Perubahan tata kelola geothermal mendesak dilakukan, investor asing memprioritaskan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan
Energi panas bumi (geothermal) digadang-gadang menjadi tulang punggung rencana Indonesia memangkas emisi gas rumah kaca hingga nol bersih (net zero) pada tahun 2060.
Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas terpasang sebesar 5,2 gigawatt (GW) pada periode 2025-2034, naik signifikan dari kapasitas saat ini yang hanya 2,7 GW, menurut data dari kantor berita negara Antara. Pada 2060, targetnya melonjak menjadi 22,7 GW kapasitas panas bumi non-variabel. Tujuannya jelas: menarik investasi untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara, menyediakan pasokan beban dasar (baseload) yang stabil, dan menjamin keandalan jaringan listrik.
Namun, di balik ambisi besar ini, terdapat masalah struktural yang mendalam. Keputusan strategis mengenai lokasi eksploitasi panas bumi sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Sentralisasi ini memicu konflik berkepanjangan antara Jakarta dan pemangku kepentingan di daerah, yang sering kali berujung pada penolakan keras masyarakat terhadap proyek energi.
Pola tata kelola ini dapat diringkas dalam satu kalimat pahit: direncanakan di pusat, diderita di daerah (planned centrally, suffered locally).
Ketimpangan wewenang
Berdasarkan regulasi tahun 2018, pemerintah pusat memiliki wewenang penuh menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Kekuasaan ini semakin diperkuat melalui regulasi tahun 2023 yang secara eksplisit memberikan otoritas kepada pusat untuk mengeluarkan rekomendasi proyek pembangkit listrik.
Akibatnya, peran pemerintah daerah menjadi sangat kerdil, terbatas hanya pada pengelolaan proyek setelah mendapat “lampu hijau” dari pusat. Pembagian wewenang ini menciptakan ketegangan nyata. Pusat berfokus pada target bauran energi nasional dan investasi strategis, sementara daerah harus menanggung dampak langsung terhadap tata ruang, mata pencaharian warga, dan kerusakan lingkungan.
Contoh nyata ketimpangan ini terjadi di Kabupaten Bandung. Pada tahun 2023, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengungkapkan fakta ironis dalam pertemuan dengan perwakilan perusahaan geothermal.
“Sebanyak 3.000 kepala keluarga masih belum menikmati aliran listrik,” ungkap Dadang Supriatna. Ia menegaskan bahwa, “Mayoritas dari mereka tinggal tidak jauh dari lokasi operasional perusahaan panas bumi.”
Dadang kemudian mendesak perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) agar warga desa dapat mengakses listrik.
Risiko di daerah, manfaat di pusat
Ketimpangan kekuasaan juga merembet ke masalah fiskal. Pemerintah daerah sangat bergantung pada transfer dari pusat karena wewenang perpajakan mereka terbatas (seperti pajak air dan kendaraan), sementara pajak utama (PPh, PPN) dikuasai pusat.
Situasi ini terlihat jelas di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang ditetapkan pusat sebagai salah satu wilayah prioritas pengembangan geothermal. Struktur pendapatan NTT sangat bergantung pada transfer pusat. Ketika pusat melakukan efisiensi anggaran demi program nasional lain—seperti program prioritas Presiden Prabowo Subianto—daerah seperti NTT menjadi sangat rentan.
Per Februari lalu, transfer fiskal ke NTT dipangkas sebesar Rp184 miliar (sekitar 4,2% dari anggaran belanja daerah 2024). Padahal di saat yang sama, proyek panas bumi justru berpotensi menggerus pendapatan lokal.
Menurut pemodelan ekonomi dalam studi tahun 2024 oleh WALHI dan Center for Economic and Law Studies (CELIOS), petani di tiga lokasi di Pulau Flores berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp470 miliar pada tahun pertama konstruksi pembangkit listrik panas bumi. Selain kerugian ekonomi, pembangkit ini juga akan bersaing dengan masyarakat lokal dalam memperebutkan sumber air.
Ancaman penggusuran di Flores
Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang ditandatangani April lalu menempatkan proyek perluasan pembangkit panas bumi Ulumbu di Poco Leok, Flores, sebagai kunci. Namun, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan dampak sosial yang serius.
Menurut data AMAN, proyek ini “mengancam akan menggusur 4.506 jiwa di 14 komunitas adat dari 3.778 hektare tanah leluhur mereka.”
Warga menolak proyek tersebut karena khawatir akan ancaman terhadap tanah leluhur, sumber air, dan warisan budaya. Penolakan ini bahkan berujung pada dugaan intimidasi terhadap protes warga di Kecamatan Maranggai pada perayaan Hari Lingkungan Hidup bulan September lalu.
WKP di Flores ditetapkan secara sepihak oleh pusat tanpa mekanisme konsultasi yang bermakna. Hal ini meminggirkan suara masyarakat sipil dan mengabaikan hak tanah adat, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip transisi energi yang berkeadilan.
Desentralisasi asimetris
Untuk mengatasi konflik ini, kami mengusulkan penerapan desentralisasi asimetris. Model ini memberikan otonomi yang berbeda-beda kepada pemerintah daerah dalam mengelola transisi energi, disesuaikan dengan kesiapan masing-masing wilayah.
Kesiapan ini dapat diukur menggunakan indikator pembangunan seperti Indeks Kesiapan Transisi Energi Daerah yang dikembangkan oleh CELIOS. Pendekatan bottom-up ini memungkinkan daerah merancang rencana energi lokal dan melibatkan pemangku kepentingan setempat dalam pengambilan keputusan.
Bagi daerah seperti NTT yang menurut indeks CELIOS masih “menunjukkan peluang perbaikan” (skor inisiatif energi bersih dan ketahanan ekonominya masih rendah hingga sedang), pelimpahan wewenang harus disertai dengan peningkatan kapasitas dan dukungan ekonomi.
Perubahan tata kelola ini mendesak dilakukan, mengingat investor asing kini semakin memprioritaskan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan. Sebuah laporan dari UN-supported Principles for Responsible Investment menyoroti bahwa uji tuntas (due diligence) terhadap HAM dan rantai pasok lingkungan sangat penting untuk investasi yang hati-hati.
Dengan merangkul desentralisasi asimetris, Indonesia dapat mengubah proyek panas bumi dari sumber konflik menjadi jalan menuju pembangunan inklusif dan pemberdayaan masyarakat. Hanya dengan cara inilah transisi energi yang berkeadilan benar-benar dapat terwujud dan menarik bagi investor global.
Artikel inipertama kali terbit di Dialogue Earth berjudul “Indonesia’s geothermal governance must empower local people“
- Indonesia di panggung COP30: aktif kritik teks, pasif aksi iklim
- Antara “Supermarket” karbon dan jerat utang iklim
- Tata kelola geothermal Indonesia, pusat merencanakan daerah menderita
- Ambisi SNDC Indonesia terjebak ekspansi ekstraktif, mengancam gambut dan laut
- Bagaimana jurnalisme konstruktif membantu publik bertahan di era krisis iklim?
- Agam dari Rinjani ke Belém: Pemandu yang Jadi Pahlawan Brasil Kini Dilirik Netflix
