Kebun kopi tangguh iklim jadi ekosistem, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan menghadapi krisis iklim
Senyum itu nyaris tak pernah lepas dari wajah Mercy Fitry Yana sore itu. Sembari jemarinya menyentuh dompolan buah kopi yang padat di kebunnya di Desa Tebat Tenong Luar, Rejang Lebong, Bengkulu, ia menceritakan perubahan besar yang membuatnya begitu bahagia.
Mercy adalah salah satu dari banyak perempuan petani yang kini merasakan langsung dampak positif dari apa yang mereka sebut “Kebun Kopi Tangguh Iklim”. Ia adalah anggota sekaligus Sekretaris Koalisi Perempuan Petani Kopi Desa Kopi Tangguh Iklim (Koppi Sakti) Bengkulu.
Sambil mengajak kami berkeliling kebunnya yang kini tampak lebih hijau dan subur, Mercy menunjuk ke arah buah kopi selang (buah di luar musim panen).
“Seperti inilah penampakan buah selangnya. Jauh berbeda dengan tahun lalu,” ujar Mercy, didampingi suaminya, Alto Kahirjat. Buahnya begitu lebat dan sehat, pemandangan yang tak biasa untuk buah di luar musim.
“Bahkan, beberapa petani kopi yang sempat mampir ke sini (kebun kopinya) mengatakan mirip dengan buah musim. Mudah-mudahan kondisi buahnya tetap bagus sampai waktu siap dipanen,” katanya penuh harap.
Harapan Mercy bukan tanpa alasan. Perubahan di kebunnya bukan sekadar ilusi. Angka-angka panen musim ini berbicara jelas.
Tahun lalu, Mercy hanya bisa mengumpulkan 25 karung kopi (ukuran 50 kg) dari kebunnya. Tahun ini, hasil panennya melonjak signifikan menjadi 43 karung. Peningkatan hasil juga terasa hingga panen “buah ujung” atau petik ketiga.
“Baru sekitar seminggu selesai panen buah ujung. Hasil yang diperoleh 7 karung. Kalau hasil panen buah ujung tahun lalu, hanya 4 karung,” jelasnya. “Namun, isi karung hasil panen tahun lalu tidak sebanyak isi karung hasil panen buah ujung pada tahun ini.”
Jawaban atas krisis iklim
Perubahan drastis ini adalah buah dari kerja kolektif para perempuan di Koppi Sakti. Mereka bersepakat untuk kembali ke praktik-praktik kearifan lokal yang sempat ditinggalkan, sebuah jawaban nyata untuk beradaptasi sekaligus memitigasi dampak perubahan iklim yang kian terasa.
Mercy menjelaskan, Kebun Kopi Tangguh Iklim yang mereka bangun berarti mengucapkan selamat tinggal pada herbisida kimia untuk mengendalikan rumput. Mereka juga berhenti membakar sisa-sisa tanaman.
Sebagai gantinya, para perempuan ini menghidupkan kembali tanah mereka. Rerumputan, ranting, dan dedaunan kopi yang gugur kini diolah menjadi mulsa organik. Sekam (kulit kering) kopi yang dulu terbuang, kini disulap menjadi pupuk organik yang kaya nutrisi.
Mereka juga membuat “lubang angin” atau rorak mini di sekujur kebun. Lubang-lubang ini berfungsi sebagai penampung air hujan sekaligus ‘pabrik’ kompos alami, mengurai bahan organik langsung di tempat.
Hasilnya, kesehatan kebun pulih. Mercy bercerita, kini buah kopinya tidak lagi banyak yang busuk sebelah atau berlubang. Kulit buahnya tampak lebih mengkilap, dan buahnya terasa lebih padat dan berat.

Perubahan itu tak hanya terjadi pada buah. “Perubahan lainnya, batang menjadi kokoh, batang dan cabang tidak mudah patah, akar tidak mudah tercerabut, dan dedaunan menjadi rimbun dan berwarna hijau pekat,” tutur Mercy.
Ia mengenang kondisi kebunnya sebelum berubah. “Sebelumnya, kalau batang digoyang, pangkal batang ikut bergoyang, dan akar di sekitar pangkal batang ikut bergoyang seperti mau tercerabut,” katanya.
Inisiatif para perempuan ini tidak berhenti di situ. Di bawah bendera Koppi Sakti, yang juga digawangi oleh Ketua Nurlela Wati dan Bendahara Julian Novianti, mereka bersepakat menerapkan kembali pola polikultur.
“Untuk mengembangkan pola polikultur, Koppi Sakti Desa Tebat Tenong Luar bersepakat menanam nangka, durian, alpukat, jengkol, petai, kabau atau pohon lainnya yang menjadi pohon pelindung pohon kopi,” terang Mercy.
Pohon-pohon pelindung ini tak hanya menjaga kelembapan tanah dan melindungi kopi dari terik matahari, tetapi juga akan menjadi sumber pendapatan tambahan di masa depan.
Tak hanya pohon besar, lahan di sela-sela kopi pun kini produktif. “Selain sudah menanam pohon durian, alpukat, nangka, jengkol dan kabau, saya juga sudah menanam cabai rawit dan jahe, dan akan menanam terong, lengkuas dan serai di kebun kopi,” tambah Mercy.
Bagi Mercy dan perempuan petani kopi lainnya, kebun kini bukan lagi sekadar tempat menanam satu komoditas. Kebun telah menjadi ekosistem yang hidup, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan mereka menghadapi ketidakpastian iklim.
“Optimis dengan Kebun Kopi Tangguh Iklim yang dibangun,” kata Mercy, senyumnya kembali merekah. Sebuah senyuman yang mewakili optimisme baru para perempuan penjaga bumi di Rejang Lebong.
Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan LiveBengkulu
- Senyum petani perempuan Bengkulu di kebun kopi tangguh iklim
- Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu”
- Krisis air di lumbung nikel, warga Kawasi blokade jalur produksi Harita
- Ngaseuk, cara Sarongge mengamalkan apa yang dinegosiasikan di Belém
- Sandiwara hijau dari Indonesia di panggung COP 30
- Indonesia klaim aksi menuju net zero emission dan ekonomi hijau di COP 30
