Cahaya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar adalah pengakuan bahwa keadilan energi adalah hak asasi, bukan sekadar komoditas.
Di sebuah desa terpencil di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, aktivitas belajar mengajar di Sekolah Dasar Sokbok 014 seringkali terhenti seiring tenggelamnya matahari. Selama bertahun-tahun, ketiadaan akses listrik membatasi materi pengajaran pada papan tulis dan buku konvensional. Namun, tahun 2025 menjadi penanda perubahan fundamental. Dengan pemasangan SuperSUN—sebuah inovasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)—sekolah itu kini bersinar terang, membawa serta janji pendidikan yang lebih inklusif dan modern.
Bagi Musa, seorang guru di SD Sokbok 014, kedatangan listrik bukan sekadar penerangan, melainkan sebuah lompatan kuantum. “Terima kasih kepada PLN atas bantuan pemasangan SuperSUN, yang sangat bermanfaat bagi proses belajar mengajar,” ungkap Musa dengan nada haru. Ia menambahkan bahwa kini, tenaga pengajar dapat menggunakan media elektronik, membuat proses belajar menjadi “lebih interaktif dan menyenangkan”. Inilah yang disebutnya sebagai “titik balik” bagi pendidikan di Mamasa.
Kisah Mamasa merefleksikan pergeseran fokus dalam pembangunan infrastruktur nasional. Elektrifikasi di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) pada tahun 2025 tidak lagi sekadar menancapkan tiang, melainkan mengintegrasikan teknologi bersih dan digital. Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) seperti SuperSUN di lokasi terpencil menunjukkan bahwa wilayah 3T mampu melompati era infrastruktur lama langsung menuju era digital, secara langsung mengatasi ketimpangan pendidikan struktural yang selama ini menghambat kemajuan lokal.
Keberhasilan di Mamasa adalah bagian dari implementasi program Astacita, yang berlandaskan pada filosofi energi berkeadilan. Program ini semakin diperkuat setelah Darmawan Prasodjo kembali ditunjuk sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero) pada pertengahan 2025. Sebagai arsitek transformasi digital dan pendorong Green Transformation, Darmawan memastikan bahwa fokus perusahaan tidak hanya pada modernisasi sistem, tetapi juga pada keadilan akses.
Darmawan menegaskan bahwa upaya ini adalah manifestasi dari mandat mulia yang diterima PLN, terutama dalam menyediakan listrik bagi rakyat di daerah 3T. Konsep “energi berkeadilan” yang dijalankan PLN adalah intervensi sosial yang cermat.
“Seringkali, infrastruktur kelistrikan seperti tiang dan jaringan kabel sudah tersedia di depan rumah warga 3T. Namun, hambatan sebenarnya adalah keterbatasan dana masyarakat prasejahtera untuk membayar biaya penyambungan awal. Melalui inisiatif ini, PLN menjembatani kesenjangan antara ketersediaan infrastruktur dengan keterjangkauan biaya, memastikan bahwa tidak ada satu pun rumah tangga yang tertinggal dari manfaat cahaya,” katanya.
Komitmen ini ditekankan Darmawan Prasodjo dengan nuansa spiritual dan kemanusiaan yang mendalam. “Ini bukan sekadar investasi untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat,” tegasnya. Darmawan. “Dari hati yang terdalam, kami bekerja siang malam agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat listrik”. Pernyataan ini menunjukkan pergeseran fokus PLN dari sekadar penyedia jasa energi menjadi agen pembangunan sosial dan etika.
Tiga pilar kesejahteraan
Akses listrik di wilayah 3T, yang didukung oleh program Astacita 2025, secara langsung berfungsi sebagai fondasi bagi pertumbuhan tiga pilar utama kesejahteraan: pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Data menunjukkan bahwa capaian elektrifikasi terbarukan dan konvensional terus digenjot di berbagai pelosok nusantara.
Di sektor Pendidikan, inovasi SuperSUN memungkinkan 503 sekolah di wilayah operasi UID Sulselrabar memperoleh akses listrik hingga September 2025, dari target 1.500 unit SuperSUN. Listrik memfasilitasi program revitalisasi sekolah dan mempercepat pembelajaran digital. Keberadaan akses digital ini sangat krusial, mengingat riset telah menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan di 3T adalah salah satu faktor utama yang menahan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Listrik adalah katalis untuk memecahkan siklus ketimpangan ini.
Pada pilar Ekonomi dan Sosial, dampak elektrifikasi terlihat jelas di Papua. Melalui Program Listrik Desa (Lisdes) pada semester I 2025, sebanyak 1.606 rumah tangga di 36 desa telah menikmati akses listrik. Kepala Daerah Kepulauan Yapen, misalnya, menyoroti bahwa program ini tidak hanya membawa cahaya, tetapi juga “membuka peluang pembangunan ekonomi dan sosial di daerah pedesaan”. Dengan listrik, UMKM dapat beroperasi lebih lama, biaya operasional rumah tangga yang sebelumnya bergantung pada generator berbahan bakar fosil berkurang, dan produktivitas masyarakat meningkat.
Sementara di sektor Kesehatan, meskipun data kuantitatif spesifik 2025 belum tersedia, dampak implisitnya sangat vital. Pasokan listrik yang berkualitas adalah prasyarat dasar bagi layanan kesehatan modern di 3T. Listrik memastikan pendinginan yang stabil untuk penyimpanan vaksin, obat-obatan esensial, dan memungkinkan pengoperasian alat medis diagnostik. Dengan demikian, elektrifikasi secara kausalitas berkontribusi pada penurunan tingkat morbiditas (penyakit) dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di wilayah-wilayah yang rentan.
Menata ulang transisi energi berkeadilan
Meskipun program Astacita 2025 layak mendapat apresiasi atas komitmen sosialnya, para akademisi mengingatkan bahwa keberhasilan di tingkat mikro (desa 3T) harus dilihat dalam konteks sistem energi nasional yang lebih besar.
Riset yang dilakukan The Habibie Center (THC) menyoroti bahwa transisi energi berkeadilan merupakan wicked problem—masalah yang kompleks, dinamis, dan struktural, yang memerlukan komitmen semua pihak. THC mengkritik bahwa praktik tata kelola energi nasional sering memicu “fenomena zero-sum game.”
Dalam konteks ini, meskipun PLN berhasil melistriki 3T dengan EBT, kebijakan energi yang lebih luas yang masih berfokus pada sumber energi fosil, terutama batu bara, dapat memicu masalah sosio-ekologis. Dampak negatif dari polusi, seperti tingginya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di dekat pembangkit listrik fosil atau gagal panen akibat perubahan iklim, tetap menjadi ancaman serius bagi keadilan lingkungan secara keseluruhan.
Listrik yang dibawa oleh Astacita 2025 ke wilayah 3T merupakan langkah awal yang krusial, namun keberlanjutan program ini sangat bergantung pada kerangka hukum yang kuat.
Para peneliti dari THC menekankan urgensi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan kemauan politik yang solid. Tanpa payung hukum yang memadai, program yang berfokus pada keadilan energi dan EBT, seperti SuperSUN, berisiko terhenti ketika terjadi perubahan kepemimpinan atau prioritas pendanaan. Kerangka hukum yang pasti diperlukan untuk menjamin kepastian investasi, kemanfaatan, dan keadilan energi jangka panjang bagi masyarakat.
Secara fundamental, elektrifikasi Astacita adalah pengungkit untuk pembangunan yang lebih merata. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh riset mengenai ketimpangan di 3T, listrik saja tidak cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Program ini harus dipadukan dengan kebijakan lain yang secara simultan mengatasi masalah kualitas guru, konektivitas digital yang memadai, dan integrasi rantai pasok ekonomi lokal.
Dengan dukungan pemerintah daerah dan komitmen PLN, keadilan energi yang dimanifestasikan dalam Astacita 2025 telah membawa Mamasa dan ribuan desa 3T lainnya ke “titik balik.” Kolaborasi antara PLN dan Pemerintah Daerah adalah kunci utama untuk memperluas akses listrik dan meningkatkan kesejahteraan di seluruh nusantara. Cahaya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar adalah pengakuan bahwa keadilan energi adalah hak asasi, bukan sekadar komoditas.
- Menjemput fajar digital dan keadilan energi di jantung 3T
- Dari kilau surya dan jantung bumi ke jalan raya
- Akankah China jadi sekutu nuklir Indonesia?
- Daun kaliandra, sumber energi bersih dan ramah lingkungan dari kekayaan lokal
- Mengolah limbah organik ampas kopi menjadi biogas
- Masjid Al Muharram Brajan gunakan panel surya, teladan transisi energi bersih