Jurnalisme konstruktif mengatasi kelelahan informasi dengan menawarkan perspektif berfokus pada pemahaman, solusi, dan harapan nyata dalam menghadapi krisis iklim.

Setiap pagi, ponsel kita menyuguhkan berita yang sama: banjir bandang, suhu ekstrem, hutan terbakar, spesies punah, permukaan laut naik. Dalam beberapa detik, timeline berubah menjadi katalog bencana. Sementara alarm ilmiah terus berbunyi, sebagian masyarakat justru menekan tombol “mute” bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka kelelahan.

Selama bertahun-tahun, pemberitaan tentang lingkungan hidup di Indonesia identik dengan krisis: banjir bandang, kebakaran hutan, polusi udara, kriminalisasi pembela lingkungan. Dalam liputan bencana iklim, jurnalis sering kali terjebak pada pola lama: memperlihatkan kehancuran tanpa ruang untuk memahami akar masalah atau jalan keluarnya. Masyarakat menjadi penonton dari tragedi yang terus berulang.

Padahal, riset dari Constructive Institute menunjukkan bahwa audien yang disuguhi berita bencana terus menerus cenderung mengalami news fatigue: kondisi ketika masyarakat merasa kewalahan, cemas. Dan akhirnya menjauh dari informasi iklim karena merasa tidak berdaya. Kondisi ini kini banyak ditemukan di Indonesia terutama di kota besar dan menjadi tantangan besar bagi media lingkungan hidup.

Namun, beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan jurnalistik menawarkan arah baru: jurnalisme konstruktif. Pendekatan ini tidak hanya menyajikan masalah, tetapi juga menawarkan pemahaman, perspektif, dan kemungkinan yang membuat publik tetap peduli tanpa tenggelam dalam rasa putus asa. Jurnalisme konstruktif ini menggeser fokus berita dari ketakutan menjadi pemahaman, dari kemarahan menjadi kemungkinan.

“Kita tidak boleh berhenti di masalah. Kalau berhenti di masalah, pembaca cuma takut, tapi tidak bergerak,” sebut Henrik Grunnet, penasihat senior IMS (International Media Support) dari Denmark sekaligus pengajar jurnalisme konstruktif.

Ketika pemberitaan membuat publik menjauh
Risiko kelelahan berita iklim bukan sekadar teori. Sejumlah riset menunjukkan bahwa: audien yang terlalu sering menerima berita negatif tentang bencana cenderung berhenti membaca. Paparan terus-menerus terhadap narasi “kiamat iklim” dapat meningkatkan kecemasan dan rasa tidak mampu bertindak. Selain itu, pembaca muda merasa isu lingkungan terlalu besar dan “tidak mungkin diselesaikan”, sehingga memilih fokus pada isu lain.

Di Indonesia, ini terlihat dari menurunnya keterlibatan pembaca pada liputan bencana atau analisis kebijakan yang dinilai “berat” atau “menguras energi emosional”. Banyak yang merasa: Buat apa tahu kalau aku tak bisa berbuat apa-apa? Dan di sinilah konstruktif menjadi penting.

Jurnalisme konstruktif tidak menghindari fakta pahit. Jurnalisme ini tetap jujur, kritis, dan berbasis data. Namun ada perbedaan penting: konstruktif mengarahkan berita tidak hanya pada kerusakan, tetapi juga pada kemungkinan.

Angka banjir disajikan bersama penjelasan mengapa hal itu terjadi, apa yang bisa diperbaiki, dan contoh kota yang berhasil menekan risiko. Liputan kebakaran hutan tidak berhenti pada kabut asap, tetapi juga menggambarkan bagaimana masyarakat adat mempertahankan sistem tata lahan yang adaptif.

Di sinilah harapan muncul bukan sebagai penghiburan, tetapi sebagai pemahaman yang terverifikasi.

Mengurangi fatigue dengan mengubah cara bercerita
Berikut beberapa prinsip jurnalisme konstruktif yang terbukti membantu publik tetap terhubung dengan isu lingkungan tanpa merasa kewalahan:

  1. Menghadirkan konteks, bukan hanya bencana
    Contohnya, berita “banjir melanda 7 kabupaten” membuat pembaca cemas, tetapi tidak memberi arah. Bandingkan dengan cerita “bagaimana tata ruang dan restorasi sungai menurunkan risiko banjir di daerah X” memberi gambaran yang lebih utuh. Konteks adalah salah satu cara paling efektif mengurangi kecemasan.
  2. Mengangkat solusi yang terbukti (bukan sekadar inspirasi)
    Kunci lain dalam mengurangi news fatigue adalah memperlihatkan solusi yang realistis dan dapat dipelajari, misalnya: teknologi penjernihan air murah buatan warga NTT, peta risiko desa dari komunitas pesisir Aceh atau Kebijakan plastik sekali pakai yang berhasil menurunkan 50% sampah di Bali. Solusi seperti ini membuat masalah terasa tidak sebesar itu untuk dihadapi.
  3. Menghadirkan tokoh yang bisa menjadi “jendela harapan”
    Dalam setiap krisis, selalu ada orang-orang yang mencoba memperbaiki keadaan: ibu-ibu yang menginisiasi bank sampah, nelayan yang merestorasi mangrove, petani yang bereksperimen dengan pola tanam adaptif.
    Tokoh-tokoh ini bukan pahlawan. Mereka bekerja dalam keterbatasan, dan justru itu yang membuat mereka relevan. Mereka mewakili kemungkinan kecil yang dapat diperbanyak, sehingga publik merasa lebih dekat dengan isu.
  4. Menawarkan pemahaman, bukan menyuruh pembaca untuk “bertindak sekarang juga”
    Masyarakat sering kewalahan karena merasa dituntut bertindak, seperti: “Kurangi jejak karbonmu!”, “Stop plastik!” atau “Tanam pohon!”

Jurnalisme konstruktif menggeser tuntutan ini menjadi informasi yang mengajak dan membuat publik merasa mampu bergerak tanpa tekanan moral yang memicu kelelahan.

Jendela yang lebih dekat dan menguatkan publik
Isu lingkungan sering kali dipersepsikan sebagai isu elit; penuh istilah teknis, ilmiah, dan abstrak. Padahal dampaknya terasa sangat personal: dari harga beras hingga napas yang kita hirup. Dengan pendekatan konstruktif, media dapat menjembatani jarak itu.

Cerita disampaikan dari sudut pandang seseorang: ibu yang mengajari anaknya memilah sampah, warga pesisir yang menanam mangrove agar rumah mereka tak hilang atau anak muda yang membuat aplikasi pemantau emisi kendaraan. Ketika pembaca melihat diri mereka dalam cerita-cerita ini, mereka tidak hanya memahami isu tapi mereka merasa menjadi bagian dari solusi. Inilah yang membuat mereka tetap membaca, tetap peduli, dan tetap terlibat.

Mendorong aksi dari berbagai arah
Di banyak negara, pendekatan konstruktif terbukti memberi dampak nyata. Di Denmark, serial liputan tentang transisi energi mendorong pemerintah setempat mempercepat pengembangan tenaga angin skala kota.

Di Filipina, liputan konstruktif tentang adaptasi bencana membantu desa-desa pesisir mendapat akses pendanaan internasional. Di Indonesia seniri, beberapa media yang mengangkat praktik inovatif seperti bank sampah atau restorasi mangrove terbukti meningkatkan dukungan dari pemerintah daerah dan perusahaan setempat.

Kelelahan berita iklim bukan hanya masalah psikologis tapi bisa berdampak pada: menurunnya tekanan publik terhadap pemerintah, berkurangnya dukungan terhadap kebijakan lingkungan atau turunnya partisipasi masyarakat dalam gerakan iklim bahkan longgarnya pengawasan terhadap korporasi.

Namun, dengan jurnalisme konstruktif, media bisa membalik tren ini. Ketika publik melihat bahwa perubahan itu mungkin, meski kecil, mereka lebih cenderung: mendukung kebijakan berbasis sains, mengawasi perusahaan, ikut terlibat dalam gerakan lokal, atau sekadar membuat pilihan sehari-hari yang lebih baik. Dan itu penting. Karena perubahan iklim tidak hanya membutuhkan data tetapi juga ketahanan emosional.

Menyajikan harapan yang bertanggung jawab
Di tengah badai informasi iklim yang melelahkan, jurnalisme konstruktif hadir bukan untuk menenangkan, tetapi untuk memberdayakan. Jurnalisme konstruktif tidak menyederhanakan masalah, tidak menutupi kegagalan pemerintah atau korporasi, tidak menjual harapan palsu. Tetapi, mengembalikan ruang berpikir publik, memberi jeda bagi napas mereka, dan mengingatkan bahwa di antara kabar buruk, selalu ada upaya yang layak diperbesar.

Karena masa depan lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kebijakan dan teknologi, tetapi juga oleh cerita. Cerita yang membuat kita percaya bahwa perubahan itu mungkin dan sudah dimulai dari tempat-tempat kecil yang selama ini luput dari sorotan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses