pelaporan dan memproses segera aduan publik sebagai langkah awal dari upaya pemulihan hak korban atas kerugian yang ditimbulkan dari kasus keracunan dan makanan yang tidak layak,” kata Diah.

Menurut Diah, akuntabilitas program MBG saat ini patut dipertanyakan. Dengan klaim telah berlangsung di 38 provinsi dengan jumlah penerima manfaat MBG diklaim mencapai 22 juta. Akan tetapi, angka tersebut tidak dapat diverifikasi karena minimnya informasi yang dapat diakses publik.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses