SNDC adalah sebuah dokumen yang diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, berisi janji-janji untuk memerangi krisis iklim.

Di atas panggung iklim dunia, Indonesia telah membentangkan sebuah cetak biru yang megah. Namanya Second Nationally Determined Contribution (SNDC), sebuah dokumen setebal puluhan halaman yang diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, berisi janji-janji ambisius untuk memerangi krisis iklim. Di atas kertas, komitmen ini tampak mengesankan: target penurunan emisi yang lebih tinggi, metodologi yang lebih transparan, dan sebuah peta jalan menuju Net Zero Emission pada 2060. Ini adalah wajah modern Indonesia—sebuah bangsa yang siap memimpin dengan data, target, dan strategi.

Namun, jika kita bergeser dari ruang-ruang rapat penyusun SNDC di Jakarta menuju keheningan hutan-hutan di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, sebuah cerita yang sama sekali berbeda akan terungkap. Di sana, di bawah naungan pohon-pohon raksasa yang telah berdiri selama berabad-abad, hidup para penjaga iklim sejati. Mereka adalah masyarakat adat, yang selama beberapa generasi telah merawat ekosistem dengan sistem pengetahuan yang jauh lebih tua dari dokumen kebijakan mana pun.

Dan disinilah letak tragedi dari rencana iklim Indonesia. Dokumen SNDC yang canggih itu memiliki sebuah “titik buta” yang fatal. Ia gagal melihat, apalagi mengakui, para penjaga ini. 

Menurut Cindy Julianty, Koordinator Eksekutif Working Group ICCAs Indonesia (WGII), masalahnya bukan terletak pada ketiadaan visi, melainkan pada jurang antara rencana dan kenyataan. “Tantangan terbesar SNDC bukan pada visinya, tetapi pada penerjemahannya menjadi strategi, indikator, dan kelembagaan yang operasional,” tegasnya.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa pendekatan yang berat sebelah ini bisa menjadi bumerang. “Integrasi adaptasi dan mitigasi dalam SNDC belum sampai pada level kebijakan dan sistem. Padahal, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah inisiatif mitigasi justru dapat menimbulkan kerentanan baru,” kata Cindy. “Karena itu, penting memastikan agar adaptasi dan mitigasi menjadi timbal balik positif yang saling memperkuat. Ini harus melalui kebijakan yang juga mengedepankan HAM dan melindungi ruang hidup serta penghidupan masyarakat.”

Ini adalah kisah tentang dua dunia yang berjalan paralel namun tak pernah bertemu: dunia kebijakan iklim yang teknokratis dan dunia masyarakat adat yang hidup dalam harmoni ekologis. SNDC, dengan segala ambisinya, berisiko menjadi sebuah monumen kosong karena ia dibangun tanpa pondasi terkuatnya.

Ensiklopedia Hutan yang Hidup
Jauh sebelum istilah “mitigasi” dan “adaptasi” menjadi jargon global, masyarakat adat di seluruh Nusantara telah mempraktikkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Praktik mereka bukanlah program atau proyek, melainkan sebuah cara hidup yang dijalin dari pengetahuan, spiritualitas, dan penghormatan mendalam terhadap alam.

Bayangkan sistem Tembawang suku Dayak di Kalimantan. Dari kejauhan, ia tampak seperti hutan belantara, tetapi sesungguhnya adalah sebuah kebun agroforestri yang dirancang dengan jenius, menyerupai “hutan tropis mini”. Penelitian ilmiah modern hanya bisa mengonfirmasi apa yang telah diketahui leluhur Dayak selama berabad-abad: Tembawang menyimpan karbon dua kali lebih banyak daripada kebun karet biasa. Namun, bagi masyarakat, ia lebih dari sekadar penyerap karbon; ia adalah lumbung pangan, apotek hidup, dan perpustakaan keanekaragaman hayati.

Di Lombok, suku Sasak hidup di bawah naungan hukum adat Awiq-Awiq, seperangkat aturan sosial yang menjaga hutan dari penebangan liar. Di Maluku, sistem Sasi menjadi jeda sakral bagi alam, melarang sementara pemanenan hasil laut atau darat agar ekosistem dapat memulihkan dirinya—sebuah praktik yang terbukti secara ilmiah meningkatkan biomassa hingga 70%. Sementara itu, masyarakat Baduy di Banten dan Ammatoa Kajang di Sulawesi, dengan filosofi hidup mereka yang memuliakan alam, berhasil mempertahankan hutan mereka nyaris tak tersentuh.

Ini bukan sekadar cerita-cerita romantis. Data keras membuktikan efektivitas mereka. Sebuah kajian menunjukkan bahwa emisi karbon di wilayah adat secara signifikan lebih rendah dibandingkan di luar wilayah adat. Ironisnya, lebih dari separuh deforestasi di Indonesia justru terjadi di dalam konsesi legal yang diberikan negara kepada korporasi.

Namun, dalam dokumen SNDC, kekayaan pengetahuan ini direduksi menjadi sekadar “praktik baik”. Pemerintah seolah ingin memetik buahnya—kemampuan menyimpan karbon—tanpa mengakui pohon dan tanah tempat ia tumbuh. Ini adalah sebuah kekeliruan fatal. Kearifan ini tidak bisa dicangkokkan ke dalam program pemerintah yang kaku. Ia hidup dan bernafas hanya ketika masyarakat memiliki kedaulatan atas wilayah adat mereka.

Janji keadilan di atas kertas
Mengapa negara begitu sulit mengakui para penjaga hutan ini? Jawabannya terletak pada labirin hukum dan politik yang rumit. Pada tahun 2012, sebuah putusan Mahkamah Konstitusi (dikenal sebagai MK35) seharusnya menjadi fajar baru. Putusan itu secara tegas menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Ia adalah sebuah koreksi historis, sebuah pengakuan bahwa negara telah keliru mengklaim tanah leluhur yang telah dihuni jauh sebelum republik ini lahir.

Namun, lebih dari satu dekade berlalu, fajar itu tak kunjung tiba. Janji keadilan itu tersangkut dalam birokrasi yang lamban dan kepentingan politik di daerah. Untuk mendapatkan penetapan Hutan Adat dari pemerintah pusat, sebuah komunitas harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan melalui Peraturan Daerah (Perda). Proses ini menjadi tembok penghalang yang nyaris tak tertembus.

Hasilnya adalah sebuah “jurang pengakuan” yang menganga. Dari potensi hutan adat seluas 23,2 juta hektar, hanya sekitar 1,1% yang telah secara resmi ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang bisa menjadi payung hukum nasional, telah terkatung-katung di parlemen selama lebih dari 14 tahun.

Kegagalan hukum inilah yang menjadi akar dari titik buta SNDC. Karena negara secara formal belum mengakui sebagian besar wilayah adat, maka para teknokrat yang menyusun rencana iklim pun tidak dapat “melihat” mereka di atas peta. Alat-alat canggih pemerintah seperti Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK), yang memetakan kerentanan iklim, hanya membaca data administratif. Ia bisa melihat sebuah desa di tepi sungai, tetapi buta terhadap hukum adat yang mengatur bagaimana komunitas itu hidup berdampingan dengan banjir.

Tragedi Kinipan
Apa yang terjadi ketika kebijakan iklim yang buta ini bertemu dengan realitas di lapangan? Jawabannya dapat ditemukan dalam kisah pilu masyarakat adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah. Selama beberapa generasi, komunitas Dayak Tomun di sana hidup dari hutan mereka. Hutan adalah ibu, sumber pangan, obat-obatan, dan identitas.

Kemudian, sebuah perusahaan kelapa sawit datang, berbekal izin dari pemerintah. Hutan adat mereka, yang tidak diakui dalam peta resmi, dibabat habis. Ketika mereka melawan, mereka berhadapan dengan aparat. Puncaknya, ketua adat mereka, Effendi Buhing, ditangkap dengan tuduhan mencuri—sebuah taktik kriminalisasi yang lazim digunakan untuk membungkam perlawanan.29 Tak lama setelah hutan mereka hilang, bencana datang. Banjir bandang dahsyat menerjang desa, sesuatu yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Kisah ini mengilustrasikan dengan gamblang peringatan dari Agung Wibowo, Direktur Eksekutif HuMa. Menurutnya, menerapkan SNDC tanpa pengakuan hak akan melanggengkan kerusakan. “Bila second NDC diterapkan tanpa ada pengakuan hak terhadap kelompok rentan dan resolusi konflik terhadapnya, maka paradigma rezim penguasaan kehutanan yang ada justru dilanggengkan dan akan berjalan seperti ‘business as usual’,” ujarnya.

Ia menyoroti biaya tersembunyi yang tak pernah masuk dalam kalkulasi kebijakan iklim. “Eskalasi konflik tenurial masyarakat rentan akan semakin laten dan timbul fragmentasi yurisdiksi antar lembaga penyelenggara negara. Tentu ini dapat memperburuk konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Ongkos sengketa, bencana lingkungan, proses litigasi panjang, bahkan kekerasan lokal ini yang tak pernah dihitung dalam proses penyusunan NDC,” paparnya.

Jalan yang terlewatkan
SNDC Indonesia adalah sebuah dokumen yang lahir dari niat baik, namun disusun dalam sebuah ruang hampa, terputus dari denyut nadi masyarakatnya. Proses konsultasi publiknya sendiri menjadi cerminan dari keterputusan ini. Naskah lengkap tidak dibagikan, dan dokumen final diserahkan ke PBB hanya satu hari setelah konsultasi berakhir—sebuah formalitas yang mengabaikan partisipasi bermakna.

Hasilnya adalah sebuah rencana yang berat sebelah. Ia sangat kuat dalam menghitung target-target mitigasi, tetapi sangat lemah dalam membangun strategi adaptasi yang menyentuh akar ketahanan masyarakat. Program-program seperti Kampung Iklim (ProKlim) yang diandalkan, dalam praktiknya masih bersifat seremonial.

Lasti Fardilla Noor dari WGII merangkum masalah ini dengan tepat. Ia menyoroti bagaimana pemerintah mengukur keberhasilan. “Selama adaptasi masih diukur dari daftar kegiatan programatik, bukan dari sejauh mana kerentanan berhasil dikurangi, maka efektivitasnya sulit dinilai,” katanya, seraya menambahkan, “Hingga kini, pemerintah belum menetapkan target penurunan indeks kerentanan yang jelas.”

Namun, harapan belum padam. Kritik yang disuarakan oleh koalisi masyarakat sipil bukanlah penolakan, melainkan sebuah undangan untuk mengkalibrasi ulang kompas kebijakan iklim Indonesia. Jalan ke depan sudah jelas: negara harus berhenti melihat masyarakat adat sebagai objek program dan mulai merangkul mereka sebagai subjek, sebagai mitra, sebagai pemimpin aksi iklim.

Ini berarti mempercepat pengakuan wilayah adat secara hukum, mengesahkan RUU Masyarakat Adat, dan merombak total pendekatan kebijakan dari atas-ke-bawah menjadi kolaboratif. Karena pada akhirnya, solusi untuk krisis iklim tidak akan ditemukan hanya dalam grafik dan tabel emisi, tetapi dalam kearifan mereka yang telah menjaga bumi ini selama ribuan tahun.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses