Perempuan Papua memainkan peran krusial dalam menjaga keberlangsungan hidup melalui pengetahuan tradisional akan hutan dan tanah adat.

perempuan papua Masyarakat adat Suku-Awyu-di-Distrik-Fofi-Kab.-Boven-Digoel
Masyarakat adat Suku Awyu di Distrik Fofi Kab Boven Digoel. (Pustaka Bentala)

Perempuan adat di Tanah Papua memainkan peran krusial dalam menjaga keberlanjutan kehidupan dan kelestarian lingkungan. Mereka bukan hanya pengelola tanah dan hutan adat, tetapi juga penjaga budaya dan generasi yang akan datang.

Masyarakat adat di Papua, yang hidup bersumber dari tanah dan hutan adat, telah lama mengelola lingkungan sekitar mereka dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan turun-temurun. Pengetahuan ini mencakup cara-cara yang ramah lingkungan dalam bertani, berburu, berkebun, hingga meramu obat-obatan dari tanaman liar.
Praktik ini terintegrasi dengan ritual budaya dan sistem sosial adat yang mengatur kehidupan mereka. Namun, meskipun tanah dan hutan adat merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat adat, hak-hak mereka atas tanah tersebut belum sepenuhnya diakui dan dilindungi oleh negara atau oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam ekonomi dan pembangunan.

Magdalena Kafiar dari KPKC GKI Tanah Papua menekankan bahwa kekayaan alam Papua kini sedang diburu oleh banyak pihak, yang sering kali tidak menghargai hak-hak masyarakat adat. Berbagai investasi dan program pembangunan masuk ke wilayah adat, menggusur masyarakat, dan menghancurkan mata pencaharian mereka.

“Saat ini, kekayaan alam Papua sedang menjadi incaran banyak orang”, ungkap Magda Kafiar, diakses dari pusaka.or.id, Selasa, 14 Oktober 2025.

Magdalena Kafiar berbicara di diskusi dengan tema “Peran Perempuan Adat Memperjuangkan Keberlanjutan Kehidupan dan Lingkungan Hidup” yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Asia Justice and Rights (AJAR) dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS).

Selain Magdalena Kafiar, diskusi ini menghadirkan beberapa perempuan adat Papua, seperti Rosita Tecuari dari Organisasi Perempuan Adat Namblong (ORPA), Kabupaten Jayapura, Veronika Manimbu dari Kebar, Kabupaten Tambrauw.

Veronika Manimbu dari Kebar mengatakan, perempuan adat merasakan dampak langsung dari kehadiran perusahaan-perusahaan di Papua. Ia menceritakan pengalamannya berjuang melawan perusahaan yang merusak hutan adat di Kebar.

“Dulu kami bisa berkebun di dekat rumah, tapi sekarang sudah jauh dan sulit dijangkau karena hutan kami sudah digusur,” tambah Veronika.

Perempuan adat di Papua tidak hanya berjuang untuk melindungi tanah mereka, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat terus bergantung pada sumber daya alam yang telah dikelola dengan bijak selama berabad-abad.

Rosita Tecuari, seorang perempuan adat Namblong, mengungkapkan dengan tegas bahwa perempuan memiliki hak untuk melindungi tanah dan hutan adat.

“Perempuan berperan menjaga tanah dan hutan adat. Saya mempunyai hak melindungi tanah dan hutan adat, karena tanah itu berharga bagi saya sebagai perempuan yang melahirkan generasi yang akan memiliki dan mengelola tanah tersebut”, kata Rosita Tecuari.

Perempuan adat, yang selama ini terlibat langsung dalam menjaga hutan dan tanah adat, merasa perlu untuk berdiri di garis depan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, terutama dalam menghadapi tekanan dari perusahaan-perusahaan besar.

Penelitian AJAR di Papua menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memperluas industri ekstraktif dengan cara yang manipulatif, tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, dan bahkan menyingkirkan perempuan dari konsultasi mengenai penggunaan tanah. Papua sering dianggap sebagai tanah kosong yang bisa dikuasai tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat.

Sornica Ester Lily, dari AJAR, menyatakan bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat sangat penting untuk menghindari pelanggaran hak-hak lainnya.

“Peran masyarakat adat dalam upaya meraih hak atas kebenaran, diperlukan pengakuan masyarakat adat menjadi penting, jika ada penolakan atas pengakuan eksistensi masyarakat adat, hak untuk hidup, maka akan jadi factor sebagai rangkaian pelanggaran hak-hak lainnya, karenanya pengakuan hak itu penting”, ungkap Sornica dari AJAR.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AJAR, dan aktivis perempuan adat dari Papua menyampaikan beberapa rekomendasi penting. Mereka mendesak pemerintah untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah dan hutan adat. Selain itu, mereka menuntut agar pemerintah dan perusahaan menghormati hak masyarakat adat dalam mengelola dan mengembangkan pengetahuan tradisional, budaya, serta sumber daya alam yang mereka miliki.

Perempuan Papua, dengan semangat dan keberanian mereka, terus berjuang di garis depan untuk memastikan keberlanjutan kehidupan dan lingkungan hidup bagi generasi yang akan datang. Dalam perjuangan mereka, perempuan adat tak hanya menjaga tanah dan hutan, tetapi juga melindungi warisan budaya dan pengetahuan yang telah ada sejak leluhur mereka.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses