Photovoice mengajak warga untuk merekam dan memaknai sendiri risiko banjir yang mereka hadapi melalui fotografi
Ancaman tenggelamnya Kota Pontianak bukan sekadar isapan jempol. Kombinasi penurunan muka tanah, kenaikan permukaan air laut, dan curah hujan tinggi menempatkan Ibu Kota Kalimantan Barat ini dalam risiko besar. Tanpa intervensi kebijakan yang serius, prediksi tahun 2050 menunjukkan ketinggian banjir bisa mencapai 1,5 meter, yang secara efektif dapat menenggelamkan kota.
Di tengah ancaman eksistensial ini, Yayasan Kolase bekerjasama dengan proyek Flood Impacts, Carbon Pricing, and Ecosystem Sustainability (FINCAPES) memperkenalkan pendekatan partisipatif bertajuk Photovoice. Inisiatif ini mengajak warga untuk merekam dan memaknai sendiri risiko banjir yang mereka hadapi sehari-hari melalui fotografi.
Program sosialisasi bertajuk “Mata Warga Memaknai Risiko Banjir Pontianak” ini digelar di Rumah Budaya Kampung Caping, Pontianak, pada Selasa (11/11/2025), dihadiri oleh sekitar 40 peserta dari berbagai instansi pemerintah, perwakilan kelurahan, dan lembaga terkait.
Sinergi riset dan partisipasi warga
Ketua Yayasan Kolase, Andi Fachrizal, menjelaskan bahwa proyek ini merupakan bagian dari kemitraan pembangunan Indonesia–Kanada yang melibatkan Fakultas Matematika dan Lingkungan Hidup, University of Waterloo.
“Ini bentuk komitmen bersama terhadap aksi perubahan iklim, keberlanjutan lingkungan, dan ketangguhan bencana. Yayasan Kolase menjadi salah satu lembaga mitra lokal FINCAPES yang akan menjalankan program photovoice. Sebelumnya, FINCAPES melalui Universitas Syiah Kuala Banda Aceh juga sudah menjalankan studi Pemodelan Banjir di Kota Pontianak,” ujar Andi.
Hasil studi Universitas Syiah Kuala yang dilakukan sepanjang tahun 2024 dan telah diserahkan kepada Bapperida Kota Pontianak menunjukkan tingkat kerentanan yang mengkhawatirkan. Topografi kota yang rata-rata hanya 0,4 hingga 1,5 meter di atas permukaan laut membuat Pontianak sangat dipengaruhi pasang surut laut.
“Terlihat bahwa Pontianak sangat rapuh dengan banjir,” tegas Andi. Ia menambahkan bahwa kondisi ini diperparah oleh sistem drainase yang belum optimal dan perilaku membuang sampah sembarangan.
“Dari hasil penelitian Universitas Syiah Kuala di 29 kelurahan dan enam kecamatan, sebenarnya berpotensi terdampak banjir. Namun yang paling rentan itu ada 21 kelurahan,” paparnya.
Melawan normalisasi bencana
Salah satu tantangan terbesar dalam mitigasi bencana di Pontianak adalah persepsi masyarakat. Menurut Andi, masih banyak warga yang menganggap banjir tahunan sebagai kejadian lumrah, padahal tren ketinggian air terus meningkat.
“Sebagian besar warga masih menganggap banjir sebagai hal biasa. Namun di sisi lain, ada warga yang menganggapnya sudah menjadi ancaman serius. Nah, di sinilah kita ingin melihat seperti apa suara warga tentang banjir,” katanya.
Melalui Photovoice, Yayasan Kolase ingin mengubah paradigma ini dengan mengajak masyarakat mendokumentasikan pengalaman visual mereka. Program yang melibatkan 30 warga dari berbagai latar belakang—termasuk kelompok rentan—ini akan berlangsung hingga Januari 2026.
“Photovoice ini adalah sebuah studi komunikasi partisipatif melalui pendekatan visual. Kita akan mengajak warga untuk memotret serta menarasikan situasi banjir dan lingkungannya,” terang Andi.
Ancaman fisik terhadap kota ini nyata. Andi memaparkan data mengenai tekanan terhadap lahan akibat pembangunan masif di kota seluas 118,31 km² yang dihuni hampir 700 ribu jiwa tersebut. Studi FINCAPES mendeteksi penurunan muka tanah lebih dari satu sentimeter per tahun, terutama di kawasan gambut Pontianak Utara dan Tenggara.
“Kalau tidak ada intervensi kebijakan, pada 2050 ketinggian banjir bisa mencapai 1,5 meter. Artinya, Pontianak bisa tenggelam,” jelasnya memperingatkan.
Suara kelompok rentan
Manajer Program Photovoice Yayasan Kolase, Arief Nugroho, menekankan bahwa metode ini lebih dari sekadar dokumentasi; ini adalah alat pemberdayaan.
“Photovoice merupakan metode berbasis fotografi komunitas yang tidak hanya berfungsi sebagai pendokumentasian isu sosial seperti banjir, tetapi juga sebagai sarana pemberdayaan individu untuk menjadi agen perubahan, memperluas jaringan, serta menjembatani komunikasi antara masyarakat dan pemerintah,” jelas Arief.
Tujuan utamanya adalah mengangkat perspektif mereka yang seringkali tak terdengar dalam diskursus kebijakan publik.
“Kami ingin tahu persepsi publik terhadap banjir, sekaligus mengungkap perspektif kelompok rentan seperti perempuan, lansia, pekerja informal, pemuda, dan penyandang disabilitas,” tambahnya.
Harapannya, narasi visual yang dihasilkan warga dapat menjadi pertimbangan krusial bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan ketahanan banjir.
Andi Fachrizal menutup dengan refleksi filosofis tentang hubungan warga Pontianak dengan sungainya. Ia mengapresiasi langkah pemerintah kota yang mulai membenahi drainase, namun mengingatkan bahwa solusi jangka panjang harus berbasis pada penghormatan terhadap alam.
“Sungai Kapuas tidak pernah membelah kota. Justru Sungai Kapuaslah yang menyatukan Pontianak. Karena sungainya duluan ada, baru kotanya. Ini yang harus kita jaga sebagai bagian dari peradaban sungai,” pungkasnya.
- Photovoice merekam krisis ekologis Pontianak lewat lensa warga
- PLN dan Uni Eropa pacu pembangunan “Baterai Air” raksasa target NZE 2060
- Indonesia di panggung COP30: aktif kritik teks, pasif aksi iklim
- Antara “Supermarket” karbon dan jerat utang iklim
- Tata kelola geothermal Indonesia, pusat merencanakan daerah menderita
- Ambisi SNDC Indonesia terjebak ekspansi ekstraktif, mengancam gambut dan laut
