Kerusakan terbesar di Kasepuhan Ciptamulya datang dari tambang. Aktivitas haram itu tak hanya merusak lahan, juga mengikis budaya gotong royong.
Malam dingin menyelimuti Kasepuhan Ciptamulya di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. Di tengah gulita, hanya cahaya senter yang menuntun langkah dua pria paruh baya di jalan setapak yang basah oleh hujan sore. Mereka adalah Opok (44) dan Uday (55), warga yang mengemban tugas mulia sebagai Manintin, sang penjaga air di kampung adat tersebut.
Sebuah perintah dari Ketua Adat, Abah E. Suhendri Wijaya, membuat keduanya bergerak cepat malam itu. Air, urat nadi kehidupan kampung, mendadak berhenti mengalir sejak petang.
Langkah mereka terhenti. Biang keroknya terlihat: pipa 4 inci yang menyalurkan air ke kampung tertimpa longsoran tanggul sawah. Tekanan tanah membuat paralon retak, menyumbat aliran. Tanpa banyak bicara, Opok dan Uday segera bekerja. Dengan peralatan sederhana dan pipa cadangan yang selalu siaga, bagian rusak dipotong dan diganti. Tak lama, suara gemericik air kembali terdengar, mengalir lancar menuju sawah dan rumah-rumah penduduk.
Inilah tugas Manintin: memastikan aliran air dari sumbernya di lereng Gunung Halimun tetap terjaga, merawat instalasi, dan membaginya secara adil.
Sumber air itu tak dekat. Ia berasal dari empat sirah cai (mata air) di Sungai Cipanengah, sekitar tiga kilometer dari perkampungan. Dari sanalah air dialirkan melalui jaringan pipa sederhana, menuruni lereng bukit dan melintasi terasering sawah, untuk menghidupi dua dusun (Ciptamulya dan Cibongbong) serta fasilitas umum. Air ditampung dulu di bak-bak beton berlumut di belakang Imah Gede, pusat kasepuhan.
Opok, saat ditemui di rumah panggungnya yang beratapkan ijuk, menjelaskan sistem distribusi itu. “Setiap bak untuk satu dusun. Suplai air dari bak di Imah Gede yang paling jauh sampai ke (dusun) Cibongbong, pakai selang panjangnya sekitar 100 meter,” jelasnya.
Selama ini, sistem itu terbukti tangguh. Ketersediaan air yang terjaga, disokong oleh leuit (lumbung padi), membuat Kasepuhan Ciptamulya tak pernah mengalami krisis pangan. Sepanjang ingatan mereka, gagal panen karena hama atau kekurangan air tak pernah terjadi.
“Tahun ini belum pernah kami kekeringan atau kemarau panjang. Tapi memang sempat beberapa tahun lalu sampai 5 bulan kemaraunya, namun hasil sawah atau kebun tetap ada, belum pernah gagal panen atau paceklik. Mata air tetap mengalir ke sungai-sungai kecil ke sawah meskipun debitnya kecil,” tambah Opok.
Kunci ketahanan mereka juga terletak pada filosofi. Petani di kasepuhan hanya melakukan penanaman padi satu tahun sekali. Pola ini berangkat dari pandangan tradisional bahwa tanah adalah ibu, “yang hanya dapat melahirkan sekali dalam setahun”. Saat lahan ‘istirahat’, mereka menanam palawija atau sayuran.
Namun, kearifan yang telah teruji abad ini menghadapi dua gempuran sekaligus. Gempuran pertama datang dari langit. Perubahan iklim membuat musim kian sulit diprediksi. Patria Wirayudha, forecaster iklim BMKG, mengkonfirmasi pergeseran pola musim yang signifikan di Cisolok.
“Pergeseran ini bisa berupa masuknya awal musim kemarau yang lebih lambat atau lebih cepat, awal musim hujan yang lebih terlambat, atau durasi musim kemarau atau hujan yang pendek atau panjang,” ungkapnya.
Untuk tahun 2025, Patria memprakirakan wilayah Sukabumi bisa mengalami musim hujan hampir sepanjang tahun. “Diprakirakan terjadinya puncak musim hujan akan ada yang jatuh pada bulan Oktober. Untuk sebagian wilayah Sukabumi dan akan ada yang jatuh bulan November. Sifat musim hujan untuk tahun ini adalah normal untuk sebagian kecil wilayah Sukabumi dan wilayah lainnya adalah atas normal,” jelasnya.
BMKG mendorong konservasi sebagai fokus adaptasi. “Melindungi hutan adat atau kawasan konservasi lokal sebagai buffer terhadap cuaca ekstrem. misalnya sebagai pelindung dari angin, banjir, pengaturanaliran air tanah,” ujar Patria.
Jika iklim adalah ancaman yang tak pasti, gempuran kedua jauh lebih brutal dan nyata: penambangan emas tanpa izin (PETI). Ironisnya, aktivitas ilegal ini mengoyak hutan garapan, wilayah yang seharusnya menjadi ruang hidup masyarakat adat.
Ketua Adat Kasepuhan Ciptamulya, Abah E. Suhendri Wijaya (Abah Hendrik), merasakan betul perubahan ini. “Dua puluh tahun ke belakang, hutan masih benar-benar asri. Banyak kayu, tidak terlalu gundul, jalan tani pun tidak bisa dilewati motor. Tapi sekarang, setelah ada jalan yang diperbaiki sampai ke pegunungan, orang bisa bawa dolken, motor yang mengambil kayu dari hutan. Memang kebanyakan dilakukan warga, bukan berarti maling, tapi dampaknya ada kayu yang keluar dari taman nasional maupun talun,” ungkap Abah Hendrik.
Baginya, kerusakan terbesar kini datang dari tambang. Aktivitas haram itu tak hanya merusak lahan, tetapi juga perlahan mengikis budaya gotong royong.
“Sekarang hancurnya lahan karena banyak penambangan ilegal. Itu terasa sekali. Kegiatan gotong royong atau untuk tani jadi berkurang karena orang sibuk ke tambang. Biasanya liburnya hari Jumat atau hari-hari tertentu. Rata-rata yang menambang itu pemuda, bahkan banyak yang sudah berkeluarga,” jelasnya.
Abah Hendrik berada dalam posisi sulit. “Kalau untuk melarang bingung juga. Serba salah. Kasepuhan dan kepala desa juga tidak bisa melarang seutuhnya. Sedangkan kalau dibiarkan, ke depan dampaknya (hutan) bisa gundul, bisa longsor. Lokasinya di hutan taman nasional, hutan garapan,” ujarnya.

Masalah kian pelik karena status lahan. Tanah adat mereka kini masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sejak 2004, membuat masyarakat sulit mengontrol wilayah garapan leluhur mereka. Abah Hendrik menuntut payung hukum yang lebih kuat dari sekadar SK. “Kalau ada Perda, nantinya bukan oleh TNGHS atau polisi, tapi kasepuhan yang bisa langsung menggerakkan program-program penanaman dan penghijauan,” tegasnya.
Kekhawatiran itu beralasan. Dari kejauhan, di punggung bukit bernama Gunung Engang, pemandangan kontras terlihat. Sisi hutan yang rimbun berseberangan dengan lereng yang terkelupas cokelat, penuh gubuk beratap terpal biru—luka nyata akibat tambang.
Kepala Desa Sirnaresmi, Jaro Iwan Suwandri, mengakui faktor ekonomi menjadi dilema. “Masyarakat kan dicaram mah dicaram (dilarang ya dilarang), tapi ngaleyeud mah ngaleyeud (jalan terus ya jalan terus). Warga tidak tahu apakah area itu rawan atau tidak, karena tadi itu, faktor kebutuhan. Kalau kita melarang tapi pemerintah desa tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka, ya akhirnya ke situ juga arahnya,” ungkap Jaro Iwan.
Meski begitu, upaya kolaborasi terus berjalan. “Kolaborasi dengan taman nasional untuk menjaga hutan sudah berjalan. Di sini kami punya prinsip, ‘leuweung hejo, urang masyarakat bisa ngejo’ (hutan hijau, masyarakat bisa makan nasi). … desa punya program Katapang (Ketahanan Pangan). Kami salurkan sesuai kebutuhan warga Ciptamulya, misalnya untuk sarana air bersih atau irigasi ke area persawahan,” pungkasnya.
Pemerintah daerah, melalui Dinas Pertanian, turut mendukung. Eris Firmansyah, Kabid Penyuluhan, menyebut pipanisasi adalah langkah yang tepat. “Kampung adat berada di hulu sungai dan wilayah tangkapan air, sehingga pembangunan pipanisasi merupakan langkah yang sesuai tanpa mengubah bentang alam. Kami telah membangun pipanisasi di Kasepuhan Ciptamulya dan Gelar Alam (Ciptagelar),” jelasnya.
Pihaknya juga terus membina pertanian lestari. “Kami membina budidaya pertanian lestari agar masyarakat turut menjaga kelestarian ekosistem,” ujarnya.
Kasepuhan Ciptamulya kini berada di persimpangan antara harmoni warisan leluhur dan tekanan zaman. Namun, selama Opok dan Uday masih sigap menjaga pipa, selama air masih mengalir dari sirah cai, dan leuit tetap penuh padi, harapan itu tetap hidup di kaki Gunung Halimun.
Reportase kolaboratif ini pertama kali terbit di SukabumiUpdate.Com dengan judul Air Mengalir, Hutan Terancam: Kasepuhan Ciptamulya di Tengah Perubahan Iklim dan Tambang Ilegal
- Perjuangan Kasepuhan Ciptamulya menjaga mata air dari gempuran tambang
- APINDO Sumsel bersama petani kopi meretas jalan investasi hijau
- Transisi hijau untuk keadilan iklim, alam dan manusia
- Indonesia menuju COP30, antara janji dan realitas di lapangan
- Hadapi tiga krisis planet, suara pemuda Indonesia menggema di Abu Dhabi
- COP30 di Amazon: Dunia butuh strategi lebih baik untuk lepas dari energi fosil