Karbon biru menawarkan peluang luar biasa untuk melindungi pesisir, mendukung masyarakat, dan solusi krisis iklim global
Asia adalah rumah bagi hutan mangrove dunia. Lebih dari 40 persen ekosistem unik ini terhampar di kawasan Asia, dan Indonesia sendiri menyumbang hampir seperempat dari total hutan bakau di planet ini. Fakta ini bukan sekadar statistik geografis, melainkan penegas bahwa jantung mitigasi perubahan iklim global berdetak di pesisir nusantara.
Pentingnya posisi strategis ini menjadi sorotan utama dalam diskusi global yang kian mendesak mengenai “karbon biru” (blue carbon). Narasi inilah yang diangkat dalam Belantara Learning Series Episode 14 (BLS Eps.14) bertajuk “Mangrove Ecosystems and the Future of Blue Carbon”, sebuah forum internasional hasil kolaborasi Belantara Foundation dan Universitas Pakuan yang digelar secara hibrida pada Kamis, 20 November 2025.
Karbon biru, aset pesisir bernilai ganda
Di tengah krisis iklim yang kian nyata, mangrove tidak lagi hanya dipandang sebagai penahan ombak semata. Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, menekankan bahwa mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir paling berharga dan produktif di bumi.
Aspek paling krusial dari mangrove dalam konteks perubahan iklim adalah fungsinya sebagai penyimpan karbon biru—karbon yang terserap dan tersimpan di ekosistem pesisir dan laut. Namun, Dolly mengingatkan adanya “pedang bermata dua” dalam pengelolaan aset ini.
“Ketika ekosistem mangrove rusak atau terdegradasi, karbon yang tersimpan dalam jumlah besar juga akan dilepaskan kembali ke atmosfer,” ungkap Dolly.
Peran ganda inilah—sebagai penyerap raksasa sekaligus potensi emisi jika rusak—yang menempatkan konservasi mangrove sebagai inti strategi iklim nasional maupun internasional.
“Ekosistem mangrove dan karbon biru menawarkan peluang luar biasa bagi Indonesia, yaitu untuk melindungi kawasan pesisir, mendukung masyarakat, dan berkontribusi secara signifikan bagi solusi iklim global,” tambah Dolly.
Ia optimistis bahwa dengan langkah yang tepat, Indonesia bisa menjadi pemimpin global dalam isu ini. “Dengan berinvestasi dalam konservasi, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengintegrasikan karbon biru ke dalam kebijakan nasional, Indonesia dapat memimpin dunia dalam menunjukkan bagaimana solusi berbasis alam menciptakan masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Optimisme tersebut perlu ditopang oleh kebijakan yang kuat. Pemerintah Indonesia merespons tantangan ini melalui terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025 (PP 27/2025) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Perairan Darat, Puji Iswari, S.Hut., M.Si., yang mewakili Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, menegaskan bahwa regulasi ini memberikan kepastian hukum sekaligus menegaskan pengelolaan berbasis kesatuan lanskap.
“Implementasinya membutuhkan langkah konkret, kolaborasi, dan inovasi dari pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, akademisi, serta masyarakat,” ujar Puji. Ia menambahkan bahwa melalui PP ini dan regulasi turunannya, kebijakan tersebut diharapkan menjadi “pendorong nyata bagi perbaikan kualitas ekosistem mangrove, pengurangan kerusakan ekologis, dan warisan lingkungan yang berharga bagi generasi mendatang”.
Namun, kebijakan tanpa dasar sains sering kali kehilangan arah. Peneliti Ahli Utama BRIN, Dr. Virni Budi Arifanti, mengingatkan pentingnya scientific-based evidence dalam pengelolaan mangrove.
“Jasa lingkungan, sosial dan ekonomi dari ekosistem mangrove merupakan aset yang perlu dijaga keberlanjutannya dan dioptimalkan untuk kehidupan manusia dan generasi yang akan datang,” tegas Virni.
Sinergi lintas negara dan institusi
Diskusi yang dipusatkan di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Bogor, ini berhasil mempertemukan 908 peserta, baik yang hadir secara fisik maupun yang terhubung melalui ruang virtual dari berbagai negara seperti Pakistan, India, Bangladesh, Thailand, dan Timor Leste.
Regional Coordinator Coastal and Marine Asia IUCN Secretariat, Maeve Nightingale, M.Sc., menyoroti bahwa mangrove Asia memiliki urgensi tinggi karena kekayaan biodiversitasnya. “Lebih dari 50 dari 73 spesies berada di hotspot keanekaragaman hayati mangrove ini,” jelas Maeve.
Forum ini juga menjadi ajang pertukaran pengalaman praktis antarnegara berkembang. Para pakar seperti Prof. M. Monirul H. Khan dari Bangladesh, Prof. Dr. Irfan Aziz dari Pakistan, dan Kanchan Pawar dari India turut membagikan strategi pengelolaan mangrove di wilayah mereka masing-masing.
Di tingkat nasional, enam universitas kolaborator—termasuk Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara, Universitas Tanjungpura, dan Universitas Nusa Bangsa—menggelar acara “Nonton dan Belajar Bareng” untuk memperluas jangkauan edukasi ini.
Sebagai tuan rumah, Rektor Universitas Pakuan, Prof. Dr. rer.pol. Ir. Didik Notosudjono, M.Sc., menekankan peran krusial perguruan tinggi. Menurutnya, akademisi harus menjadi katalisator utama yang menyediakan pengetahuan dan inovasi.
“Dengan mengintegrasikan sains, masyarakat, dan kebijakan, ekosistem mangrove dapat dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan, yang akan memberikan manfaat bagi ketahanan ekologi dan kesejahteraan manusia,” tutur Didik.
Menutup perhelatan tersebut, Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Prof. Dr. Sri Setyaningsih, M.Si., menyampaikan apresiasinya atas kolaborasi multipihak ini.
“Kami berterima kasih kepada Belantara Foundation dan mitra lainnya, yang telah mendukung penuh acara ini sehingga berjalan dengan lancar dan sukses. Semoga seminar internasional ini membawa manfaat besar bagi upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia,” tutup Sri.
Seminar ini menegaskan kembali bahwa masa depan pesisir bukan hanya soal menjaga pohon, melainkan menjaga kehidupan melalui kolaborasi sains, kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat.
- Masa depan karbon biru dan peran Indonesia dalam peta iklim global
- Photovoice merekam krisis ekologis Pontianak lewat lensa warga
- PLN dan Uni Eropa pacu pembangunan “Baterai Air” raksasa target NZE 2060
- Indonesia di panggung COP30: aktif kritik teks, pasif aksi iklim
- Antara “Supermarket” karbon dan jerat utang iklim
- Tata kelola geothermal Indonesia, pusat merencanakan daerah menderita
