Sejarah perlawanan Cireundeu adalah model hidup tentang kedaulatan pangan yang jadi fondasi bagi kemerdekaan yang sesungguhnya.

Di sebuah lembah yang diapit denyut modernitas Kota Cimahi, Jawa Barat pagi di Kampung Adat Cireundeu datang dengan ritme yang berbeda. Udara sejuk membawa aroma tanah basah dan asap tipis dari dapur-dapur sederhana. Di sini, di tengah hiruk pikuk berita nasional tentang harga beras yang melonjak, ancaman El Niño yang mengeringkan sawah, dan kapal-kapal yang mengangkut beras impor, ada ketenangan yang hampir terasa janggal. 

Ketenangan itu terhidang dalam sebuah mangkuk: semangkuk rasi, atau beras singkong, yang mengepul hangat. Teksturnya yang sedikit kenyal, dengan aroma khas yang lembut, menjadi pusat dari meja makan keluarga, sebuah jangkar tradisi yang telah bertahan lebih dari satu abad.

Di teras rumahnya yang sederhana, Abah Widi, seorang sesepuh berusia 63 tahun dengan sorot mata teduh, memandang kampungnya dengan rasa syukur. Ia bukan penjaga relik masa lalu, melainkan seorang kustodian dari masa kini yang tangguh. Baginya dan bagi sekitar 60 kepala keluarga di Cireundeu, kepanikan akan beras adalah sebuah gema dari dunia lain. 

Sejak 1918, komunitas penganut kepercayaan Sunda Wiwitan ini telah terinsulasi dari guncangan sistem pangan global. Mereka tidak menanam padi, tidak membeli beras, dan tidak merasakan kecemasan yang melanda jutaan saudara sebangsanya. Pilihan mereka untuk hidup dari sampeu (singkong) bukanlah sebuah keterbatasan, melainkan sebuah pernyataan kemerdekaan.

Kisah Cireundeu adalah sebuah antitesis yang tajam terhadap narasi pangan nasional. Ketika pemerintah berjuang menstabilkan harga dan stok beras, warga Cireundeu justru menemukan keamanan dalam umbi-umbian yang tumbuh subur di lahan mereka. Kemandirian ini melahirkan sebuah intuisi kolektif yang menjadi perisai tak terlihat. Abah Widi menggambarkannya dengan sederhana namun mendalam.

“Warga adat Cireundeu mah seperti sudah punya naluri kalau berbelanja atau membeli makanan di luar yang terbuat dari beras. Apalagi di sini mah enggak ada yang namanya kasus beras plastik,” katanya.

Pernyataan ini melampaui sekadar preferensi diet. “Naluri” yang disebut Abah Widi adalah bentuk pengetahuan budaya yang terinternalisasi, sebuah kearifan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ini adalah mekanisme pertahanan otomatis yang melindungi mereka dari kerapuhan sistem pangan industri. 

Kasus “beras plastik” yang pernah menghebohkan adalah gejala dari rantai pasok yang panjang, tidak transparan, dan rentan terhadap penipuan—sebuah realitas yang sama sekali asing bagi komunitas yang menanam, memanen, dan mengolah makanannya sendiri.

Dengan demikian, tradisi mereka bukanlah tentang kekurangan (tidak makan nasi), melainkan sebuah bentuk manajemen risiko yang canggih. Di tengah ancaman krisis iklim dan ketidakpastian pasar global, praktik hidup Cireundeu yang berakar pada kearifan lokal menawarkan sebuah visi yang kuat tentang resiliensi sejati, sebuah konsep yang menjadi inti dari pencarian solusi lingkungan.

Untuk memahami mengapa semangkuk rasi memiliki makna yang begitu dalam bagi masyarakat Cireundeu, kita harus kembali ke tahun 1918. Momen itu bukanlah sekadar peralihan menu, melainkan sebuah titik balik yang lahir dari penindasan dan semangat untuk bertahan hidup. Keputusan untuk meninggalkan beras adalah sebuah tindakan politis yang sadar, sebuah strategi perlawanan terhadap kekuatan kolonial yang mencengkeram tanah air.

Abah Widi, sebagai pewaris cerita lisan para leluhurnya, menuturkan akar sejarah ini dengan gamblang. “Penjajah kan dulu ambil hasil bumi dan lahan, supaya pribumi kelaparan dan tak bisa menggarap lahan sendiri. Makanya sesepuh Cirendeu dulu memberikan pemahaman tentang cara bertahan hidup yang tidak bergantung pada beras,” jelasnya. 

Dalam kalimat tersebut, terungkap sebuah logika perlawanan yang brilian. Ketika sawah-sawah dirampas dan padi menjadi komoditas yang dikontrol oleh penjajah, ketergantungan pada beras sama artinya dengan menyerahkan nasib pada penindas. Para tetua Cireundeu saat itu menyadari bahwa kedaulatan sejati dimulai dari perut. Dengan melepaskan diri dari beras, mereka memutus salah satu rantai kendali kolonial.

Langkah ini bukanlah sekadar mengganti satu sumber karbohidrat dengan yang lain. Ini adalah sebuah strategi diversifikasi pangan yang cermat untuk memastikan kelangsungan hidup. “Sejak 1918 warga di sini mulai beralih makanan pokok dari beras ke hasil pertaninan yang lain, seperti singkong, ganyol, anjeli, jagung, hingga talas,” tambah Abah Widi. 

Pilihan untuk beralih ke umbi-umbian dan biji-bijian lokal yang kurang menarik secara komersial bagi penjajah adalah sebuah langkah untuk merebut kembali kendali atas subsistensi mereka. Ini adalah tindakan “dekolonisasi pola makan” yang radikal, sebuah penegasan identitas dan kemandirian di tengah upaya penghapusan budaya dan eksploitasi ekonomi.

Warisan perlawanan ini telah terpatri dalam DNA komunal Cireundeu. Ia membentuk cara mereka memandang dunia, hubungan mereka dengan tanah, dan keteguhan mereka dalam menghadapi tekanan eksternal. Semangat kemandirian yang lahir dari penindasan kolonial kini termanifestasi dalam ketahanan mereka menghadapi “penjajahan” bentuk baru: ketergantungan pada pasar global dan sistem pangan industri. 

Jika dulu mereka melawan kontrol atas lahan, kini mereka secara tidak langsung melawan volatilitas harga komoditas global, ancaman residu pestisida, dan erosi keanekaragaman hayati. 

Sejarah perlawanan Cireundeu lebih dari sekadar catatan masa lalu; ia adalah model hidup tentang bagaimana kedaulatan pangan dapat menjadi fondasi bagi kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebuah narasi yang sangat relevan dengan isu-isu lingkungan dan sosial saat ini.

Filosofi singkong
Pilihan masyarakat Cireundeu untuk hidup dari singkong bukanlah semata-mata keputusan pragmatis yang lahir dari sejarah. Ia tertanam dalam sebuah filosofi yang kaya dan pandangan dunia ekologis yang mendalam, yang bersumber dari ajaran Sunda Wiwitan. Bagi mereka, makanan tidak dapat dipisahkan dari kosmos, dan cara mereka berinteraksi dengan sampeu mencerminkan hubungan yang penuh hormat dengan alam semesta.

Abah Widi menguraikan perbedaan filosofis ini melalui bahasa. “Kalau diselami secara bahasa, pare (padi) itu kan parab anu rea (makanan yang banyak), nah kalau sampeu, ya sampeureun harus didatangi,” tuturnya. 

Analisis linguistik sederhana ini membuka jendela menuju pandangan dunia yang berbeda secara fundamental. Pare, sebagai “makanan yang banyak,” menyiratkan sebuah komoditas massal, sesuatu yang tersedia melimpah dan seringkali diterima begitu saja. Sebaliknya, sampeu, yang harus “didatangi” (sampeureun), menuntut sebuah tindakan aktif, sebuah upaya sadar untuk mendekat, merawat, dan memanen. Filosofi ini menempatkan manusia bukan sebagai konsumen pasif, melainkan sebagai partisipan aktif dalam siklus kehidupan, yang harus menjalin hubungan timbal balik dengan sumber makanannya.

Pandangan dunia ini diperkuat oleh pepatah yang menjadi kompas hidup masyarakat Cireundeu: “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat,”. 

Jika diterjemahkan, pepatah ini berarti, “Tidak Punya Sawah Asal Punya Padi, Tidak Punya Padi Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Bisa Menanak Nasi, Tidak Menanak Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat,”. 

Ini adalah sebuah kerangka kerja resiliensi yang luar biasa. Pepatah ini mendekonstruksi obsesi terhadap satu jenis makanan (nasi) dan menyusun ulang prioritas kehidupan. Tujuan utamanya bukanlah nyangu (makan nasi), melainkan dahar (makan untuk hidup) dan, yang terpenting, kuat (memiliki kekuatan untuk menjalani hidup).

Secara tidak langsung, filosofi ini adalah sebuah kritik tajam terhadap kebijakan “berasisasi” atau “nasinisasi” yang digalakkan sejak era Orde Baru. Kebijakan tersebut menyamakan kemajuan dan kecukupan pangan dengan konsumsi beras, yang secara sistematis meminggirkan pangan lokal lain seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian yang selama berabad-abad menjadi tulang punggung pangan di berbagai wilayah nusantara. Cireundeu, dengan pepatahnya, menawarkan sebuah penawar filosofis: ketahanan sejati tidak terletak pada ketersediaan satu komoditas, melainkan pada kemampuan untuk bertahan dan menjadi kuat dengan apa pun yang disediakan oleh alam sekitar.

Ekologi kehidupan ini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga terwujud secara fisik dalam tata ruang kampung. Masyarakat Cireundeu menjaga tiga kawasan hutan dengan fungsi yang berbeda: Hutan Larangan (Leuweung Larangan) yang sakral dan tidak boleh dimasuki, Hutan Tutupan (Leuweung Tutupan) sebagai area resapan air dan penyangga ekosistem, dan Hutan Baladahan (Leuweung Baladahan) yang boleh dimanfaatkan untuk pertanian. 

Sistem tiga hutan ini adalah paru-paru dan jantung komunitas, memastikan ketersediaan air bersih, menjaga iklim mikro, dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati. Ini adalah manifestasi nyata dari prinsip mipit kudu amit, ngala kudu bebeja—sebuah etika ekologis yang mengharuskan izin dan rasa hormat kepada alam sebelum mengambil hasilnya.

Di tengah gempuran modernitas, Cireundeu tidak menutup diri. Mereka menerima teknologi dan mendorong anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi. Namun, ada satu syarat mutlak, seperti yang ditekankan Abah Widi. “Cireundeu secara geografis bisa dibilang kampung adat yang ada di tengah kota. Gempuran teknologi dan pendidikan itu ada. Tapi yang jelas zaman sama saja dari dulu juga, yang mengubah ya manusia. Intinya jangan lupa bahasa ibu dan sejarah,” katanya. 

Mereka mempraktikkan integrasi selektif, menyaring modernitas melalui filter kearifan leluhur, memastikan bahwa kemajuan tidak mencabut mereka dari akar budaya dan filosofi hidup yang telah terbukti membuat mereka kuat.

Jalinan sosial kedaulatan pangan
Model ketahanan pangan Cireundeu tidak akan berfungsi tanpa adanya struktur sosial yang kuat untuk menopangnya. Di balik setiap mangkuk rasi yang tersaji, terdapat sebuah sistem komunal yang hidup, di mana gotong royong menjadi napasnya dan peran perempuan menjadi jantungnya. Ini adalah sebuah ekonomi yang digerakkan bukan oleh laba, melainkan oleh semangat untuk melestarikan budaya.

Prinsip kerja sama komunal adalah fondasi dari semua aktivitas di Cireundeu, mulai dari mengolah lahan hingga menyelenggarakan upacara adat. “Gotong royong adalah hal yang lumrah, ditambah peran perempuan di sini yang belajar mengolah hasil pertaninan hingga punya nilai ekonomis sangat berdampak pada ketahanan pangan,” tegas Abah Widi. 

Pernyataan ini menyoroti dua pilar utama: kohesi sosial dan pemberdayaan perempuan. Gotong royong memastikan bahwa beban kerja terdistribusi dan tidak ada anggota masyarakat yang tertinggal, sementara inovasi yang dipimpin oleh para perempuan mengubah hasil panen menjadi produk bernilai tambah, memperkuat ekonomi lokal dari dalam.

Para perempuan di Cireundeu adalah motor penggerak ekonomi kreatif berbasis singkong. Melalui kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), mereka telah mengubah sampeu menjadi berbagai macam produk olahan yang lezat dan bergizi. Selain rasi sebagai makanan pokok, ada juga endog-endogan (semacam cimol), keripik, aneka kue, hingga tepung singkong serbaguna. 

Kreativitas ini tidak hanya mendiversifikasi menu harian, tetapi juga menciptakan sumber pendapatan tambahan bagi keluarga. Ini adalah model pembangunan ekonomi dari bawah (grassroots) yang inklusif gender, di mana perempuan tidak hanya menjadi pengolah, tetapi juga inovator dan penjaga ketahanan pangan keluarga.

Namun, yang paling membedakan model ekonomi Cireundeu adalah filosofi yang mendasarinya. Di dunia yang terobsesi dengan pertumbuhan dan keuntungan, mereka menempatkan budaya di atas modal. Abah Widi menjelaskan prinsip ini dengan sangat jelas. “Di sini ada UMKM pangan singkong yang dikelola ibu-ibu. Kalau ditanya peluang bisnis memang besar dan ada pasarnya. Tapi, kami memegang prinsip ini adalah salah satu pelestarian budaya, untung atau rugi itu hal kesekian,” tuturnya.

Ini adalah sebuah pernyataan radikal yang menantang logika ekonomi konvensional. Prinsip “budaya dulu, untung kemudian” bukanlah sebuah sikap anti-ekonomi, melainkan sebuah strategi resiliensi jangka panjang yang lebih unggul. Model yang murni digerakkan oleh laba akan selalu rentan terhadap godaan jangka pendek: mengeksploitasi lahan secara berlebihan, beralih ke tanaman komersial yang lebih menguntungkan jika pasar berubah, atau menjual tanah kepada pengembang. 

Semua tindakan ini, meskipun mungkin menguntungkan secara finansial dalam waktu singkat, pada akhirnya akan menghancurkan fondasi keberlanjutan mereka.

Dengan menjadikan pelestarian budaya sebagai tujuan utama, masyarakat Cireundeu secara tidak langsung melindungi aset mereka yang paling berharga: modal sosial (gotong royong), pengetahuan ekologis, dan kedaulatan atas tanah. Keuntungan ekonomi menjadi hasil sampingan yang bermanfaat, bukan tujuan yang menghalalkan segala cara. Ini menciptakan sebuah siklus yang saling menguatkan: budaya menopang ekonomi, dan ekonomi menopang budaya. 

Ini adalah pelajaran mendalam tentang pembangunan berkelanjutan yang melampaui retorika tanggung jawab sosial perusahaan, menawarkan model ekonomi yang benar-benar berakar pada kesejahteraan komunal dan kelestarian ekologis. Tentu saja, di balik semua filosofi dan sistem yang kompleks ini, ada kenikmatan sederhana dari makanan itu sendiri. 

“Memang lebih enak kalau pakai lauk, biar ada rasanya,” kata Abah Widi sambil tersenyum. 

Komentar ini memanusiakan pengalaman mereka, mengingatkan kita bahwa di jantung kedaulatan pangan, ada juga kehangatan dan cita rasa dari hidangan yang disantap bersama.

Kisah Kampung Cireundeu lebih dari sekadar cerita unik tentang sebuah komunitas adat. Ia adalah sebuah studi kasus hidup yang menawarkan kritik mendalam dan solusi potensial bagi kebijakan pangan dan iklim nasional Indonesia. Melalui kearifan mereka yang bersahaja, masyarakat Cireundeu mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang arah pembangunan bangsa.

Kritik senyap ini paling tajam terdengar dalam pertanyaan reflektif Abah Widi. “Kadang saya mah suka bertanya, kenapa negeri yang tanahnya subur aja masih impor beras dari luar,” ungkapnya.

Pertanyaan ini, yang lahir dari pengalaman hidup selama lebih dari satu abad tanpa bergantung pada beras, menelanjangi paradoks utama dalam sistem pangan Indonesia. Sebuah negara agraris dengan tanah yang subur dan keanekaragaman hayati yang melimpah, namun sangat bergantung pada impor untuk makanan pokoknya. Pertanyaan Abah Widi bukanlah sekadar keluhan, melainkan sebuah tesis yang menuntut jawaban serius.

Untuk mengkontekstualisasikan pertanyaan tersebut, data nasional melukiskan gambaran yang suram. Indonesia secara konsisten mengimpor jutaan ton beras setiap tahun untuk menutupi defisit produksi dan menstabilkan harga. Ketergantungan ini membuat negara sangat rentan terhadap gejolak harga di pasar internasional dan perubahan kebijakan di negara-negara pengekspor. 

Di sisi lain, pertanian padi monokultur yang masif memiliki dampak ekologis yang signifikan, termasuk emisi gas metana yang tinggi dari sawah tergenang, penggunaan air yang boros, dan hilangnya keanekaragaman hayati akibat penyeragaman lahan. Singkong dan umbi-umbian lainnya, sebaliknya, jauh lebih tahan terhadap kekeringan, membutuhkan lebih sedikit input, dan memiliki jejak karbon yang lebih rendah.

Namun, yang membuat perspektif Cireundeu begitu kuat adalah dimensi kemanusiaannya. Meskipun mereka aman dari krisis beras, mereka tidak hidup dalam gelembung isolasi. Ada empati yang mendalam terhadap sesama warga negara yang berjuang. 

“Kami memang tidak terpengaruh soal naiknya harga beras, tapi Abah mah sok punya rasa peduli terhadap orang-orang yang kelaparan, tidak bisa beli beras, anaknya banyak. Karena yang disentuh itu rasa terhadap manusia,” kata Abah Widi. 

Kedaulatan mereka tidak membuat mereka apatis; sebaliknya, ia mempertajam kepekaan sosial mereka. Mereka melihat penderitaan yang disebabkan oleh sistem yang rapuh dan mempertanyakan mengapa sistem tersebut terus dipertahankan.

Pada akhirnya, Abah Widi mengidentifikasi akar masalahnya bukan pada teknis pertanian atau kebijakan ekonomi semata, melainkan pada sesuatu yang lebih mendasar. “Tantangan serius adalah mengubah pola pikir. Kadang secara batin saya merasa kasihan terhadap orang-orang yang masih kelaparan karena tak bisa makan nasi. Padahal Cireundeu 107 tahun tidak makan nasi beras,” ujarnya. 

“Pola pikir” yang dimaksud adalah dogma bahwa nasi adalah satu-satunya makanan yang layak, sebuah ideologi yang telah begitu mendarah daging sehingga kelaparan seringkali didefinisikan sebagai “belum makan nasi.” Cireundeu membuktikan bahwa definisi ini keliru. Selama lebih dari satu abad, mereka telah menunjukkan bahwa hidup yang bergizi, bermartabat, dan kuat sangat mungkin dijalani tanpa sebutir beras pun.

Masa depan Cireundeu, seperti halnya komunitas adat lainnya, tidak lepas dari tantangan. Namun, cara mereka menghadapi tantangan tersebut sekali lagi menunjukkan ketangguhan dan kearifan yang telah teruji oleh waktu. Kisah mereka diakhiri bukan dengan sebuah kesimpulan yang statis, melainkan dengan sebuah visi yang terbuka dan penuh harapan.

Salah satu tantangan terbesar adalah tekanan sosial dari dunia luar yang seringkali tidak memahami pilihan hidup mereka. Stigma terhadap makanan non-beras masih kuat di banyak tempat. Abah Widi mengenang pengalamannya sendiri. 

“Abah ada cerita dulu waktu kecil pernah dipoyok (diolok-olok) karena dianggap aneh makan nasi singkong oleh teman sebaya. Setelah ditelaah ya itu wajar dan kami maklum. Sebetulnya juga tidak sedikit warga adat juga mengalami hal sama, tapi ya balik lagi, maklum,” katanya. 

Sikap “maklum” ini bukanlah tanda kepasrahan, melainkan cerminan dari kepercayaan diri yang mendalam. Mereka tidak perlu validasi eksternal karena mereka tahu nilai dari tradisi yang mereka jalani.

Pada akhirnya, pesan terpenting dari Cireundeu adalah sebuah undangan untuk refleksi dan inspirasi. Harapan Abah Widi bukanlah agar seluruh Indonesia meniru Cireundeu secara harfiah, melainkan agar semangat kemandirian mereka direplikasi. 

“Saya mah syukur-syukur ada Cireundeu-Cireundeu yang lain malahan,” pungkasnya. 

Ini adalah sebuah panggilan bagi komunitas-komunitas lain di seluruh nusantara untuk kembali menggali kearifan pangan lokal mereka sendiri, untuk menemukan kembali “singkong,” “sagu,” atau “jagung,” mereka, dan membangun model kedaulatan pangan mereka sendiri yang sesuai dengan konteks ekologis dan budaya masing-masing.

Di tengah krisis iklim, pangan, dan energi yang saling berkelindan, dunia seringkali mencari solusi pada inovasi teknologi canggih atau kebijakan global yang rumit. Kisah Kampung Adat Cireundeu mengingatkan kita bahwa solusi yang paling radikal dan berkelanjutan mungkin tidak ditemukan di laboratorium atau ruang konferensi PBB, tetapi dalam kearifan sunyi sebuah komunitas yang telah mempraktikkan masa depan selama lebih dari satu abad. 

Mereka mengajarkan bahwa ketahanan sejati tidak dibangun dari beton dan baja, tetapi dari tanah yang sehat, ikatan sosial yang kuat, dan filosofi hidup yang menghormati batas-batas alam. Cireundeu adalah bukti hidup bahwa jalan menuju masa depan yang lebih aman dan adil mungkin berarti melangkah mundur sejenak untuk menemukan kembali apa yang telah kita lupakan.

Reportase kolaboratif ini pertama kali terbit di AyoBandung dengan judul Seabad Lebih Tanpa Nasi, Kampung Cireundeu Pertahankan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Lokal Lewat Singkong

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses